. Studi Corak Sastra Sufistik Nusantara pasca-Poejangga Baroe

INDEKS

Kamis, 29 Juli 2010

Studi Corak Sastra Sufistik Nusantara pasca-Poejangga Baroe

Oleh Reno Azwir



Abstrak
Perjalanan sastra di Nusantara telah berlangsung selama beberapa abad. Kita bisa menarik benang merahnya sejak zaman kerajaan Hindu awal—di masa  Mpu Sindok (Abad ke-VII M), dan terus mengalir bahkan hingga di millennium kedua alaf ini. Namun letak kajian kita tidak ingin merangkul seluruh perjalanan historis itu secara holistik. Melainkan mencoba mengambil satu jalur lain—yang juga berkenaan dengan sastra yang pernah dan terus berkembang di negeri ini. Kami akan coba mengaitkan keterpaduan sastra itu dengan Islam sufistik, yang peran serta pengaruhnya juga penting dalam perkembangan bangsa Indonesia.

Kata kunci: sastra, Nusantara, sufistik, poejangga baroe


1.0.Latar belakang masalah
Setelah era Prof. Doorenbos melakukan penelitian pada Hamzah Fansurii (w. 11 April 1527 M), serta-merta dua orang intelektual lain sekelas—Naguib (baca:Najib) al-Attas dan Abdul Hadi WM juga mengiringi langkahnya dengan menahbiskan bahwa Fansurii terpengaruh paham mistik Ibn ‘Arabi. Dari tiga buah karya Fansuri yang kemudian dianggap asli buah tangannya sendiri—“Asrar al-Arifin (Rahasia Orang Arif), Sharab al-Ashiqin (Minuman Orang Berasmara) dan al-Muntahi (si Penganut), kita memang dapat menemukan betapa penyair Melayu ini memang terpengaruh oleh kentalnya unsur mistik Islam dari Syeikh al-Akbar Ibn ‘Arabi. Tapi jika kemudian muncul teori bahwa sastra sufistik di kemudian hari juga terpengaruh aliran ini, kita mesti segera mengamatinya dengan lebih teliti.
Bagaimana pertanyaan itu bisa muncul? Jawabannya bisa ditemukan dengan menggunakan metode alur waktu. Fansurii diyakini betul oleh ketiganya sebagai pemula sastra sufistik beraliran Wujudiyyah. Padahal jauh sebelum Fansuri, sudah ada Syeikh Siti Jenar yang jelas terpengaruh aliran ini. Juga Sunan Bonang dengan “Suluq Wijil-Regol- dan Kalipah Asmara”-nya serta Sunan Kalijaga yang ditengarai telah menggubah syair “Lir-ilir”. Tapi dua wali Jawa yang disebut belakangan tadi, tidak sedang menyebarkan sastra aliran Wujudiyyah, dan tidak menutup kemungkinan ajaran keduanya memengaruhi sastrawan Islam berikutnya di era Poejangga Baroe.
Hal ini dapat kita amati pada karya para sastrawan sedari Amir Hamzah, Sutardji Calzoum Bachri (SCB) dan Danarto. Apa yang dihasilkan oleh mereka, adalah sebuah representasi dari sebuah respon berlatar epistemologi Islam atas zamannya yang terus bergerak. Letak perbedaan antara mereka hanya berada pada soal pilihan garapan saja. Amir dan SCB yang sarat muatan Melayunya, sedang Danarto lebih kuat ke arah kultural Jawa dalam karya yang dihasilkan. Tapi dari ketiganya, kita akan dengan sangat mudah menangkap kesan esoterisme Islam yang digarap sesuai dengan kemampuan estetik masing-masing. Alasan mendasar kenapa akhirnya tiga sastrawan di atas yang masuk dalam kategori penelitian, akan diterangkan di bagian berikutnya.
Letak kepentingan dari penelitian ini adalah pada upaya pembacaan tipologi sastra Islam—khusus yang bercorak sufistik. Karena dari sekian rujukan yang sudah tersedia, kita tak dapat mengidentifikasi karya-karya para sastrawan ini dengan jelas. Bahkan masih ada satu dua pengamat dan kritikus sastra yang menafikan samasekali keterlibatan sastrawan-satrawan tangguh ini dalam ranah sufistik Islam. Bahkan sebaliknya, dengan begitu mudah mereka dimasukkan dalam jajaran sastrawan yang terpengaruh kuat oleh aliran Wujudiyyah Ibn ‘Arabi. Di bab pendahuluan nanti, akan kami terakan mengapa aliran Wujudiyyah Ibn ‘Arabi dianggap penting dalam perkembangan sastra di Nusantara—sastra Islam khususnya.
Secara kontekstual, penelitian ini jelas diarahkan untuk perkembangan sastra Indonesia yang terus berkembang. Paling tidak para pengamat dan kritikus sastra mendapat sumber rujukan baru yang bisa mereka jadikan sebagai acuan. Kami tentu tidak terlalu berpretensi untuk melakukan kerja intelektual ini secara ambisius. Karena biar bagaimanapun, pengaruh subjektif akan tetap mewarnai karya ini. Artinya, tafsir yang kami buat atas hasil karya para sastrawan di atas, tetap akan memunculkan bias sesuai dengan pola dan pisau analisa yang akan digunakan.  Maka untuk itu, demi melakukan kerja intelektual yang ketat dan terarah, kami akan coba melakukan pembabakan terlebih dulu atas perjalanan sastra Indonesia yang terpengaruh semangat ke-Islaman. Setelah melakukan kajian riset mendalam, maka tak syak lagi, tokoh garda depan yang layak diangkat adalah Hamzah Fansurii. Lepas dari adanya penyair lain yang juga ikut andil, tapi peran sufi dari Barus ini jelas tak bisa dinafikan. []
1.0.Pranala awal
Barus di zaman lalu, adalah sebuah transito dagang dan keilmuan—khususnya Islam yang bersinar terang bak matahari dari Timur. Sufi agung Hamzah Fansurii yang karyanya dibakar dan ditentang di masa Nuruddin ar-Raniri di istana Sultan Alauddin Syah dan Iskandar Muda itu, bukanlah seorang intelek karbitan. Makamnya harum di pekuburan Bab Ma’la, Makkah, bertarikh 11 April 1527 M. Dari tokoh inilah lahir tiga karya Asrar al-Arifin (Rahasia Orang Arif), Sharab al-Ashiqin (Minuman Orang Berasmara) dan al-Muntahi (si Penganut) yang diyakini oleh Doorenbos, peneliti perdana Hamzah pada 1933 sebagai asli karangannya, karena dibubuhi tanda tangan langsung oleh sang penulis.
Hal ini juga diamini oleh mayoritas peneliti yang menggarap bidang sastra sufistik Nusantara. Mengapa Hamzah dan Barus menjadi penting? Jawabannya adalah, peran Barus  sebagai kosmopolit di wilayah oksidental, otomatis, menyebabkab penyebaran karya dan pengaruh Hamzah merebak dengan begitu mudah. Dari catatan yang kita dapat dari peneliti Prancis, Claude-Guillot, ada begitu banyak bangsa dunia yang berkunjung ke pulau ini untuk membeli kamper; mulai dari pedagang dari Yunani, Mesir, India Selatan, Jawa dan Timur Tengah (kebanyakan Persia), penganut Agama Yahudi, Kristen Timur juga Islam, yang pernah singgah di sini dan berasimilasi dengan penduduk setempat yang beragama Hindu Brahma dan juga Budha (hlm, 90).
Kedua, Hamzah Fansuri yang berijazah Tariqat Qadiriyyah, memiliki peran penting dalam penyebaran ajaran Wujudiyyah Ibn ‘Arabi di Nusantara. Ini diyakini dengan adanya sistem Martabat (derajat) Lima dalam karya-karya Hamzah. Signifikansi peran Fansuri khusus dalam wilayah sastra sufistik, jelas tak tergoyahkan. Dari konvergensi unik antara menerpadukan sastra dengan tasawuf yang dilakukannya inilah, Hamzah mencuat sebagai penyair ulung. Belum lagi jika ditambah dengan kemampuannya berbahasa—Melayu, Arab, Jawa dan lainnya, yang di kala itu, belum tentu dimiliki oleh penyair sezaman. Kelak, corak sastra sufistik beraliran Wujudiyyah ini, kembali mencuat di tangan beberapa saastrawan handal kontemporer di Indonesia.
Sejatinya, peran Hamzah sebagai pemula sastra dalam perspektif konvensional, mesti diteliti ulang. Mengingat ditemukannya Nisan Minye Tujuh yang ditemukan di Aceh (781 H/1380 M) dan dibaca inskripsi syair Melayunya oleh Willem van Der Molen. Sedang yang berbahasa Arab ditranskrip dan diterjemahkan oleh Ludvik Kalus. Satu hal yang menarik adalah, nisan yang bertuliskan aksara Melayu (Sumatera Kuno) dan seolah bercorak Arab ini, tidak ditulis dalam bahasa Arab, melainkan dalam Bahasa Melayu Tinggi yang kini hampir punah samasekali, atau jika pun masih ada, hanya segelintir saja yang tersisa. Hal menarik dari Syair Minye Tujuh ini yaitu terkait dengan sejarah sastra literer Nusantara, yang diduga berasal dari Hamzah Fansuri. Jika merujuk pada tahun pembuatan, inilah karya sastra tertua di Nusantara yang masih terselamatkan. Namun karena inskripsi ini masih menyimpan kekaburan, maka kedudukan Hamzah Fansuri tetap tak tergantikan. Ia berkibar sendirian di jagat sastra Nusantara. 
            Puisi yang digarap oleh Hamzah, banyak mengetengahkan pengalaman pribadinya yang hidup di zaman merkantil kuno Nusantara. Juga bagaimana pertalian kuat yang dirasakannya secara intim dengan al-Haq[i] sebagai objek batiniah dari hidup dan kehidupannya. Ia yang banyak mengembara ke berbagai negeri manca, jelas mengikutsertakan pengalamannya itu dalam syair-syair yang digubahnya. Sehingga hasil pencerapannya itu banyak membantu kita untuk memahami bagaimana dunia bergerak di masa itu. Secara historis-antropologis, ia berhasil memetakan alam dan lingkungannya dengan sangat baik. Meski dengan berbekal bait-bait puisi yang ketat pemaknaannya.
            Selain Hamzah Fansuri, memang ada Sunan Bonang dengan “Suluq Wijil-Regol- dan Kalipah Asmara”-nya. Juga Sunan Kalijaga yang ditengarai telah menggubah syair “Lir-ilir” (?). Ditambah Syeikh Abdul Kadir Munsyi yang banyak melahirkan karangan sastra bertemakan hikayat, semisal Hikayat Hang Tuah, Hang Jebat dan lainnya. Namun menurut kami, peran dari tokoh-tokoh ini kurang signifikan dan tak terlalu teramati oleh generasi penerusnya, sehingga karya mereka tenggelam ditelan zaman. Belum lagi, lahan garapan yang ditekuni tak dapat dikatakan sebagai sastra puisi yang bercirikan konvensional. Sehingga tak dapat disejajarkan dengan Hamzah dari Barus.
            Hamzah dan perannya kelak diikuti oleh beberapa  penyair lain di awal abad ke-20. Satu diantaranya adalah Amir Hamzah. Pangeran tampan dari tanah Langkat yang dilahirkan di Tanjungpura, Sumatera Utara, pada 28 Februari 1911. Ia menjalani hidupnya yang liris selama 35 tahun dan berakhir dengan kematian yang mengenaskan. Hasil gubahan puisi yang telah ditulis oleh Amir, dapat ditelusuri dalam “Buah Rindu” yang dikarangnya semasa ia masih aktif di organisasi Indonesia Muda. Sebenarnya masih ada beberapa karya lain dari Amir Hamzah yang bisa ditemukan. Namun “Buah Rindu” adalah karya masterpiece-nya yang cukup fenomenal.
            Sebagai penerus tradisi puisi modern, Amir juga masuk kedalam jajaran penyair sufistik seperti halnya Hamzah Fansuri. Jika kita menelaah karyanya dengan baik, maka kita akan menemukan begitu banyak pesan-pesan sufistik yang tersemat dalam setiap gubahan yang dihasilkannya. Memang tak dapat dipungkiri, bahwa ia juga membuat beberapa puisi profan yang tentu adalah bagian dari pengalaman hidupnya. Penyematan pada Amir sebagai penyair sufistik, tentu bukan tanpa alasan. Hal ini lebih dikarenakan kentalnya muatan sufistik itu pada setiap gubahannya. Ia terkesan seperti  hamba yang merindu kepada Mahbub-Nya. Terus mencinta pada Sang Cinta sejati.
            Kemirisan dan kelirihan hidupnya itu, dapat kita lihat pada saat ia dipaksa menikah dengan gadis yang tidak ia cintai, seorang putri raja yang bernama Tengku Putri Kamaliah. Selama masa pernikahannya itu, ia terus menekan perasaan dalam dada dan darah mudanya yang kerap bergejolak. Amir telah menjadi merak yang kesepian. Di tanah kelahirannya sendiri ia tak dapat menikmari indah dan nikmatnya hidup. Bertolak belakang dengan keindahan syair-syair yang ditulisnya. Jika mengamati hal ini, nampaknya Amir memang tak begitu peduli dengan apa yang terjadi dalam hidupnya. Tapi sebaliknya, ia malah begitu mendamba bertemu dan menjemput kematian, agar dapat bertemu dengan objek Cinta yang didambanya. Meski kesunyian terus menguntitnya hingga akhir hayat.
            Membuat sebuah korelasi antara sunyi dan Amir Hamzah bukanlah sebuah perkara mudah. Tapi sebagai upaya penghormatan mendalam pada sosok ini, kami akan mencoba mendedahnya sebaik mungkin. Berbekal keberanian dan konsistensinya untuk berkarya dengan mengggunakan bahasa Melayu tingkat tinggi, Amir Hamzah menjadi satu-satunya penyair yang berjalan sendirian di jalanan kesusastraan Melayu klasik. Satu keuntungan yang ia dapat sebelumnya adalah; secara demografis ia adalah putra asli dari negeri Melayu yang masih tetap menjalankan pemerintahan patrilinialnya sambil terus berhubungan dengan wilayah-wilayah lain di luar Langkat, semisal, Jawa, Sumatera Timur atau dengan tetangga terdekatnya yaitu Malaka yang memunyai kedekatan historis dalam rumpun kebangsaan.
Di masa kepenyairannya, Amir masuk kategori sastrawan Poedjangga Baroe—berbarengan dengan Sutan Takdir Alisjahbana dan Chairil Anwar, yang menolak habis-habisan gaya bahasa dan semangat klasik yang diusung oleh Amir. Di saat inilah, masa dimana kesusastraan Indonesia mulai menemukan jati dirinya setelah sekian lama terus menguntit di bawah literasi bahasa Belanda. Bagi HB. Jassin –paus sastra Indonesia, Amir layak disebut sebagai raja penyair negeri ini. Tentu gelar ini tak pernah ia dengar samasekali.
            Jika kita mengikuti karya-karya puisi yang ditulisnya dalam rentang waktu 14 tahun dimulai dari tahun (1932-1946), maka ini dapat ditandai sebagai sebuah proses pemindahan rasa yang bersifat emotif dan tentu bernapaskan kesunyian yang kerap ia alami pada masa-masa dimana isu nasionalisme sedang marak-maraknya dibicarakan. Solo, sebagai tempat Amir Hamzah berkegiatan saat itu, adalah sebuah kota yang sedang menggelegak akibat panasnya suhu politik yang dilancarkan oleh pihak pemuda kepada pemerintahan Hindia Belanda selaku penjajah. Walau ia sempat dipercaya untuk menjadi ketua dari IM (Indonesia Muda) cabang Solo, dengan masa jabatan lebih kurang setahun, ia tetap tidak pernah mengobarkan semangat memerjuangkan kemerdekaan itu dalam karya-karyanya. Satu hal yang sangat kontras sekali.
            Dengan begitu teduh ia mengurai gagasan-gagasan dan cerapannya itu dalam puisi-puisi yang sempat dicap Chairil Anwar sebagai puisi, duistere poezie; puisi gelap[ii]. Ungkapan itu terlontar karena puisi Amir Hamzah memang terasa sulit untuk dimengerti, hal ini dikarenakan kegemarannya menggunakan bahasa dan metafora yang sudah hampir lenyap dari peredaran bahasa tutur dan tulis, itu jika kita tak ingin menyebutnya mati. Bagi Amir Hamzah, duka yang dihasilkan oleh sunyi itu adalah sebuah realitas yang tak bisa kita lepaskan begitu saja jika kondisi psikologis tidak mendapatkan dorongan yang kuat untuk menciptakan sisi defensif dari dalam diri kita. Sederhananya adalah, Amir dikala itu sedang mengalami benturan emosi yang bersifat ambigu. Di satu sisi; ia yang berada jauh dari tanah kelahirannya mempunyai semangat yang begitu tinggi untuk menuntut ilmu. Sementara di sisi lain; ia harus menunjukkan keberhasilanya itu pada keluarga dengan hati teriris sebab sekolahnya itu tidak akan dibiayai lagi oleh Sultan Langkat, ayahnya. Maka untuk itu ia harus rela disandingkan dengan Tengku Putri Kamaliah, setelah ia dipaksa balik negri dengan alasan “krusial”. Dan inilah yang paling melukai hatinya.
            Dengan 50 sajak yang masing-masing dikumpulkan dalam Buah Rindu dan Nyanyi Sunyi itu, praktis, kita akan kerap bertemu dengan puisi-puisi yang sarat muatan metafisis. Kudus, yang dalam hal ini selalu disinergikan dengan Tuhan, adalah sebuah kenyataan yang sangat dekat sekali dengan pribadi Amir sebagai penyair yang dibesarkan di tanah Melayu. Kecintaannya terhadap Tuhan dapat kita temukan dalam sajak-sajaknya. Satu diantaranya adalah, “Padamu Djua”;
Aku manusia-Rindu rasa-Rindu rupa-Dimana engkau-Rupa tiada.
Atau dalam sajak Hanja Satu yang lebih melankolis ini;
Aduh kekasihku-Padaku semua tiada berguna-Hanja satu kutunggu hasrat-Merasa dikau dekat-rapat-Serupa musa dipuntjak tursina.
Baris larik “Hanja Satu” ini hampir bermiripan dengan syair gubahan Hamzah Fansurii. Masih ada juga bentuk lain dari kebebasan Amir bercengkrama dengan Tuhan yang dirangkumkannya dalam bait lain pada sajak “Padamu Djua”;
Engkau tjemburu-Engkau ganas-mangsa aku dalam tjakarmu-Bertukar tangkap dengan lepas.
            Jika tak ada kata lagi yang dapat mewakili lara di hati, mungkin lampus itulah pilihan terakhir yang diambil oleh Amir Hamzah. Sebuah runtutan kata yang begitu tertata, dimulai dari duka, kudus, hingga akhirnya, ia sepêrti menciptakan sebuah strata bagi tulisannya sendiri. Amir seolah membuat sebuah kesimpulan bahwa sunyi itu hanya bisa diselesaikan oleh satu kata, mati. Dan mati itulah yang akhirnya memang membuat ia berpisah dengan kesunyian. Pada tanggal 19 Maret 1946, akibat kekerasan senjata dimasa gerakan revolusi, ia dipancung tanpa diperiksa di Kuala Bingai, 10 kilometer dari kota Binjai, Medan. Amir Hamzah memang telah pergi, tapi jalan yang direntangkannya telah membuka khazanah kesusastraan modern Indonesia.
            Sastra Islam yang berbasis puisi, berakhir sementara di tangan lembut Amir Hamzah, untuk kemudian ditumbuhkembangkan oleh sastrawan lain dengan cabang berbeda, yaitu cerpen. Beberapa tonggak penting dari para sastrawan ini adalah A. A. Navis (Robohnya Surau Kami), Umar Kayam (Cerpen Lebaran) dan Danarto (Adam Ma’rifat, Godlob, etc). Namun berdasar kerangka penelitian yang digunakan, kami lebih memilih Danarto sebagai bagian dari penelitian. Dikarenakan beberapa kesamaan yang dimilikinya dengan Amir Hamzah, meski lahan garapannya lebih banyak di bidang cerpen—tapi bukan berarti ia tak pernah menggubah syair samasekali. Meski era yang melatarbelakangi kemunculan ketiga pengarang ini, memang berbeda. Apa yang dihasilkan oleh Danarto adalah representasi dari sebuah respon berlatar epistemologi Islam atas zamannya yang terus bergerak—tentu dalam konteks kejawen yang sarat unsur manunggaling kawulo gusti.
Danarto lahir di Sragen, Jawa Tengah, 27 Juni 1940. Ia dikenal sebagai sastrawan produktif Indonesia. Karyanya dimulai dari Rintrik (1968)—yang kemudian menjadi naskah teater, bersamaan dengan satu-satunya kumpulan puisinya Habis Tak Sudah setebal 1.015 halaman. Dua tahun berselang, Danarto kembali menggebrak dunia perpuisian Indonesia dengan puisi kongkritnya. Perasaan tidak puas terhadap kata-kata yang bahkan sampai pada suatu esktremitas sehingga ia pun membuat puisi tanpa kata—hanya dengan garis-garis yang membentuk sembilan kotak, dan itu ia sebut sebagai puisi. Kalangan penyair mengenal puisi itu sebagai "puisi kotak sembilan".
Dalam kasus ini, penciptaan puisi Danarto sampai pada suatu permainan yang intens, menarik dan sangat mendebarkan. Sebuah upaya yang sangat maksimal dalam menghayati kebebasan penciptaan puisi, dengan mengambil resiko pada kebebasan mutlak: puisi yang membunuh dirinya sendiri. Danarto benar-benar menafikan kata-kata sebagai puisi, atau dengan kata lain, puisinya bisa dianggap bukan karya puisi. Namun, karena Danarto si penciptanya menganggap puisi, maka pada para pembacanya bisa timbul pertanyaan, "Apakah yang puisi dari garis-garis petak sembilan itu?" Artinya, Danarto bisa mengajak pembaca (atau yang melihat) memertimbangkan petak sembilan itu sebagai sesuatu yang mungkin sekurang-kurangnya memiliki aroma puisi.
Enam tahun berikutnya lahir karyanya yang lain “From Surabaya to Armageddon (1976), Godlob (1976), Obrok Owok-Owok, Ebrek Ewek-wek (1976), Bel Geduwel Beh (1976) lalu Adam Ma’rifat (1982), Orang Jawa Naik Haji (1984), Berhala (1987), Abracadabra (?)—yang ditulisnya pada saat ia mengikuti program menulis di Kyoto, Jepang, Asmaraloka (1999), Setangkai Melati di Sayap Jibril (2001) dan Kacapiring (2008). Sedang yang cukup dikenal publik adalah ontologi cerpen, Godlob dan Adam Ma'rifat yang, memenangkan Hadiah Sastra 1982 Dewan Kesenian Jakarta, serta  Hadiah Buku Utama 1982. Sebagai sastrawan, Danarto adalah cerpenis yang paling konsisten dengan tema yang digarapnya. Sejak awal kemuculannya di jagat sastra Indonesia, ia tetap mengusung latar budaya Jawa yang melulu dibalut oleh jalinan metafisika khas Islam. Sehingga akhirnya kita akan mengalami kesulitan untuk melakukan identifikasi terhadap karyanya itu. Apakah ia sedang menceritakan Jawa dalam konteks keIslaman, atau ia sedang mengangkat Islam yang bersinergi dengan semangat kejawaan. Keduanya berjalin-kelindan.
Para kritikus sastra sepakat untuk memasukkan Danarto ke dalam tipologi sastrawan yang beraliran realis-magisyang di Indonesia masih dianggap nyeleneh. Padahal sebagai genre, pengarang besar semisal Gabriel Garcia Marquez dari Amerika Latin, telah mengadopsinya dalam setiap karya yang ia hasilkan. Mungkin di Indonesia, hanya Danarto seorang-lah yang tekun dan sanggup mengibarkan genre ini hingga puluhan tahun. Memang ada juga sastrawan lain yang mengolah tema serupa, tapi daya imajinasi dan stamina mengarang mereka, kalah jauh dibanding Danarto. Sehingga penulis-penulis itu pun berguguran seiring waktu.
Untuk mengangkat karyanya itu ke dalam besutan realis-magis, Danarto dengan sangat mudah menggunakan tokoh yang bukan manusia. Dalam “Setangkai Melati di Sayap Jibril”, misalnya. Ia menjadikan bunga dan manusia sebagai tokoh utama yang saling mengisi. Tak penting apakah si bunga memiliki karakter atau tidak, tapi pada prakteknya, tokoh-tokoh itu lahir dengan keunikan yang tak pernah ada pada penulis sezamannya, bahkan hingga kini. Bukan hanya benda-benda duniawi, Danarto pun kerap meminjam sosok matahari, bulan bahkan malaikat, untuk menguntai jalinan cerita yang disusunnya.
Dengan menggunakan teknik bercerita yang non-konvensional pula, Danarto menjadi semakin liar untuk menggambarkan kegelisahannya pada ruang spiritual yang pada hakikatnya memang tak berbatas. Maka dari itu, apapun yang ia gunakan sebagai penunjang cerita, berubah menjadi metafor, tanda, atau perbandingan terbalik antara dunia kasat dengan alam sunya ruri –istilah yang sering digunakannya untuk membahasakan alam metafisika. Kentalnya ruang mistis Islam dalam karyanya, masih bisa ditelusuri pada ontologi cerpennya yang terbaru, Kacapiring (2008). Dalam karyanya yang terbaru ini, ia malah bertambah lihai mengolah gagasan estetiknya, untuk menggambarkan pengalaman spiritual yang sedang ia alami. []
Jika Danarto aktif menelurkan cerpen beraroma sufistik, maka di seberang lainnya juga ada sastrawan yang getol melahirkan karya serupa, namun berbeda garapannya saja. Sejak era 60-an, genre puisi mulai dihidupkan kembali gairahnya oleh beberapa penyair pilih tanding. Mereka adalah, Sutardji Calzoum Bachri (SCB), Abdul Hadi W. M, Ahmadun Yosi Herfanda, Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dan Mustofa Bisri (Gus Mus), dan Acep Zamzam Noor. Tapi dari sederet nama di atas, hanya SCB yang memiliki reputasi tak tertandingi. Ia bukan cuma sekadar menggubah puisi sufistik, tapi juga mendobrak tradisi lama puisi Indonesia, dengan berusaha melepaskan kata dari beban makna, dan mengembangkan kata-kata yang digunakannya dalam koridor mantra. Atas kerja kerasnya inilah, ia didapuk sebagai Presiden Penyair Indonesia dan ditahbis sebagai peletak tonggak puisi modern Indonesia.
SCB lahir di Rengat, Indragiri Hulu pada tanggal 24 Juni 1941. Pujangga terkemuka Indonesia ini pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Sosial Politik Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran, Bandung. Di kota kembang inilah karier kepenyairannya terasah lewat media surat kabar—seperti Sinar Harapan dan Berita Buana, majalah Horison dan Budaya Jaya. Dalam rentang tahun 1974-1975, SCB memulai lawatannya ke negeri manca dengan mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam, dan dilanjutkan dengan mengikuti seminar International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat.
            Beberapa sajaknya telah diterjemahkan Harry Aveling ke bahasa Inggris dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation (Calcutta, India), Writing from the World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters (1979). Pada tahun 1979, buah pena SCB diganjar anugerah South East Asia Writer Awards dari raja Thailand. Sebagian besar karyanya dapat ditemukan dalam kumpulan puisi “O Amuk Kapak” yang memuat sajak-sajaknya sedari periode penulisan 1966 sampai 1979. Dalam kumpulan sajak itulah tercermin secara gamblang pembaruan yang dilakukannya terhadap puisi Indonesia modern. Berikut ini kami sertakan sebuah sajak gubahannya;
Kami tak dimana-mana-kami mengatas meninggi-kami dekatKalau kalian mabuk Tuhan-kami mabuk sama kalian-Kalau kalian rindu Dia-rindu kalian bersama kami-kalau kembali ke rumah-Diri-kalian kembali ke rumah kami-sampai kalian ke puncak nurani-kalian pun sampai sebatas kami.
Perbedaan signifikan antara SCB dan beberapa penyair seangkatannya yang sudah disebut di atas adalah, SCB tak memulai karyanya dengan tema sufistik, melainkan mengalami evolusi setelah sebelumnya ia lazim digelari sebagai “penyair botol”—karena kebiasaannya minum alkohol sambil berdeklamasi dengan gaya mantranya. Berbeda halnya dengan Abdul Hadi W. M, Gus Mus, Cak Nun, Ahmadun Yosi Herfanda dan Acep Zamzam Noor, yang tetap konsisten hingga kini untuk mengembangkan tradisi sastra sufistik, tanpa kenal lelah. Tapi lepas dari latar yang mereka punya, para penyair ulung ini telah memiliki andil besar atas menyebarnya semangat estetika spiritual Islam yang sampai detik ini pun terus dikibarkan. []
1.1.Pembahasan soal keterkaitan genre sufistik Wujudiyyah
Baik Amir Hamzah, Danarto, dan juga SCB, ketiganya menggunakan sastra sebagai medium penyampai gagasan kepada publik. Bahkan jika ditelaah lebih dalam, bukan tidak mungkin ketiganya sedang mengolah sumber yang sama, yaitu sastra sufi yang diwariskan oleh Hamzah Fansurii. Namun untuk memerjelas validitas klaim ini, kita mesti menyusun analisa sebaik mungkin. Pertama, Amir mamang pernah terlibat dalam sebuah tariqat, namun beraliran Naqsyabandiyyah—bukan Wujudiyyah. Kedua, baik Danarto maupun SCB, tak pernah tercatat secara eksplisit ikut dalam kegiatan serupa. Hanya saja, Danarto mungkin sudah mengenyamnya lewat lelaku bathin yang ia jalani berdasarkan perpektif Jawa. Di Indonesia, masyarakat mengenalnya sebagai kejawen. Sedang Tardji, adalah yang paling mungkin mewarisi gagasan langsung Hamzah Fansurii langsung karena ia adalah produk asli masyarakat Melayu Riau dan ia berada di tempat yang sama secara geografis dengan Hamzah Fansurii.
            Dari ketiga sastrawan di atas, praktis hanya Amir dan Tardji yang paling mafhum dengan corak bahasa yang digunakan oleh Hamzah Fansurii. Amir paling tidak mengerti betul apa yang dimaksud Hamzah Fansurii secara literal dan esoterik. Karena ia pernah memelajari tasawwuf langsung meski di tariqat yang berbeda. Apalagi penguasaannya yang baik atas khazanah sastra Melayu yang jelas terlihat dalam syair gubahannya. Sedang Tardji, tentu juga mafhum betul dengan latar sejarah dan gagasan estetika apa yang memengaruhi penyair dari Barus itu. Karena dari beberapa syair panjangnya di “O Amuk Kapak”, kita dapat menengarai betapa ia adalah penyair dengan gaya bahasa yang sangat Melayu—sarat unsur kekunoannya sekaligus modern dengan gagasan yang diusungnya. Tardji merupakan representasi dari kebebasan berekspresi yang paling radikal. Ia berada di puncak menara pemberontakan atas makna kata yang selalu dikekang dari teknis operasionalnya.
            Namun dengan penjelasan di atas, hampir tak ditemukan samasekali keterkaitan mereka dengan aliran Wujudiyyah yang mengalir ke Nusantara via Hamzah Fansurii. Ketiganya sampai di titik kulminasi masing-masing sesuai perjalanan estetik yang mereka lalui sepanjang karier kepengarangannya. Hal ini dapat ditelusuri dari bibliografi karya mereka yang terus menanjak kwalitasnya, namun tetap konsisten dengan gagasan yang sedari awal memang mereka tekuni sebaik mungkin. Amati saja karya Danarto yang tak pernah merasa sungkan mengangkat kepolosannya sendiri dalam budaya Jawa yang ia padukan dengan Islam esoterik. Jika mau sedikit lebih teliti, tak ada satu pun sastrawan yang setegar Danarto dalam mengolah tema dan gagasan sastranya. Menariknya, Danarto terus bereksplorasi dengan segala kemampuan yang ia miliki. Sehingga apa yang kemudian ia hasilkan sebagai karya sastra, selalu terasa baru dan menyegarkan.
            Hingga sampai di sini, kita dapat mengelompokkan mereka ke dalam dua bagian. Amir dan SCB mewakili masyarakat Melayu berikut pola pikirnya. Sedang Danarto, murni bentukan budaya Jawa yang tak pernah berusaha keluar dari kentalnya pengaruh budayanya itu, dan tak pernah sekalipun ia bertindak sebagai pengamat yang murni menulis di luar khazanah budaya Jawa. Ia tetap seperti Danarto yang dulu. Persis seperti apa yang ia gambarkan dalam karyanya “Orang Jawa Naik Haji”. Ia menapaki sendiri tangga pencapaian estetiknya hingga pengarang lain yang berusaha untuk menjadi epigonnya pun, terasa sulit sekali.
Tak sejumput pun bekas yang ditorehkan oleh aliran Wujudiyyah—meski disana-sini ada indikasi yang mengesankan hal itu. Namun apa yang mereka dapat sebagai sumber pengetahuan sastranya, lebih banyak dilandasi oleh semangat ke-Indonesiaan yang dibalut oleh Islam kultural dengan baluran mistisisme belaka. Jika pun terkesan demikian, hal ini lebih didasari oleh sekian banyak dan panjangnya rentetan karya ini tersebar ke sekian penjuru Nusantara. Sehingga untuk mengidentifikasi siapa terpenggaruh siapa, merupakan kerja yang akan sangat melelahkan. Amir Hamzah, SCB dan Danarto adalah sastrawan ulung yang terus bergelut dengan keresahannya sendiri-sendiri. Apabila pada akhirnya mereka begitu gandrung menekuni sastra sufistik, hal ini lebih dikarenakan lahir dari kesadaran pribadi. Berdasar atas apa yang mereka alami dan lalui sepanjang karier kepengarangannya. Sebagai manusia Indonesia dan warga dunia. Sebagai kepanjangan tangan dari Sang Kreator yang terus bekerja dengan caranya yang tak terbatas. Begitulah kiranya mereka mencerap dan mengolah hidup menjadi sastra. Melahirkan sastra dalam hidup dan kehidupan. []
1.2.Fungsi dan relevansi
Dari uraian yang telah kami babarkan di atas, ada dua kemungkinan perspektif yang bisa diamati. Pertama, dari sisi kreator. Kedua, dari pembaca atau penikmat karya. Bila ditanya posisi dirinya dalam berkarya, sastrawan kemungkinan akan menjawab bahwa karyanya berfungsi menjadi medium eskpresi, medan dakwah, untuk mendidik, dan atau sebagai media tuturan sejarah. Dari sudut pandang penikmat sastra, kita bisa mendapat jawaban bahwa karya sastra yang dibaca itu adalah upaya pemotretan kehidupan yang kemudian dapat menjadi i’tibar bagi khalayak, atau juga sebagai bagian dari refleksi atas apa yang terjadi di masa lalu dan kini.
            Sastra juga bisa berfungsi sebagai ekspresi keberagamaan. Ekspresi yang berusaha meng ungkapan luapan cipta, rasa dan karsa seseorang. Dalam hal ini, tulisan, kata-kata dan musik menjadi media untuk mengungkap segala gairah kemanusiaan itu. Menarik dikemukakan bahwa dari beberapa seniman yang menjadi fokus amatan kami mempunyai corak yang berbeda-beda. Pola yang berbeda ini dapat kita lihat dari karya-karya yang tampil. Tentu saja perbedaaan ini memiliki beberapa variabel yang memengaruhinya. Dari awal tulisan kita lihat genre sastra yang berbeda-beda yang digunakan sang seniman untuk mengeskpresikan gelora ke-Islamannya. Maka dari itu, fungsi dari karya mereka sejajar dengan relevansi yang dihasilkan di masyarakat pembacanya. Paling tidak, dari karya ketiga sastrawan yang sedang kita kaji itu, tercermin semangat zaman yang berhasil mereka tangkap dalam alam imajinalnya sendiri-sendiri. Sehingga kita sebagai pembaca, seolah dihadapkan pada semilyar kemungkinan dari sususan kata yang mereka hasilkan. []


hijaukeboen, mei tiga ‘ribusembilan

Rujukan pustaka:
-          Awuy, Tommy, F, Teater Indonesia –konsep, sejarah dan problema, Jakarta: Cipta, 1999.
-          Bruinessen, Martin van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1995.
-          Danarto, “Proses, Proses, Proses, Proses, Proses, Proses”, makalah pada Temu Sastra 1982, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Dewan Kesenian Jakarta, 6-8 Desember 1982
-          -----------, Orang Jawa Naik Haji, Jakarta: Grafitipers, 1984.
-          -----------, “Mustahil Tuhan Tak Ikut Bermain, Mustahil Tuhan Ikut Bermain”, makalah pada Pertemuan Sastrawan Jakarta 1986, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Dewan Kesenian Jakarta, 18-20 Maret 1986.
-          -----------, “Melihat Tuhan pada Bayi, Tukang Kebun, Binatang…”, dalam majalah Amanah, No. 51, 17-30 Juni, 1988
-          -----------, Asmaraloka, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999
-          -----------, Godlob, Jogjakarta: Mahatari, 2004.
-          -----------, Adam Ma’rifat, Yogyakarta: Mahatari, 2004.
-          Hadi W.M, Abdul, Syekh Hamzah Fansurii: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya, Bandung: Mizan, 1995.
-          ------------------------, Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-esai Sastra Profetik dan Sufistik, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.
-          ------------------------, Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansurii, Jakarta: Paramadina, 2001.
-          Ismail, Taufiq, dkk (editor), Horison Esai Indonesia 1-2, Jakarta: Horison, 2004.
-          Mulder, Niels, Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia (cetakan ke-II), Yogyakarta: LKiS, 2007.
-          Muljana, Slamet, Prof. Dr, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKiS, 2005.
-          Mulkhan, Abdul Munir, Syekh Siti Jenar: Pergumulan Islam-Jawa (cetakan ke-VII),  Yogyakarta: Bentang, 2001.
-          Noer, Kautsar Azhari, Ibn Al-‘Arabî: Wahdat al-Wujûd dalam Perdebatan, Jakarta: Paramadina, 1995.
-          Rahman, Jamal D, “Danarto, Godlob, dan Saya” dalam majalah Horison, Oktober, 2006.
-          Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Suatu Studi terhadap Serat Wirid Hidayat Jadi, Jakarta: UI-Press, 1988.
-          Sofwan, Drs. Ridin, Drs. H. Wasit, Drs. H. Mundiri, Islamisasi di Jawa: Walisongo, Penyebar Islam di Jawa, Menurut Babad (cetakan ke-II). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
-          Sunyoto, Agus, Suluk Abdul Jalil –perjalanan ruhani Syeikh Siti Jenar, Jogjakarta: LKiS, 2003.
-          Teew, A, Prof, Dr, Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1994.
-          Tebba, Sudirman, Syaikh Siti Jenar: Pengaruh Tasawuf Al-Hallaj di Jawa, Jakarta: Pustaka Hidayah, 2004.
-          Teeuw, A, Sastra Indonesia Modern II, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
-          Woodward, Mark R., Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan (cetakan ke-II), Yogyakarta: LKiS, 2004.
-          www.jamaldrahman.wordpress.com


[i] Term al-Haq banyak digunakan kalangan penganut mistik Islam yang beraliran Wujudiyyah mazhab Ibn ‘Arabi. Secara ontologism, term ini melampaui kata Tuhan yang lazim digunakan oleh kalangan awam dalam Islam. Sehingga kemudian banyak menimbulkan kontorversi, khususnya jika sudah berkenaan dengan doktrin penyatuan antara Khaliq dengan makhluk.
[ii] Sutardji melakukan verifikasi atau sebentuk “pembelaan” terhadap puisi atau penyair yang sering dinisbatkan dengan kata gelap. Puisi gelap bagi Tardji, memiliki beberapa kemungkinan. Pertama, puisi itu memang tak terpahami karena bahasa yang digunakan sudah tak lagi hidup di masyarakat. Kedua, puisi itu sengaja menggelapkan dirinya meski bahasa yang digunakan adalah bahasa kontemporer dimana puisi itu dilahirkan. Ketiga, puisi itu sebenarnya tidak gelap. Ia terang seterang-terangnya. Hanya saja, si pembaca tak punya kemampuan estetik yang dapat membongkar selubung makna yang tersimpan di dalam puisi tersebut.




0 komentar:

Posting Komentar

Kami mengucapkan terima kasih atas setiap komentar yang Anda berikan.

 

Pengikut

© 2009 Free Blogger Template powered by Blogger.com | Designed by Amatullah |Template Design