. Transmisi Spasio-Temporal Budaya

INDEKS

Kamis, 29 Juli 2010

Transmisi Spasio-Temporal Budaya

Oleh Reno Azwir



Budaya sebagai jejak laku manusia, yang diperoleh melalui hasil pembelajaran lengkap dengan unsur bahasa yang menjadi landasannya, sangat terikat dengan apa yang kita namakan ruang-waktu. Dalam ruang, budaya menjelma tradsi. Diikuti oleh turunannya yang kemudian masuk pada wilayah normatif dan relatif. Budaya yang sarat dengan tatanan norma kemasyarakatan, meski terkena hukum etiket. Relatif adanya. Karena hampir di setiap kebudayaan manusia, terdapat patokan yang berbeda untuk menjustifikasi sebuah tindakan budaya apakah beretika atau tidak.

            Pernyataan di atas, tentu berbeda halnya dengan urusan moral. Etika tidak membahas perbuatan itu baik atau yang ini buruk, tapi lebih kepada pantas atau tidak. Sedang bagaimana seharusnya sebuah perilaku itu dianggap baik atau tidak, itu sepenuhnya menjadi pembahasan moral. Sehingga dapat ditentukan sebuah klaim: apakah sebuah tindakan budaya itu amoral atau immoral. Amoral jelas tidak mengandung unsur kebaikan samasekali. Melulu negatif dan merusak. Sedang immoral, adalah sebuah upaya penilaian pada sebuah laku pribadi atau kelompok yang tak berhubungan secara kongkrit dengan baik atau  buruk. Sebagai contoh, ketika sebagian orang makan dengan tangan, dan sebagian lainnya menggunakan sendok. Kedua perbuatan ini, masuk dalam kategori immoral. Bukan amoral.
            Setelah budaya bertransformasi menjadi tradisi, harus pula dipahami bahwa akan segera muncul dualisme dalam diri tradsi itu sendiri. Pertama, tradisi yang terputus dengan Realitas Asal manusia. Kedua, tradisi yang menjadi transmisi utama antara Yang Ultim dengan dunia fana. Hampir segala tindak-tanduk manusia secara kolektif, dapat ditabalkan sebagai budaya dan kebudayaan. Tapi tidak semuanya dapat dijadikan rujukan untuk mendekati Realitas Asal sebagai awal dari segala kehidupan. Seperti budaya berburu masyrakat Baliem, Jayapura, dengan upacara meminta hujan dalam masyarakat Aborigin, Australia.
            Kedua tindak budaya itu. Dapat dikatakan sebagai tradisi, tapi satu diantaranya bersifat profan dan satu lainnya, bersifat eso-eksoterik, sakral dan berupaya mendekati Realitas Asal. Kecenderungan untuk dapat menangkap makna terdalam dari alam dan hidup ini, kerap dimiliki oleh masyarakat pra-literer. Sehingga segala bentuk tradisi yang mereka hasilkan, selalu mengekspresikan kerinduan dan apresiasi murni kepada Yang Ultim. Ada spirit suci yang tersembunyi bersama tradisi-tradisi mereka.
Sejatinya, model tradisi seperti inilah yang harus kita lestarikan dan jaga sebaik mungkin. Begitu banyak kebudayaan kita di Nusantara yang lahir melalui proses transmisi seperti ini.  Wayang, gamelan, kakawin, tari Seudati, gurindam, candi dan lain sebagainya.. Dalam bahasa yang lain, tradisi yang di batang tubuhnya, terkandung unsur batin semesta. Yang mendedah ruang kefanaan, dan menyingkap tabir yang meligkupinya. Sehingga setiap kita yang menjadi pelaku tradisi, mafhum dan sadar bahwa di dalam kesadaran yang paling dalam, kita manusia, menyimpan potensi Insan al-Kamil. Insan yang menjadi Khalifah perantara bagi derajat-derajat eksistensi semesta. Sedari Alam Ahadiyyah hingga beremanasi ke alam Mulq (dunia).
Jenis tradisi seperti ini, jelas lebih signifikan tinimbang apa yang dihasilkan oleh masyarakat kontemporer. Terutama mereka yang hidup di Barat. Secara metafisik, Barat memang tidak memiliki peluang untuk mencerahkan dan dicerahkan. Karena Barat bukan sumber Cahaya. Melainkan tempat tenggelamnya cahaya. Jadi gradasi pencerahan yang terjadi hingga di Barat, adalah ujung dari gradasi cahaya yang muncul di Timur. Sehingga tak satu pun literatur yang mengabarkan, bahwa Barat pernah berhasil menggandeng dan menyatukan dua unsur dunia: esoterik dan eksoterik. Zhahhiri dan batini. Dan sebaliknya, hanya Timur yang memiliki keistimewaan seperti ini. Tao, Zen, Hindu, Budha, Konfusius, Manichean, Zoroastrian dan sebagainya.
Di dalam waktu, budaya bersifat uniqe. Spesial pada setiap pengaplikasiannya. Ia mengandung unsur coincidentia-oppositorrum. Pada setiap kebudayaan, akan tercipta beragam kreasi dan ekspresi tentang Yang Ultim. Namun hal ini tak dapat disebut sebagai relatif. Sebagai keunikan, masing-masing budaya itu menjadi opposite (lawan) yang saling melengkapi. Menjadi paradoks dalam harmoni. Kita tak dapat menemukan satu kebenaran pun dalam setiap khazanah budaya secara horizontal. Karena setiap budaya, terselubung oleh tirai metafisikanya sendiri-sendri. Dan satu-satunya jalan adalah mencari benang merah itu pada tingkatan transendental.
Sebagaimana ruang dan waktu yang saling melengkapi dan membutuhkan, azali dan abadi, maka budaya sebagai sebuah produk kemanusiaan, akan terus bergulir dengan semangat eso-eksoteriknya. Jika satu diantara dualisme itu terpisah dan dicerabut dari akar budaya itu, maka hasilnya adalah apa yang telah terjadi dengan peradaban Mesir, Babylonia, Inca-Aztec dan begitu banyak pencapaian peradaban tingkat tinggi yang kini sudah punah. Pupus ditelan zaman.
Avatara dalam hindu, adalah simbol ruang-waktu terbaik yang masih bisa ditemukan hingga kini. Dengan kata lain, selagi masih ada ruang dan waktu, akan tetap ada kebudayaan-tradisi yang tercipta dan terpelihara. Kandungan esoterik dari spasio-temporal ini, baru terejawantah saat ia eksis (wujud) di dunia. Jadi secara epistemologis, tak mungkin kita memahami esensi (quiddities) budaya, sebelum esksistensinya. Karena dengan eksistensilah, kita mampu melakukan generalisasi untuk satu eksistensi. Keapaan sebuah tarian, tak mungkin ditemukan, sebelum ada tariannya. Tapi tidak menutup kemungkinan, manusia mampu menangkap Spirit sebuah tarian itu, dari alam yang terbentang ini. Sekali lagi, ruang-waktu yang menjadi faktor penentunya.
Untuk kasus Nusantara, terdapat satu keuntungan tersendiri untuk permasalahan budaya yang menjadi topik kajan kita. Analisisnya, di tanah kepulauan ini, 90 % lebih masyarakatnya adalah penganut Islam. Sebagai pelengkap dari dua agama Semit lainnya, Islam terang-terangan mengandung unsur eso-eksoteris. Selain Yahudi dengan Kabbalisnya. Sedang Kristen tidak memilikinya dikarenakan tak ada tradisi ritual yang perintahnya turun langsung dari Tuhan. Ritual dalam Islam, juga menjadi tradisi. Kita menyebutnya sebagai Tradisi Suci (religius)
Jika telah masuk dalam jajaran Tradisi Suci, apapun bentuknya, maka ia mempunyai ketersambungan langsung dengan Yang Ultim. Sebagaimana shalat yang lazim dipahami sebagai upaya memasukkan dua dunia ke dalam diri yang fana, untuk bersatu dengan Tuhan. Shalat menjadikan kita hilang sekaligus eksis dalam Kesatuan. Sekali lagi, paradoks turut andil sebagai media kelahiran budaya. Adanya Tradisi Suci Islam itu di Nusantara, adalah bagian integral dari tradisi eso-eksoterik yang sudah ada sebelumnya. Seperti yang ada di Hindu, Budha dan beberapa yang lain.  
Kekuatan Spiritual itulah yang kiranya terus mampu menyatukan kita dalam keberagaman. Bersatunya hasil cerapan kebudayaan antara yang turun dari langit dan yang terbabar di bumi, merupakan sebuah kesinambungan secara horizontal-vertikal. Pada tingkatan jasmaniah, kita akan menyadari bahwa sebenarnya kita terpisah. Tapi secara batini, keterpisahan itu menjadi satu saat kita mampu mengaktifkan kesadaran eksistensial sebagai makhluk Tuhan yang berbudaya. Islam sebagai agama, sebenarnya juga dapat dijadikan rujukan budaya. Sebab Islam adalah agama yang meruang dan mewaktu. Ikhwal meruanglah, maka ia menjadi fana. Terkena hukum degradasi. Dari sinilah muncul Kenabian. Sebaliknya, karena Islam adalah mewaktu, maka ia pun menjadi entitas yang unik. Spesial dalam ruang-ruang kebudayaan yang ada di Nusantara maupun dunia.
Dengan kondisi seperti itu, kita tak akan mampu menemukan kekacauan atau kesalahan budaya lain secara horizontal. Kecuali kita menaikkan derajat kepahaman kita ke wilayah transendental. Di titik inilah, lahir akulturasi dan asimilasi budaya. Benang merah yang ditemukan secara transendental itu, menutup segala kemungkinan perpecahan eksistensial. Silang budaya ini, terjadi karena masing-masing eksistensi budaya tersebut, mampu membuka tabir metafisikanya dan mendedahnya ke tingkat yang lebih rendah.
Hal ini yang membuat Islam dapat begitu mudah diterima sedari awal kedatangannya pra-Wali Songo. Sehingga lahirlah wayang, bonang, menara kudus, wiridan (kenduri), suroan dan yang lainnya. Sekadar perbandingan, fakta seperti ini bukan hanya terjadi di belahan Pulau Jawa saja, tapi merata di hampir semua wilayah Nusantara. Dan hasilnya pun berbeda-beda. Sesuai dengan Spirit yang ditangkap masing-masing budaya itu saat bersentuhan dengan Spirit Islam. Baik budaya (tradisi) yang profan maupun yang Suci.
Berangkat dari sudut pandang ini, akan berbeda halnya jika yang menjadi mayoritas adalah pemeluk Kristen atau Yahudi. Hasilnya, tidak akan terjadi kesinambungan dalam ruang-waktu budaya kita. Karena jiwa setiap individu atau masyarakat, memiliki kecocokan tersendiri sebagai receptacle (penerima) bagi Tradisi Suci. Hal ini yang mengakibatkan Islam sulit berkembang di Barat, karena masyarakat di sana cenderung rasional. Dan kenapa Kristen tak dapat berkembang di Timur atau Nusantara, karena agama ini tidak mengakomodasi budaya eso-eksoterik sebagaimana yang ada dalam Islam.        
Nusantara sebagai lokus terbesar kebudayaan dunia, sebenarnya memiliki peluang untuk muncul ke permukaan paradaban unggul. Karena setiap potensi budaya ada di sini. Persoalannya adalah, tak semua kita menyadari apa yang menjadi kelabihan dan kekurangan kita sebagai satu bangsa. Itulah kenapa penulis menawarkan Kesadaran sebagai basis dari eksistensi. Makhluk yang berbudaya adalah manusia. yang sadar akan apa yang dilakukannya. Sadar ruang. Sadar waktu. Karena hukum spasio-temporal inilah kebuayaan akan terus bergerak –bersama atau meninggalkan kita.
Bagi mereka yang tidak sadar dengan keeksistensian dirinya sebagai makhluk berbudaya, maka ia akan menjadi mozaik budaya yang tak akan pernah bersatu dengan kumpulannya. Terserak saat zaman terus begerak. Melulu gaga(p)l menagkap dan memahami Spirit kehidupan yang tersembunyi dalam tabir kefanan dunia. Karena kita adalah bagian dari dunia sebagai mikrokosmos, dan dunia adalah bagian dari diri kita sebagai makro dan mikrokosmos sekaligus, maka tak ada alasan yang lebih kuat bagi kita untuk raib begitu saja. Kita harus sadar bahwa eksistensi adalah bagian utama dari tercipta dan terpeliharanya sebuah bangunan kebudayaan.    

0 komentar:

Posting Komentar

Kami mengucapkan terima kasih atas setiap komentar yang Anda berikan.

 

Pengikut

© 2009 Free Blogger Template powered by Blogger.com | Designed by Amatullah |Template Design