. Lain Ladang Lain Belalang

INDEKS

Kamis, 29 Juli 2010

Lain Ladang Lain Belalang

Oleh Reno Azwir



Apa pun yang muncul di benakmu bahwa Kami seperti itu—Kami tidak seperti itu!
Apa pun yang ada dalam pemahamanmu bahwa Kami seperti itu—
Kami tidak seperti itu!
Apa pun yang ada dalam pemahamanmu adalah yang diciptakan—
Dalam kenyataannya, ketahuilah wahai hamba,
bahwa Kami adalah pencipta!
[Sana’i dari Ghazna]


Sana’i tentu punya alasan khusus kenapa dia menggubah syair di atas. Beberapa tahun silam, saat sebelum memberanikan diri menulis esai ini, saya benar-benar tak paham bagaimana sakitnya rasa disalahpahami—seperti yang dialami para rasul, nabi, dan orang suci lainnya. Namun, setelah mengalami langsung secara pribadi, barulah saya merasakan betapa tajamnya tusukan salah paham tinimbang paham yang salah.
            Belakangan, sering kita menemukan banyak orang atau kelompok yang mendaku paling sahih pemahamannya akan Tuhan. Ibn ‘Arabi mengatakan bahwa tipikal golongan seperti itu sebagai al-‘ilm bi al-qirthasiyyun—pemahaman yang masih berbau kertas saja. Lalu saya dihinggapi pertanyaan seperti ini; “Apakah nalar dapat menangkap Tuhan dengan utuh? Bukankah Tuhan hanya bisa dipahami melalui Diri-Nya?”
            Dengan kata lain, tak satu pun kita boleh mengabuk Tuhan. Dia milik siapa saja. Jika mengabuk saja tak elok, heran rasanya jika Dia tetap diterungku dogma, doktrin, wilayah yang bermuara pada penyimpangan nan serampangan. Memahami manusia saja selit-belit, macam mana pula memahami Yang Memiliki manusia? Sekalipun terpahami, tetap ada hal (keadaan) diri-Nya yang tak terpermanai. Tuhan mengejawantah dalam banyak rupa, dan untuk menengarainya bukanlah perkara mudah.
            Memahami sesuatu, itu mungkin mudah. Tapi menyadari betapa kita tak paham dengan sesuatu, itu yang sulit. Seperti yang pernah dikatakan Socrates (470-399 SM) “Satu-satunya yang kutahu adalah aku tak paham.” Bahkan masih jauh lebih sulit memahami sadar atau tidaknya kita akan pemahaman itu sendiri. Lantaran kesadaran adalah pangkal untuk mencapai derajat al-Insan al-Kamil: Manusia Sempurna, yang jadi purwarupa Kebenaran. Jadi sebelum mengaku benar-benar yakin dengan apa yang kita pahami, ada baiknya meyakini dulu bahwa ada selaksa ketakpahaman lain yang mesti dipahami.
Merasakan bagaimana masyarakat Adat ditilap hak berkeyakinannya oleh mereka yang mendaku beragama, tak ubahnya seperti melihat dua ekor burung beda jenis sedang berbalah tentang bagaimana cara terbang yang baik. Elang menyanggah cara terbang merpati, yang disentil tak terima. Padahal, kedua burung itu sedang terbang. Begitu pula yang terjadi dengan masyarakat beragama. Ada sekian banyak dalih yang dicomot dari kitab suci Ibrahimi untuk dijadikan prasayarat bagi pemapasan masyarakat Adat itu. Padahal, di dalam agama Ibrahimi itu masih terjadi perbalahan sengit—tentang agama mana yang pantas disebut benar.
Andai kita bisa menyaksikan perbalahan di antara kedua burung itu, tentu akan terbit perasaan geli dalam diri sendiri, “Ngapain sih mereka itu? Sesama penerbang kok saling mencela.” Dua burung itu wajar kita bilang nyeleneh, tapi penganut agama mayoritas seperti Islam, atau pemerintah misalnya, juga sama pilonnya. Mereka rumpil betul memahami kenapa masyarakat Adat begitu menghormati tanah ulayat-nya. Barangkali, masyarakat Adat juga kepayahan memahami kenapa untuk menghadap Tuhan mesti dibutuhkan masjid.
Jika ditelusuri secara saksama, di antara masjid dan tanah ulayat ada benang merah yang bisa kita sebut sebagai keluhuran, keagungan, kesucian, sejarah, moralitas, dan kebanggaan. Ada alasan kuat yang kemudian tertanam di relung hati masing-masing pemegang keyakinan itu untuk memertahankannya sekuat tenaga. Maka lumrah, jika masyarakat Adat merebut kembali tanah ulayatnya yang dirayah atas nama pemberadaban yang dilakukan pemerintah dan pemodal seperti yang terjadi di Papua, Lombok, Kalimantan, Jambi, dan beberapa tempat lain. Tujuan hidup masyarakat Adat adalah menjaga tanah ulayat-nya. Jika tanah itu dijarah, maka sama saja merenggut alasan hidupnya.
Di negeri tercinta kita, ada sekian masyarakat Adat yang masa hadapnya terancam lantaran mereka disimpuk kalangan agama resmi. Sebut saja Kaharingan, Badui, Suku Naga, Sunda Wiwitan, Sasak, dayak, Merappu, Kejawen, Parmalim, Tolaki, Solor, Kubu, dan lainnya. Sistem kosmologi-metafisika dan norma mereka sudah keburu dibabat sebelum dipelajari dengan baik. Seolah tak ada yang bernilai dari itu semua. Padahal jika mau belajar jujur, sebelum masyarakat Islam, Kristen, Buddha, Hindu, dan agama “resmi” lain diisbatkan di Nusantara, merekalah yang lebih dulu bermukim. Meski merasa terancam keberlangsungan keyakinan leluhurnya dari waktu ke waktu, mereka tetap menjunjung tinggi nilai spiritualitas.      
Jika memang Islam, misalnya, mengakui Allah yang Esa, kenapa masih merayangkan masyarakat Adat yang sebenarnya juga sedang menyembah Tuhan yang sama. Jika itu tak diterima oleh penganut Islam, bukankah sama saja mereka meyakini ada Tuhan selain Allah? Mungkinkah ada dua tuhan yang menyelenggarakan kehidupan di jagat semesta? Jika begitu, yang ada kacau-balau. Lantaran setiap tuhan itu akan berjabal pengaruh dan ini jelas bukan bentuk jelmaan ketuhanan. Bila itu pun masih sulit diterima, kita harus dengan lapang dada mengikrarkan bahwa tuhan memang tak ada.
Mari kita mencatat warisan luhur masyarakat Adat itu menjadi satu korpus. Sebelum ajaran-ajaran luhur itu melindap entah ke mana, kita mesti menyelamatkannya setelah diteliti lebih mendalam—bisa dikompilasi dalam bentuk buku, ensiklopedia, atau langsung mendekatkannya ke khalayak dengan memanfaatkan jejaring sosial yang kini pusparagam bentuknya. Dengan begitu, selain merangsang rasa ingin tahu dan mengenal, juga bisa menumbuhkan sikap saling memaklumi tentang bagaimana sejatinya kita mesti menjalankan keyakinan kebertuhanan masing-masing tanpa mencederai keyakinan lain.
Dalam Islam, ada hadis yang memuat makna serupa seperti syair Sana’i itu, “Ana ‘inda dzanni abdi bi wa Ana ma’ahu hiyna yadzkuruni...; Aku adalah apa yang disangkakan hamba-Ku tentang-Ku, dan Aku bersamanya ketika ia menyebut-Ku ...”. Allah yang Maha Agung itu ternyata santai saja disemat apa pun oleh manusia. Meski terlalu mudah bagi-Nya memberi pemahaman kepada siapa saja yang Dia inginkan, tetap saja apa yang kita pahami adalah kemafhuman terbatas lantaran Dia yang tiada aras harus menyempadani diri-Nya dalam satu takrif yang jelas terhad.
Penganut agama jadi berperadaban bukan karena hidupnya kian mudah, berdaya guna, dan modern, melainkan seberapa baik Sukma agama itu diterapkan dalam kehidupannya. Lantaran manusia itu makhluk yang mengandung unsur jagat alit dan jagat gede, maka dia juga bertanggung jawab kepada Tuhan, alam, dan manusia sekaligus. Ia mesti mempertanggung jawabkan setiap tindakannya sendiri di hadapan pribadi lain. Daya cerap manusia untuk apa yang kelak dia yakini sebagai “agama”, jelas berkesejajaran dengan pemahaman yang dimilikinya. Semua masalah keberagamaan hanya dimulai dari kita yang terbatas ini saat menjelaskan Zat Yang Maha Tak Berbatas. Hanya Dia saja yang paling memahami diri-Nya. Jika memang ada manusia yang bisa membabarkan ketakterbatasan Tuhan dengan baik, maka detik ini juga, kita bisa menyebutnya sebagai TUHAN. []

0 komentar:

Posting Komentar

Kami mengucapkan terima kasih atas setiap komentar yang Anda berikan.

 

Pengikut

© 2009 Free Blogger Template powered by Blogger.com | Designed by Amatullah |Template Design