. Pasasi Singkat antara Pantheisme-Panentheisme vis a vis Wahdah al-Wujud

INDEKS

Kamis, 29 Juli 2010

Pasasi Singkat antara Pantheisme-Panentheisme vis a vis Wahdah al-Wujud

oleh Reno Azwir

Kata benda pantheisme (pantheisme), muncul secara gradual dalam susunan kata berbeda. Meski ia bermuara dari bentukan dua kata Yunani yang memiliki satu arti: pan (semua dan theos (Tuhan). Istilah “panteis” mencuat kali pertama dalam karya ilmiah Jhon Toland dari Irlandia (Socianisme Truly Stated pada 1705 M). Kedua, dengan bentukan kata “pantheisme” oleh Fay, lawan polemik Toland, pada 1709 M.[i] Sedang istilah teknis wahdah al-wujud, dikenalkan oleh penerus intelektual Ibn ‘Arabi, al-Farghani. Penggunaan istilah ini, sebenarnya dicuplik secara implisit oleh al-Farghani melalui karya-karya Syeikh al-Akbar. Meski secara eksplisit, Ibn ‘Arabi sendiri tak pernah mengatakan dengan gamblang, bahwa ia adalah penganut dan penggagas doktrin wahdah al-wujud. Setidaknya begitu yang terekam dalam catatan sejarah.
            Menjelaskan istilah pantheisme sendiri, membutuhkan kerja keras intelektual yang tidak mudah. Karena terdapat belasan penjabaran dari beberapa ahli di Barat, yang nampaknya saja berbeda dan berseberangan, tapi sedang menyampaikan maksud yang senada. Untuk memudahkan, saya kutipkan satu penjelasan dari Robert Flint yang digelontorkannya pada 1877 M:

Pantheisme adalah teori yang memandang segala sesuatu yang terbatas sebatas aspek, modifikasi, atau bagian belaka dari satu wujud yang kekal dan ada dengan sendirinya; yang memandang semua benda material dan semua pikiran partikular sebagai yang mesti berasal dari suatu substansi tak berhingga yang tunggal. Substansi absolut yang Esa itu –wujud maha meliputi yang Esa –disebut Tuhan. Jadi, Tuhan, adalah semua yang ada; dan tidak sesuatu pun yang tercakup secara esensial dalam, atau yang tidak mesti berkembang keluar dari, Tuhan.[ii]  
           
Sedang untuk penjelasan wahdah al-wujud sendiri, saya menggamitnya dari William Chittick, yang menulis bahwa, tidak mudah untuk menemukan padanan kata wajada (menemukan: finding) atau wujida (ditemukan: to be found) yang diambil dari akar kata WJD. Jika wujud diterjemahkan sebagai being atau existence, akan muncul masalah baru.[iii] Karena untuk mengoperasikan dua kata ini secara ilmiah, ada banyak pendapat yang berseberangan. Khususnya pada para filosof eksistensialis Prancis, semisal Nietszche dan Sartre.
Istilah wahdah al-wujud harus dikembalikan kepada konteks awal digunakannya istilah ini. Yang menyiratkan Kesatuan Wujud. Bukan antara kosmos-ciptaan dengan al-Haq. Karena tiada yang wujud selain al-Haq sendiri. Kosmos mewujud hanya dengan modalitas al-Haq yang termanifestasi dalam alam Wahidiyyah. Di luar pengertian ini, saya kira tidak masuk pembahasan wahdah al-wujud. Hal ini lebih disebabkan, bahasan seputar wujud dalam konteks mystisisme dan filsafat Barat, seperti jauh panggang dari api. Eksistensi-wujud, adalah dua kategori yang tak akan bertemu akar pangkalnya. Saya menduga, istilah eksistensi (existence) yang lazim dipakai di Barat, adalah perkembangan dari dioperasikannya deisme-monisme-pantheisme-naturalistik. Sebuah upaya untuk mendedah kosmos yang termaterialkan. Realitas Yang Ultim terpinggirkan hingga pada derajat material. Itu kenapa para penggagas panteis menyebut pola pikiran mereka sebagai monisme. Kebersatuan kosmos ini, lebih dikarenakan pada adanya materi yang menjadi modalitasnya.
Tuhan dalam pantheisme, dilihat dalam kejamakan. Semua yang terbabar di kosmos ini, adalah bukti keberadaannya. Dia adalah alam. Tapi alam, bukanlah Dia yang Ultim. Karena dalam alam, tidak terdapat Tuhan. Kejamakan yang tampak itu, tetap tidak bisa dinisbatkan sebagai Tuhan per se. Hal ini dapat dimengerti, ikhwal adanya pembedaan antara Pencipta dan yang dicipta. Meski keduanya identik. Panteis sejati, tidak akan pernah memisahkan Tuhan dan ciptaanNya. Karena segala keterpecahan yang dapat terindra itu, adalah Dia yang mewujud dalam materi-materi.
Sekilas, pemahaman seperti ini seolah bernada sama dengan wahdah al-wujud. Dan inilah yang sering dialamatkan kepada Ibn ‘Arabi oleh para pemikir-pemikir Islam tradisional. Pasalnya sederhana saja, pasasi para panteis dianggap terlalu berbahaya, karena Tuhan terkesan plural. Meski Ia berusaha Disatukan. Semua adalah Tuhan. Dengan kata lain, Ketunggalannya terkaburkan, dan pada pemahaman yang lain, derajat KeagunganNya pun merosot ke alam profan. Ia Yang Suci, kehilangan takhtanya untuk dihormati sebagai pencipta. Karena meja, kursi, asbak rokok, ladam kuda, comberan, telaga, laut dan yang lain, juga Tuhan dalam waktu yang bersamaan.
Dalam pantheisme, ada beberapa anasir yang dapat mengantarkan pemahaman kita untuk serta-merta menjustifikasinya. Seperti, imanensi-transendensi, personal-impersonal, identik sempurna-identik tak sempurna –keduanya dikaitkan dengan substansi ketuhanan. Dari yang identik dan tak identik ini, lahir pantheisme tipe fisis, metafisis dan psikis. Perkara imanensi, bisa dipahami sebagai Tuhan yang mengada di dalam makhluk. Argumen ini dibantah oleh mereka yang mengatakan sebaliknya, yaitu transendensi Tuhan dilihat dari alam yang tercipta dan membawa pemahaman kita kepada diri-Nya.
Untuk kasus personal, para panteis meyakini alam ada dalam diri-Nya yang mewujud materi. Sedang impersonal berbeda halnya. Secara impersonal, Tuhan tidak dalam alam. Tapi alam ini adalah bentukan dari diri-Nya. Sekilas, konsep ini nampak sejajar dengan deisme. Mereka yang mengatakan Tuhan dan alam itu identik sempurna, adalah terletak pada bagaimana satu substansi ada pada keduanya, dilihat secara bersamaan. Sehingga tak ada pembedaan atau batasan yang jelas antara dua entitas ini. Begitupun sebaliknya, mereka yang menyatakan bahwa keduanya tidak identik sempurna, juga berkait erat dengan substansi yang melingkupi Tuhan dan alam. 
Anasir-anasir tersebut di atas, masih bisa ditipologikan lagi ke dalam pantheisme fisis, yaitu mereka yang mengatakan bahwa hanya fisik semata yang membuat Tuhan itu alam dan alam adalah Tuhan yang mewujud via materi. Lain halnya dengan pantheisme jenis metafisis, yang menganggap bahwa Tuhan dan alam adalah satu sumber secara substansi. Dan tidak akan pernah bisa dibedakan hingga di derajat eksistensi (istilah eksistensi ini merujuk pada being yang lazim digunakan oleh filosof barat) terendah. Tipologi yang ketiga adalah, pantheisme psikis, yang mengamini bahwa Tuhan dan alam satu Ego. Atau dalam term yang lain, dapat disamakan dengan Jiwa. Ia Yang Ultim. Pada kedua entitas semisal Tuhan dan alam, hanya kadar Jiwa inilah yang menjadi pengait simpulnya.     
Memang pada praksisnya, Ibn ‘Arabi terkesan menggagas hal yang sama dengan para panteis. Tapi sejatinya, hal ini terlalu naif untuk disematkan kepada Syeikh al-Akbar. Karena kenyataannya, apa yang dipahami sebagai wujud oleh Ibn ‘Arabi, berbeda tingkatan ontologisnya dengan being-eksistensi yang kerap digunakan panteis sejati. Kedua istilah teknis ini, sama-sama memiliki kecanggihan argumennya masing-masing. Dan dalam perkembangannya, jika kita sedikit teliti untuk memahami, maka akan ditemukan coincidentia oppocitorrum antara keduanya. Namun mengingat tingkat kerumitannya, masing-masing dari istilah ini mulai berdiri sendiri sebagai grand naratif dalam kancah pemikiran.
Wujud pada sistem pemikiran Ibn ‘Arabi, adalah Realitas Utama Tunggal. Ia adalah Realitas bi la kayfa - ma siwallah. Di luar Diri-Nya, tiada yang riil. Dan sudah tentu tidak akan ada wujud yang wajib di luar keberadaannya sebagai satu Eksistensi. Semua masuk dalam kategori imkan; mumkin al-wujud. Memahami teorema ini, sama dengan matahari dengan cahayanya. Atau cahaya dengan warna. Wujud yang Satu itu, menjadi sumber utama dari lahirnya wujud mumkin. Keduanya Wujud dalam satu modalitas. Tapi berbeda derajat eksistensinya. Jika wajib al-wujud adalah wujud yang desken ke Alam Mulq. Maka mumkin al-wujud mengalami asken ke Alam Ahadiyyah.
Sampai di sini, wahdah al-wujud tetap tidak mengatakan bahwa ada banyak wujud yang independen. Semua Satu dalam kejamakan. Jamak tapi tetap tidak satu Realitas. Seperti halnya matahari dengan cahayanya. Sebagai sumber, ia (baca: matahari) tak akan pernah terpengaruh dengan cahaya yang keluar darinya. Tapi cahaya itu sendiri, memiliki ketergantungan eksistensi terhadap eksistensi matahari. Atau cahaya dengan warna. Sebagai sumber utama, cahaya adalah satu subjek yang terobjektifikasi dalam setiap warna. Merah, jingga, kuning, biru dan lainnya, adalah juga cahaya. Hanya berbeda tingkatan kualitasnya saja. Mereka satu, tapi jamak dalam tasyqiq al-wujud (gradasi eksistensi) masing-masing.
Wujud sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn ‘Arabi, tetap tidak dapat disamakan dengan segala yang ada di luarnya. Karena Ia Mandiri. Riil dalam Substansi dan Esensi. Sedang semua yang ada di luar diri-Nya, lebih sebagai manifestasi belaka. Atau refleksi yang sampai kapan pun, tak akan pernah nyata. Adapun keadaan yang kini terwarisi kepada  alam dan segala yang ada di dalamnya, bukan eksistensi par exelence. Melainkan, diberkahi derajat eksistensi desken oleh Wajib al-Wujud. Letak kebersatuan antara yang jamak ini, ada pada wilayah ontologinya. Wajib al-Wujud dan mumkin al-wujud adalah dua entitas yang sama. Kesamaan keduanya adalah wujud itu sendiri.
Dengan kata lain, Wujud Yang Wajib tetap sebagai diri-Nya. Namun mumkin al-wujud bukan dan tidak akan pernah bisa disejajarkan dengan Wajib al-Wujud. Sampai kapan pun. Ibn ‘Arabi bukan bermaksud mengatakan bahwa apa yang dipahaminya itu juga sama dengan pantheisme. Di awal tadi, saya sudah berusaha menjelaskan tingkatan penggunaan epistemologi dari masing-masing istilah ini. Sehingga berbeda pula wilayah operasionalnya. Pantheisme tidak akan pernah bisa mengantarkan pemahaman kita kepada konsep tawhid dalam Islam. Karena derivasi terjauh dari konsep ini, ternyata malah mengantarkan penganutnya kepada kegalatan. Sedang wahdah al-wujud yang digagas oleh Ibn ‘Arabi, berjalan di  rel yang berbeda: tak ada makhluk tak ada Khaliq. Yang ada hanya al-Haq. Selain dari itu, masuk dalam kotak anulir.
Pokok kajian terakhir adalah, panenteisme. Mereka yang menganut paham ini, hampir susah dibedakan dengan beberapa tipe pantheisme. Sehingga keduanya membuka peluang untuk disalahtafsirkan. Bahkan bisa mengarah kepada wahdah al-wujud. Panentheisme mengatakan bahwa Tuhan dan alam saling bertentangan dalam setiap polanya. Kata bipolar merupakan kunci utama untuk memahami istilah ini. Tuhan ada dalam alam. Tapi alam tidak bisa memuat semua substansi dan aksidensi Tuhan Yang Absolut. Karena Tuhan juga mewujud di luar alam secara abstrak. Sedang bentuk kongkritnya adalah badan kosmik yang kita namakan alam. Dalam Tuhan ada unsur Tunggal dan Jamak sekaligus. Keduanya tergantung satu dengan lainnya. Ketunggalan Tuhan, musykil dipahami tanpa ada yang Jamak. Dan Kejamakan itu, harus pula ditarik aksidensi-substansinya menjadi Ketunggalan. Sehingga kita tak bisa menyebut alam, tanpa Tuhan. Atau Tuhan tidak akan ada tanpa alam. Dalam artian, sukar bagi kita memahami Eksistensi Tuhan, tanpa melihat aksidensinya. Begitupun sebaliknya, aksidensi-substansi alam, adalah “kepanjangan tangan” dari Tuhan Yang Absolut. Demikian kiranya yang saya pahami antara pantheisme-panentheisme dan wahdah al-wujud.

0 komentar:

Posting Komentar

Kami mengucapkan terima kasih atas setiap komentar yang Anda berikan.

 

Pengikut

© 2009 Free Blogger Template powered by Blogger.com | Designed by Amatullah |Template Design