. Peranan Ruh al-Quds dalam Spiritualitas

INDEKS

Kamis, 29 Juli 2010

Peranan Ruh al-Quds dalam Spiritualitas

Oleh Reno Azwir


Sebelum masuk pada uraian soal apa dan bagaimana peranan ruh al-quds ini, terlebih dulu akan kami sertakan beberapa ayat yang di dalamnya tecantum frase tersebut. Pertama, yang berkenaan dengan kata ruh sedang yang kedua, terkait pada kata al-quds

al-Baqarah: 87

Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan Al Kitab (Taurat) kepada Musa, dan Kami telah menyusulinya (berturut-turut) sesudah itu dengan rasul-rasul, dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran (mu`jizat) kepada `Isa putera Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul-Qudus. Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu angkuh; maka beberapa orang (di antara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh?

al-Ma’idah: 110

(Ingatlah), ketika Allah mengatakan: "Hai `Isa putra Maryam, ingatlah ni`mat-Ku kepadamu dan kepada ibumu di waktu Aku menguatkan kamu dengan ruhul qudus. Kamu dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan sesudah dewasa; dan (ingatlah) di waktu Aku mengajar kamu menulis, hikmah, Taurat dan Injil, dan (ingatlah pula) di waktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan izin-Ku, kemudian kamu meniup padanya, lalu bentuk itu menjadi burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan (ingatlah), waktu kamu menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu kamu

al-isra’: 85

Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: "Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".

as-Syu’ara: 193

Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al Amin (Jibril),

al-Ghafar: 15

(Dialah) Yang Maha Tinggi derajat-Nya, Yang mempunyai `Arsy, Yang mengutus Jibril dengan (membawa) perintah-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, supaya dia memperingatkan (manusia) tentang hari pertemuan (hari kiamat),

an-Naba’:38

Pada hari, ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf-shaf, mereka tidak berkata-kata kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata yang benar.

Dari beberapa ayat yang sudah kami cantumkan di atas, ada beberapa hal yang bisa kita sertakan sebagai bahan kajian. Pertama, kata ruh itu sering ternisbahkan kepada makhluq. Dengan kata lain, ia (baca: ruh) masuk dalam kategori substansi dasar ciptaan. Kedua, terkait langsung dengan Jibril as yang juga sering dinamakan sebagai ruh al-amin/ruh al-quds (jumhur mufassirin meyakininya sebagai Jibril as). Maka dari itu, kami akan coba membahasnya satu demi satu. Ketiga, jika kata tersebut mendapat tambahan quds (kudus dalam lema Indonesia), maka secara otomatis ia akan terkait dengan tradisi kenabian. Beberapa nabi yang tersebut namanya adalah Musa, Isa dan Muhammad Saw.
Perihal yang pertama, bahwa ruh adalah substansi dasar dari makhluq, adalah sebuah penjelasan tentang sisi lain penciptaan. Kita tak dapat melepaskannya dari bersatunya dua unsur, materia dan forma. Dalam keduanya inilah, ruh terbungkus. Namun bukan berarti, ruh menjadi tak ada tanpa dua hal itu. Justru yang terjadi adalah sebaliknya. Di dalam ruh itulah, Allah menitipkan napas kehidupan, berikut segala atribut dan arketipe bawaan kita. Dengan kata lain, kata ruh di sini, juga dapat dipahami sebagai ciptaan yang menjadi rantai penghubung bagi terciptanya makhluq Allah yang lain. Mungkin contoh yang paling mudah adalah manusia. Ruh selalu menjalin relasi dengan tubuh manusia, sepanjang usia tubuh masih berlangsung.
            Jika merujuk pada tradisi irfani, kata ruh diamini oleh gnostikus sebagai Intelek. Meski banyak sekali kerancuan yang terjadi saat kita menemukan sekian banyak teks yang mengartikan Ruh sebagai jiwa. Intelek merupakan sarana untuk menerima atau menampung limpahan pengetahuan yang datang dari Allah. Di dalam Intelek tercetak Logos yang kemudian terpancar melalui Akal. Intelek  bersifat Divine. Sedang Akal bersifat profan. Korelasi antarkeduanya, terletak pada teknis pengoperasiannya. Selagi Akal bertindak sebagai penerima secara vertikal kepada Intelek, maka ia memiliki status tak terbatas. Namun jika Akal beroperasi secara horizontal, maka seketika itu juga ia terhukumi dengan keterbatasan, karena ia membatasi dirinya sendiri.
            Intelek pulalah yang kemudian ditiupkan pada setiap makhluk dan jiwa yang segera berkoneksi dengan tubuh. Dari sinilah mengalir napas kehidupan kali pertama. Intelek merasuk ke dalam tubuh jiwa setelah mandiri dalam esensi wujudnya yang kekal. Perkara ini banyak dikabarkan oleh al-Qur’an tentang matinya jasad tapi ruh tetap hidup di sisi Allah. Tentang kekelan wujud ruh, kita dapat merujuknya dalam firman Allah berikut ini, “Sesungguhnya Aku menciptakan manusia dari lumpur, maka ketika Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan kutiup di dalamnya dari ruh-Ku, maka bersujudlah kalian padanya”(QS Shâd [38]:71-72). Kami ingin menegaskan bahwa, hanya ruh saja yang datang langsung dari Allah. Ia tidak dicipta. Melainkan bersumber dari sumber Penciptaan itu sendiri. Karena redaksi yang digunakan dalam ayat itu adalah (kutiup di dalamnya dari Ruh-Ku…), maka dengan itu, ruh pun tetap berada dalam kondisi awalnya dan terus begitu hingga kapan pun.
Soal terbesarnya adalah, tak banyak makhluk khususnya manusia yang menyadari kehadiran Intelek dalam dirinya. Karena sedari termanifestasi, Intelek langsung tertabiri oleh selubung misteri. Maka untuk menguaknya, dibutuhkan Spirit sebagai penyambung utama. Pertanyaan kita sekarang, bagaimana pelabelan kata Quds yang terikut di belakang kata Ruh itu? Cukupkah kiranya jika kita mengamini term tersebut sebagai Intelek yang Suci belaka?
Kini, pembahasan kita sudah bergeser pada persoalan yang kedua. Sejarah agama samawi kerap berhubungan dengan Spirit yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul yang menjadi perisalah-Nya. Tentu, dalam hal ini, Spirit bukan hanya mencetak sejarah, melainkan menjadi landasan utama bagi terpahaminya sebuah Wahyu yang diturunkan oleh Allah. Spirit yang terwahyukan itu, kelak membuka selubung antara makhluk dengan Khaliq, atau bahkan sebaliknya, malah menjadi selubung yang sukar untuk ditembus oleh pemeluk keyakinan tauhid. Karena itulah, maka semua Nabi-Nabi besar pasti dan pernah mengabarkan soal keterkaitan mereka dengan Spirit itu via Ruh al-Quds.
            Mari kita menjelajahi sejenak perihal apakah sejatinya Ruh al-Quds itu? Dalam tradisi mistik Islam, kita dapat mengartikannya sebagai Intelek Suci, yang pentransmisiannya sering dikaitkan pada Jibril a.s. Malaikat yang kerap berkorespondensi kepada para manusia suci dari pra zaman Aksial hingga masa kenabian Rasul Muhammad bahkan sampai saat ini. Sebagai sebuah moda, Ruh al-Quds jarang sekali diulas dengan pemahaman mendetail. Padahal kajian perihal ini terbilang signifikan bagi pemahaman kita. Sebagai perbandingan, antara Kristen dan Islam saja, jelas memiliki pahaman yang berbeda seputar hal ini. Tapi sebelum pembahasan dilanjutkan, baiknya kita telusuri dulu apa status ontologi dari Ruh al-Quds ini.
            Merujuk pada ayat di atas, penyematan gelar ruh al-quds kepada Jibril, lebih diasosiasikan sebagai sebuah penghargaan atas ketundukkannya kepada Allah. Juga disebabkan ia adalah malaikat pertama dan teragung yang mendapat mandat dari Allah untuk menyampaikan Wahyunya kepada para Nabi dan Rasul. Bahwa ia adalah ruh, sudah tentu. Karena ia tercipta[i]. Ia juga suci karena masuk dalam taraf spiritual. Dialah (Jibril) yang menjadi petinggi para malaikat. Ia juga yang menjadi perantara tunggal antara Allah dan Nabi serta Rasul-Nya. Sehingga tak pelak, Jibril pun mendapat kedudukan yang mahsyur lengkap dengan nama yang adigung. 

            Dalam tradisi Kristen, Yesus Kristus diyakini sebagai Ruh al-Quds. Pahaman ini dianggit dari empat Kitab Injil yang ditulis oleh para pengikutnya. Dalam sejarah, Yesus memiliki keunikan tersendiri dalam statusnya sebagai manusia. Ia lahir ke dunia tanpa perantaraan seorang bapak. Maka konsekuensi logisnya, tak ayal ia menyapa Tuhan dengan sebutan Bapa. Sebuah panggilan penuh kehangatan tentu. Keintiman Yesus ini dapat ditelusuri dari kata-katanya yang cukup terkenal, “Eli...Eli lama sabhaktani” (Bapa...Bapa kenapa Kau tinggalkan aku?).
            Bagi sebagian besar umat Kristen, ujaran ini ditelan mentah-mentah makna harfiahnya. Karena sejak awal, kesucian Yesus sebagai Nabi dan Rasul telah dicoreng dengan menisbatkannya sebagai Anak Tuhan. Dalam Trinitas, kata itu dibalik, menjadi Tuhan Anak. Oknum Kedua setelah Tuhan Bapa, dan diteruskan oleh Oknum Ketiga yaitu Roh Kudus. Penetapan Yesus sebagai Anak Tuhan, dimulai dari statusnya tersebut. Dalam Perjanjian Baru disebutkan bahwa Yesus lahir dengan ditiupkannya Roh Tuhan (Kudus) ke dalam rahim Maryam. Maka karena keistimewaannya inilah, ia diyakini sebagai Kreasi  langsung Tuhan dalam penciptaan. Tanpa membutuhkan banyak sebab skunder. Di bawah ini, kami sertakan dua kutipan yang diambil dari Injil dan al-Qur’an;

Dalam bulan yang keenam Allah menyuruh malaikat Gabriel pergi ke sebuah kota di Galilea bernama Nazaret, kepada seorang perawan yang bertunangan dengan seorang bernama Yusuf dari keluarga Daud; nama perawan itu Maria. Ketika malaikat itu masuk ke rumah Maria, ia berkata: “Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau.” Maria terkejut mendengar perkataan itu, lalu bertanya di dalam hatinya, apakah arti salam itu. Kata malaikat itu kepadanya: “Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah. Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai dia Yesus....Kata Maria kepada malaikat itu: “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?” Jawab malaikat itu kepadanya: “.... Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil.” Kata Maria: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” Lalu malaikat itu meninggalkan dia,” (Injil Lukas 1: 26-39).

Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata: "Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu) .... "Hai Maryam, seungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan Kalimat-Ruh al-Quds (yang datang) daripada-Nya, namanya Al Masih Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang di dekatkan (kepada Allah) .... Maryam berkata: "Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun." Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril): "Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: "Jadilah", lalu jadilah dia,” (QS Ali ‘Imran [3]: 42-47).

            Ruh yang ditiupkan Tuhan kepada Maryam itu, juga diyakini sebagai DiriNya sendiri. Karena ia mengalir dari sumber pertama. Jadi dengan kata lain, Ia pula yang akhirnya menjelma menjadi Yesus dalam bentuk manusia. Bahkan bukan cuma menjelma, dalam Trinitas, Yesus diyakini sebagai Tuhan itu sendiri. Itu kenapa akhirnya, doktrin Trinitas sangat sulit memilah mana yang Divine dan profan. Kita bisa saja mengamini bahwa Yesus adalah tuhan. Tapi perkaranya adalah, apakah Tuhan juga mengiyakan bahwa Ia adalah Yesus? Apabila kita mengikuti pola penalaran para gnostik Islam, mereka meyakini bahwa dengan menciptakan Isa, Allah ingin mengajak manusia untuk menjadi dan sadar bahwa ia (baca: manusia) memiliki sifat-sifat ke-Tuhanan.
            Jika dilihat dalam bentuk manusia partikularnya, orang bisa saja mengatakan bahwa Isa adalah putra Maryam. Jika dilihat bentuk humanitasnya, orang bisa mengatakan bahwa dia berasal dari Jibril, sedang bila memertimbangkan penghidupan kembali orang mati, orang dapat berkata bahwa dia adalah Allah sebagai Ruh. Dengan demikian, orang mungkin menyebut dia Ruh Allah, yang, katakanlah, bahwa kehidupan menjadi nyata kepada siapapun yang dia tiup (Ibn ‘Arabi, 2004: 248-249). Dari pasasi singkat tadi, kita sudah menemukan bagaimana berbedanya pemahaman atas Ruh al-Quds dari dua agama yang bermuara dari satu Sumber. Jika dikaitkan dengan Isa al-Masih, Jibril kembali harus diikutsertakan. Dalam al-Quran jelas disampaikan bahwa Jibril a.s datang kepada Maryam untuk mengabarkan perihal kehamilan Suci yang akan terjadi padanya, melalui Ruh al-Quds yang kemudian ditiupkan Jibril a.s ke dalam rahim Perawan Suci Maryam.  
            Jadi sejatinya, apa dan bagaimana sesungguhnya Ruh al-Quds itu? Dalam satu karya yang berjudul “Menguak Misteri Muhammad Saw” ditulis oleh Prof. David Benjamin Keldani, pendeta Katolik Roma sekte Uniate Chaldean (1895) yang kelak memeluk Islam dan berganti nama menjadi Abdul Ahad Dawud, ditemukan satu informasi baru yang mungkin akan menambah perbendaharaan pengetahuan kita perihal pembahasan ini. Dalam karya monumentalnya itu, Prof. Ahad Dawud berhasil menemukan makna tersembunyi dari pengkabaran Yesus tentang kelahiran Nabi Muhammad Saw yang tersiar melalui puluhan khotbah yang disampaikannya. Melalui mulut Yesus itulah ditemukan pertautan antara kata Ruh al-Quds yang ditulis dalam bahasa Yunani, Periclyte, yang berarti Ahmad dalam arti “yang paling Terkenal, Terpuji dan Termahsyur.” (Keldani, 2003: 201).                 
            Jika merujuk pada kerja intelektual Prof. Ahad Dawud, kita kembali diberi suguhan menarik. Kesimpulannya adalah, Ruh al-Quds itu adalah Nabi Muhammad Saw. Tapi bagaimana memahami tesis ini jika pada proses kelahiran Yesus, yang ditiupkan ke dalam rahim Maryam adalah Nabi Muhammad Saw? Lantas kenapa yang muncul adalah Isa al-Masih? Apa pula juntrungannya jika Jibril kita kaitkan dalam pembahasan ini? Mana diantara dua Makhluk suci ini yang paling mungkin ternisbahkan sebagai Ruh al-Quds? Atau memang jangan-jangan tak ada satu pun yang layak menyematnya.
            Baik Isa dan Muhammad, masing-masing memiliki keunikan tersendiri, yang dapat bertautan satu sama lain. Isa sebagai nabi dan manusia, jelas tercipta dari sebuah kondisi yang tak jauh beda dengan Nabi Adam dan Siti Hawa. Dari dan dengan Ruh al-Quds itulah Isa termanifestasi. Sedang Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir, dikabarkan sebagai penyempurna risalah ketuhanan. Ia adalah manusia sempurna[ii] yang pernah ada. Dalam mistik Islam, nur Nabi Muhammad Saw diyakini sebagai alasan utama penciptaan semesta dan segala isinya. Nur itu terus mewaris melalui para nabi dan rasul. Dalam sebuah hadits Bukhari disebutkan bahwa Muhammad sudah menjadi nabi sebelum Adam. Maka tak heran jika kemudian Isa al-Masih menubuatkan kedatangannya dengan menggunakan sebutan Mhamda dan Hamida[iii]. Sampai di sini, kita dapat sedikit memahami apa sebenarnya rahasia yang terkandung dalam istilah Ruh al-Quds itu. Jelas ia berbeda dengan ruh yang ada pada setiap makhluk Allah yang lain. Alasan utama dan terutama adalah, karena kontribusinya bagi penyampaian Wahyu serta pemanifestasiannya.

Syeikh al-Akbar dan kontribusi intelektualnya
Dari berbagai macam definisi yang telah kami uraikan di atas, dapat ditarik satu pemahaman yang akan mengantarkan kita pada sebuah kesimpulan, bahwa Ruh al-Quds sejatinya mengandung unsur Keilahian yang hanya termanifestasi pada subjek-subjek ciptaan teragung dalam sejarah penciptaan. Rahasia Ruh al-Quds ini baru akan terkuak jika kita mendekatinya dengan pola penjabaran yang disumbangsihkan oleh Ibn ’Arabi sebagai Jenderal Teragung mistikal Islam. Di bawah ini, kami akan mengikutsertakan beberapa uraian singkat beliau perihal subjek kajian kita.
            Kalau tidak karena Dia dan karena kami,
                        Itu tidak akan terjadi.
            Kami adalah hamba-hamba yang paling benar,
                        Dan Allah-lah junjungan kami.
            Tetapi kami berasal dari esensi-Nya, jadi mengertilah,
                        Ketika aku katakan “manusia”
            Dan tidak dapat diperdayakan oleh “manusia”,
                        Karena Dia telah memberimu satu bukti.
            Menjadilah Ilahi (dalam esensi) dan menjadi makhluk hidup (dalam bentuk),
                        Dan karena Allah kamu menjadi merasa sangat kasihan.
            Kami telah memberi-Nya apa yang nyata pada kami melalui Dia,
                        Sebagaimana Dia juga telah memberi kami.
            Semua masalah, dipikul, dibagi,
                        Antara Dia dengan kami.
            Dia yang mengetahui dari luar kepala,
                        Menghidupkannya kembali ketika Dia memberi kami kehidupan.
            Bagi Dia kami adalah eksistensi, esensi,
                        Dan instansi waktu.
            Bagi kami ia tidaklah tetap,
                        Melainkan hanya sebentar (tetapi ia memberi kami kehidupan).

            Pemerian Syeikh al-Akbar untuk terminologi Ruh al-Quds sangat memukau dan kami kira dapat membantu kita untuk menjernihkan pemahaman. Hidupnya Isa misalnya, terjadi dengan perantaraan Ruh al-Quds, melalui proses peniupan. Allah meniupkan Napasnya langsung kepada Isa, sehingga segala potensi yang dimilikinya, secara ipso facto bersifat Keilahian. Hal ini juga terjadi pada Jibril yang masuk ke Kosmos kita, sedang dirinya nirmateri. Jika bukan atas peniupan Napas Tuhan ke dalam dirinya, mustahil Jibril bisa hilir-mudik melintasi dua Dunia yang konsubstansial.[iv]  
            Dalam kasus Isa, kita dapat menarik satu garis lurus yang menyangkut konsekuensi bawaan atas penciptaannya. Ia yang hidupnya termanifestasi melalui tiupan Napas Sang Kekasih, secara mutlak kehilangan dirinya sendiri. Segala yang keluar dari mulutnya sebagai sabda, bukan datang darinya, melainkan murni dari Allah. Ruh al-Quds yang ditiupkan Allah padanya, jelas membuat Isa seperti Tuhan. Perhatikanlah semua mu’jizat terbesar beliau. Tapi itu bukan berarti ia kehilangan dimensi kemanusiaannya.
            Banyak hadits yang menggambarkan situasi kemanunggalan dalam dualitas pada Nabi Isa. Seperti “Aku adalah lidah yang digunakan-Nya untuk berbicara[v]. Atau “Aku mengatakan pada mereka hanya apa yang Engkau perintahkan untuk mengatakannya.” [vi] Ini menandakan bahwa Isa al-Masih terlahir untuk menjadi perpanjangan langsung dari Tuhan. Ia menjadi simbol penegasian. Sebab semua yang datang darinya, adalah bukan darinya sendiri. Melainkan Ia yang menginginkan-Nya. Melalui Ruh al-Quds, Allah memerintahkan Isa untuk terus memohon Kasih dan mengasihani dirinya. Itulah alasan utama  kenapa Isa putra Maryam dikenal sebagai Nabi yang penuh Kasih.       
            Apa yang terjadi pada Nabi Isa, juga tak jauh beda dengan yang terjadi pada Rasul Muhammad Saw. Disparitas paling mencolok hanya terletak pada tataran biologis saja. Bahwa beliau lahir dengan cara manusia kebanyakan berkembang biak. Tapi pada tingkatan Spiritual, Muhammad sebagai perwujudan dari Ruh al-Quds, juga merupakan cetak biru dari Kreasi Ilahi. Hal ini dapat kita verifikasi dalam al-Qur’an yang mengatakan bahwa pribadi Rasul Muhammad Saw adalah al-Qur’an. Ia merupakan Wahyu pada dataran ontologis, yang tercitra dalam bentuk manusia. Tak ubahnya seperti Isa al-Masih. Tapi Muhammad Saw adalah Manusia Sempurna. Jasmani maupun ruhani.
            Menilik pada ulasan Syeikh al-Akbar dalam Fusus al-Hikam-nya, Rasul Muhammad pernah menggelontorkan sebuah hadits yang membicarakan soal tiga hal yang dicintakan kepadanya: wanita-wanita, wewangian dan shalat. Kata dicintakan mengandung konsep partisip pasif. Dalam artian, Rasul Muhammad tercipta dengan kondisi yang mengakibatkan dirinya dicintai oleh tiga hal tersebut. Wanita-wanita yang dalam teks Arabnya ditulis dengan menggunakan kata nisa’, menunjukkan kandungan feminin. Begitu pun halnya dengan kata shalat yang juga feminin, diletakkan setelah kata wewangian yang bersifat maskulin.
Triplisitas ini adalah bukti betapa Muhammad Saw membawa dua unsur Primordial Tuhan. Masukulin-Feminin. Yin dan Yang. Sekaligus menandakan bahwa beliau adalah perwujudan Khaliq-Mahkluk yang saling berkorelasi. Pada kasus wanita-wanita, Muhammad Saw menjadi objek cinta dari wanita yang sebenarnya adalah sebentuk wujud lain yang termanifes dari citra laki-laki. Setelah mengalami keterpisahan, maka wanita pun merindukan dirinya untuk dicinta. Sehingga laki-laki pun memberikan cintanya. Sebuah hubungan timbal-balik yang sejatinya datang dari satu sumber.
Allah sebagai Cinta par exelence melihat Diri-Nya sendiri pada Muhammad yang dicintai oleh wanita. Dengan penalaran lain Allah yang menjadi pengumpul dari Nama-Nama dan menjadi ar-Rabb, meminta hambanya (marbub) Muhammad yang terpecah menjadi wanita, untuk mencintainya. Model penalaran seperti ini memang agak sedikit membingungkan. Namun sebenarnya cukup untuk memberikan satu gambaran betapa Ia sebagai ar-Rabb jelas merindukan Diri-Nya juga dicintai oleh menifestasi-Nya sendiri. Di titik inilah, tak syak Rasul Muhammad dapat diigelari sebagai nabi cinta. Makhluq sempurna yang mengatasi segala kebencian dan merubahnya menjadi kebergantungan.
Dalam wewangian yang sifatnya Maskulin, kita juga dapat menemukan ketersambungan lain antara Muhammad dengan Allah Rabbul ‘Alamin. Wewangian yang dimaksud di sini, jelas adalah aroma yang segala sifatnya mengandung kebaikan. Bukan seperti aroma bunga yang kita suka tapi tidak untuk sebagian serangga. Muhammad menyukai wewangian dalam kemaskulinannya sebagai lelaki. Hal ini juga untuk memberi penegasan bahwa dalam dirinya, ia lebih mengedepankan unsur feminin. Terbukti dengan diterakannya unsur itu sebanyak dua kali dan diimbangi dengan maskulinitas yang hanya sekali saja. Wewangian itu sendiri.
Wewangian sarat dengan kedekatan. Karena dengan keharuman itulah, objek yang menciumnya mendekat kepada subjek wewangian itu. Kiranya beginilah penganalogian kita untuk mendedah bagaimana Wewangian dan Muhammad saling berjalin-kelindan. Di bagian ketiga, ada shalat yang menjadi penaut antara Rasul Muhammad dengan Allah. Dalam hal ini, Shalat sebagai do’a dan upaya penyembahan, terbagi ke dalam dua kutub: Khaliq dan makhluk. Syeikh al-Akbar mengatakan bahwa Allah juga melakukan shalat untuk Diri-Nya di dalam Manifestasi-Nya. Ia menyembah makhluq dan mengharap satu imbalan yang berwujud pada pengakuan bahwa Ia adalah Rabb. Ini terjadi dalam kutub Shalat yang dilakukan oleh Khaliq.
Jika shalat yang berlangsung dalam kutub kemakhlukan, Allah murni sebagai objek sesembahan. Hampir keseluruhan ayat dari al-Fatihah yang dibaca dalam shalat, semuanya mengarah pada Allah yang menjadi objek tunggal dari segala puja-puji cinta. Hanya pada ayat terakhir sajalah kita diberi kesempatan untuk meminta sebuah permohonan yang akan dikabulkan-Nya, karena memang di bagian ayat itulah milik kita yang sebenarnya. Namun tetap saja, Ia kembali mengukuhkan posisi-Nya sebagai satu-satunya tempat bagi segala permintaan. Dimana tak ada lagi Zat di luar Diri-Nya yang dapat mengisi kedudukan itu.
Sampai di sini, kami ingin memberi penegasan bahwa Ruh al-Quds yang menghidupi Kosmos dalam Napas-Nya, adalah sarana peniupan Allah pada segenap ciptaan. Meski pada dataran ontologis, terjadi berbagai peningkatan dan penurunan. Derajat Ruh al-Qudds menjadi bertingkat secara vertikal, jika ia ditiupkan pada makhluk semisal Isa dan Muhammad. Ia mengalami penurunan jika yang ditiup adalah makluk biasa yang secara alami meski melalui berbagai tahap perwujudan kehidupan. Penurunan yang sejatinya kembali akan membuatnya terangkat setelah kita sebagai makhluk, sadar, betapa sebagai hamba, kita hanya butuh satu pengaktualisasian; Menyembah dan Disembah.



[i] Penggunaan kata ruh di sini, jelas berbeda dengan ruh yang ditiupkan ke dalam rahim Maryam binti Imran.      Dalam status kekelannya, ke dua jenis ruh ini sama. Namun dalam status ontologis, yang satu tidak tercipta sedang satunya dicipta. Karena dari ruh inilah, segala ciptaan bermula.
[ii] Istilah Manusia Sempurna dengan huruf besar, bermakna sebagai semua ciptaan yang termanifestasi sebagai  
  Insan al-Kamil. Sempurna sebagai ciptaan dan di dalam dirinya sendiri. Muaranya yang sejati adalah Haqiqat
  al-Muhammadiyyah
[iii] Kata dalam bahasa Aramia.
[iv] Memiliki substansi, sifat dan hakikat yang sama.
[v] Bukhari, LXXX: 38.
[vi]  Ibid, V: 117.

Sumber rujukan:
-          ‘Arabi, Ibn, Fusus al-Hikam –mutiara hikmah 27 nabi, Yogyakarta: Islamika, 2004.
-                            Benjamin Keldani, Prof. David, Menguak Misteri Kehidupan Muhammad Saw, Jakarta: Sahara Publishing, 2003.
-                            Murata, Sachiko, The Tao of Islam –kitab rujukan tentang relasi gender dalam kosmologi dan teologi Islam, Bandung: Mizan, 2004.
-                            Schimmel, Annemarie, Mengurai Ayat-Ayat Allah, Jakarta: Inisiasi Press, 2005.
-                            Schuon, Fritjof, Hakikat Manusia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
-                            Quthb, Sayyid, Keindahan al-Qur’an yang Menakjubkan –buku bantu memahami tafsir fi- zhilalil qur’an, Jakarta: Robbani Press, 2004.



0 komentar:

Posting Komentar

Kami mengucapkan terima kasih atas setiap komentar yang Anda berikan.

 

Pengikut

© 2009 Free Blogger Template powered by Blogger.com | Designed by Amatullah |Template Design