. Menanti Kelahiran Nabi Baru

INDEKS

Kamis, 29 Juli 2010

Menanti Kelahiran Nabi Baru

oleh Reno Azwir

Tanggal duabelas bulan Rabi’ul Awal tahun 1429 Hijriah ini, bertepatan dengan duapuluh Maret 2008, umat Islam dunia memeringati hari lahir seorang manusia agung nan memesona, Muhammad Saw. Anak Abdullah bin Abdul Muthalib. Buah manis pernikahannya dengan bunga kota Makkah kala itu, Siti Aminah. Mereka berdua tentu tak tahu menahu, bahwa kelak anak semata wayangnya akan menjadi manusia paling sempurna yang pernah dilahirkan di bumi ini. Dalam catatan sejarah hingga kini, praktis hanya Muhammad-lah yang memiliki kategori keunikan tersendiri yang tiada banding. Bentuk dasar utama dan rujukan satu-satunya bagi mereka yang ingin mendekati hidup sebagai manusia sempurna (al-insan al-kamil). Dan sebagai manusia sediakala (al-insan al-qadim). Dua atribut itu menjadi jembatan antara alam makrokosmos dan mikrokosmos sekaligus. Keluhuran budi dan tingginya kualitas akal serta intuisi Nabi Muhammad Saw, adalah sejarah Islam itu sendiri. Ia menyejarah bersama waktu.

            Islam sebagai agama terbesar ke dua dunia setelah Kristen, tak pelak turut andil mencatat riwayat pergerakan dunia.  Tercatat sedari abad ke-7 M, hingga kini. Hampir  dalam segala bidang, Islam memiliki peranan dalam proses tumbuh kembangnya adab dunia. Hingga peradaban yang kita kenal kini, tak pernah akan terwujud jika Islam pascawafatnya Muhammad tak melahirkan Al-Kindi dan sederet nama filosof besar lainnya. Bagaimana menelisik peran vital Muhammad, tentu bukan perkara mudah. Tapi berbagai kajian ilmiah dan literatur unggulan telah dihasilkan demi memahami seluk-liku tokoh ini dalam menjalani hidupnya. Dari sekian banyak rujukan itulah, kita dapat mengenal sosok ini lebih dekat.
            Muhammad sebagai manusia, nabi dan rasul pilihan sekaligus. Ketiganya  menanggung beban tersendiri yang mesti tetap dijalani dalam kehidupannya. Sebagai manusia, beliau hidup wajar seperti manusia lain. Selaku nabi, tentu keluarga yang dibinanya harus tetap terjaga dari segala macam dosa dan kemaksiatan. Ditambah ia adalah nabi terakhir (khatam al-anbiya) dari ratusan ribu nabi yang lahir sebelumnya. Juga rasul pembawa risalah Langit terakhir. Dengan bertugas menyebarkannya kepada seluruh manusia. Sehingga Islam pun menjadi akhir dari riwayat pewahyuan dari dua agama sebelumnya, Yahudi dan Kristen. Maka Islam pun disebut sebagai rahmatan lil’alamin (anugerah bagi semesta alam).
            Ingar-bingar maulid (peringatan hari kelahiran) Rasul Muhammad Saw, yang telah dimulai sejak era kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, seolah semakin menjauhkan esensi ke-rasulan beliau dari Islam sebagai agama per se. Rekam jejak Islam sepanjang limabelas abad berlangsung, melulu ditandai dengan serangkaian nostalgia semu. Jauh panggang dari api. Karena hanya menilai masa lalu, tanpa memahami dasar pikir yang terjadi di masa kini. Padahal, peradaban Islam yang berkembang pada Abad ke-7 M (pada masa Dinasti Abbasiyyah) adalah hasil pergulatan intelektual tingkat tinggi. Yang berupaya mensintesiskan peradaban Yunani-Romawi dan Islam.
            Kenabian yang lazim dida’wahkan dalam setiap perhelatan maulid, hanya berkutat pada bagaimana Allah menunjuk hambanya untuk menjadi wakil-Nya di muka bumi. Seolah-olah, seseorang yang menjadi nabi itu terdelegasi langsung tanpa tedeng aling-aling. Padahal sebagai makhluk bebas dengan kehendak (iradah) yang ada pada dirinya, manusia pula yang turut andil menjadikan dirinya sebagai nabi. Para filosof Islam seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan al-Ghazali (sekadar menyebut contoh), adalah pemikir handal yang berusaha mendedah teori kenabian melalui konsep Akal dan Jiwa. Al-Farabi dalam bukunya Ara’u Ahl al-Madinah al-Fadlilah (Kota-Kota Utama), mengatakan bahwa hanya manusia yang telah melampaui Akal Materi (pengindraan dan khayal) – Akal Potensial – Akal Praksis dan menaiki tangga  Akal Perolehan (mustafad), dan mampu menyatukannya dengan Jiwa yang bersih-lah yang kemudian dapat berhubungan dengan dinding-dinding gaib, alam cahaya serta Akal Aktif: Tuhan (Asy-Syarqawi, 2003: 117). Orang-orang seperti yang ditengarai al-Farabi ini memang tak banyak. Dan mereka yang hanya segelintir itulah, kelak kita sebut sebagai nabi.
            Jadi, untuk mendapatkan predikat nabi itu, bukanlah hal yang mudah. Bagi sebagian penganut Islam –mazhab Sunni (ahl al-sunnah wa al-jama’ah)-, pengabaran al-Quran bahwa Nabi Muhammad Saw adalah manusia biasa dan nabi yang ummiy (buta huruf), ditelan secara harfiah pemaknaannya. Sehingga nabi besar ini terkesan sangat inferior. Karena tak mampu membaca dan menulis. Padahal, peran seorang nabi adalah pembawa risalah ketuhanan dan harus mampu menerjemahkan bahasa Langit itu menjadi cahaya penerang bagi manusia di bumi. Tentu dengan membahasakan ulang ke dalam bahasa bumi. Sejatinya, julukan tersebut bermaksud ingin menyampaikan bahwa Muhammad adalah penunjukan Tuhan tentang “kesucian” dari wadah baik yang universal dan manusiawi. Sehubungan dengan wadah ini, tidak ditentukan oleh sesuatu pun kecuali oleh Allah. Sebelum Pena-Nya digerakkan, ia merupakan halaman yang kosong. Tak ada selain Allah yang mengisi ciptaan-Nya, intelek, avatara (Schuon, 1994: 76).
            Jika ditilik lebih jauh, mustahil kita mengharapkan syarah (komentar) canggih rasul terhadap al-Quran yang kemudian berbentuk sunnah, jika secara intelek beliau adalah manusia yang bodoh. Dan bagaimana pula kita meyakini sesuatu kebenaran, kepada seorang nabi yang dalam kehidupannya pernah melakukan kesalahan. Karena itu, ia jelas bukan manusia sembarangan. Sebab jika begitu kenyataannya, terbuka satu atau beberapa kemungkinan bagi rasul untuk salah menafsirkan wahyu Allah yang diturunkan kepadanya. Sehingga berdampak buruk bagi umat. Oleh karena itu, nabi atau rasul, terutama Rasul Muhammad Saw, mesti terjaga dari perbuatan dosa (maksum). Baik dalam ucap maupun tindakan.
            Maka untuk itu, setiap nabi pasti memiliki ritual tersendiri untuk memersiapkan diri bagi limpahan Wahyu yang akan datang padanya. Seperti yang sering dilakukan oleh Muhammad muda di Gua Hira’ untuk bertahannuts (berkontemplasi dari riuh-rendahnya kebejatan kota Makkah). Dan jangan pula dinafikan bahwa sedari belia, beliau telah ditabalkan sebagai pemuda terpercaya. Jauh dari dusta. Hal ini mengindikasikan kepada kita, bahwa setiap calon nabi atau rasul, harus lebih dahulu membersihkan jiwanya. Sebelum Keagungan Ilahi turun (tanzil) dari alam adi kodrati ke alam yang profan dan berlumuran dosa. Sehingga Kesucian Firman itu tertampung secara baik dalam akal dan jiwa penerimanya –nabi dan rasul dalam hal ini-. Untuk kelak ditransformasikan kepada umat manusia yang harus dibimbingnya dari kegelapan menuju jalan yang terang benderang.
            Rasul Muhammad sebagai penutup risalah kerasulan, adalah bentuk nyata dari tajalliat-nya (penampakan) dan hulul (menyatunya) Tuhan di muka bumi. Ia melampaui segala ciptaan Tuhan yang lain. Karena dalam dirinya, ditemukan pencipta dan yang dicipta sekaligus. Ia manusia. Namun mengandung aspek Ilahiah tingkat tinggi. Al-Quran membenarkan ini dengan mengatakan bahwa ahlak Muhammad adalah al-Quran. Dengan kata lain, Muhamammad adalah Wahyu itu sendiri. Itu kenapa akhirnya, hampir tak ditemukan cacat fisik dan non-fisik pada sosok Muhammad semasa hidupnya. Ia menjadi bentuk penyempurna dari rentetan wahyu yang turun sebelumnya. Selaiknya lembaran terakhir dari satu jilid buku, ia memosisikan dirinya sebagai bagian pelengkap. Yang mau tidak mau harus sempurna sebagai satu korpus. Kemanusiawian Muhammad tak menemukan padanan pada manusia lainnya. Sebab ia lahir dari sebuah keistimewaan penciptaan. Dan takkan ada lagi keistimewaan lain setelah kepergiannya. Tapi selesaikah? Belum.
            Kita manusia, adalah tujuan akhir dari penciptaan Tuhan. Sejauh ini, al-Quran hanya memberitakan bahwa manusia diciptakan, untuk menjadi khalifah di muka bumi. Pemimpin bagi diri sendiri, dan juga kaumnya (orang lain). Karakteristik Islam terkait dengan ketauhidan. Meyakini, tak ada yang lain selain Allah. Dan kita hanya manifestasi dari pancaran Cahayanya. Ketika segala penciptaan dikhidmatkan pada manusia, bukan berarti Tuhan berhenti mencipta. Ia terus mencipta dalam Kreasinya. Karena jika Tuhan abai terhadap ciptaan-Nya, berarti segala perikehidupan di bumi, sekejap berhenti. Dan melalui Islam-lah, manusia dibimbing Tuhan untuk membabar rahasia spiritual yang tersebar di jagat ini. 
Sebagai sebuah agama, Islam telah selesai melewati proses. Sebagaimana yang terjadi secara gradual di kota Makkah dan Madinah. Tapi bagaimana Islam terus berjalan dan dikembangkan, itu yang menjadi tugas kita sebagai pemeluknya. Kemungkinan untuk lahirnya nabi baru, tetap terbuka lebar. Dengan catatan, harus lebih dulu bersih pikiran dan jiwa. Hanya bedanya, wahyu yang terus diturunkan setiap tanggal tujuhbelas ramadhan itu, bukan untuk membentuk agama baru. Karena Islam sebagai agama wahyu sudah final. Tapi untuk menuntun manusia yang memeluk Islam itu sendiri, dari sumirnya dunia fana’ ini. Menahan hancur leburnya dunia dari Kiamat. Karena Tuhan mengabarkan, bahwa dunia tak akan dihancurkan, selagi masih ada Muslim yang menyebut nama-Nya dalam ucapan, dan mengingat-Nya di dalam hati.
Orang-orang seperti itulah yang kerap luput dari amatan kita. Karena mereka hilang ditelan keriuhan zaman. Sepi sendiri dalam mahsyuq-nya CINTA tiada tara. Dalam malam-malam gelap dunia. Tapi berlimpahan Cahaya Cinta. Yang tak terbahasakan dan tanpa pretensi. Merekalah nabi baru yang kita nanti kehadirannya. Yang mampu mencerap segala limpahan spiritual yang kini tersembunyi di ruang yang lain dalam hidup ini. Karena Islam adalah ruang. Maka waktu adalah derivasinya. Oleh sebab itu, kita berpeluang menemukan rahasia-rahasia ruang tersebut. Dalam hidup yang serba tergesa-gesa dan akur waktu ini, kita mesti mampu untuk meruang. Berkontemplasi diri. Menampung limpahan Cahaya Agung Ilahi. Sehingga mungkin saja, kitalah kiranya calon nabi itu sendiri. Nabi yang tak lagi berkorespondensi dengan Jibril. Karena telah mampu mengaktifkan Akal Kenabian dan Intuisinya. Maulid Nabi Muhammad Saw kali ini, saya kira bisa menjadi momentum yang tepat. Wallahu a’lam.

0 komentar:

Posting Komentar

Kami mengucapkan terima kasih atas setiap komentar yang Anda berikan.

 

Pengikut

© 2009 Free Blogger Template powered by Blogger.com | Designed by Amatullah |Template Design