. Memahami Adat Nusantara Secara Paling Benar dengan Metode Perenial

INDEKS

Jumat, 30 Juli 2010

Memahami Adat Nusantara Secara Paling Benar dengan Metode Perenial

Oleh Ferry Hidayat

Indonesia memiliki sekitar 472 kelompok etnis (termasuk kelompok-kelompok sub-etnis di dalamnya).[1] Setiap kelompok etnis (bersama dengan kelompok sub-etnisnya) memiliki kultur dan peradaban masing-masing. Meskipun berlainan, kultur-kultur dan peradaban-peradaban itu disebut dengan satu sebutan oleh orang Indonesia masa kini, yaitu ‘adat’.[2] Adat menghimpun secara longgar semua kultur dan peradaban yang berlainan dari semua suku pribumi di Indonesia di bawah satu payung.[3]

Ada banyak pihak yang membenci adat.[4] Akar kebencian mereka terhadap adat, menurut hemat penulis, adalah karena mereka menggunakan metode yang salah tuk memahami adat.[5] Bila yang mereka gunakan adalah metode yang terbenar, maka dapat dipastikan bahwa mereka akan memahami adat secara terbenar pula dan perlahan-lahan kebencian mereka atas adat berganti jadi kesukaan. Tulisan ini akan membahas apa metode terbenar tuk mengenali adat itu dan mengapa metode tersebut diimani sebagai terbenar. Selain itu, tulisan ini juga berupaya membenarkan, tentunya lewat metode itu tadi, beberapa kesalahpahaman terhadap adat yang dihasilkan lewat metode-metode lain, serta menjelaskan kontribusi metode yang terbenar itu dalam rangka memahami adat secara paling benar dan paling komprehensif.  
Metode yang terbenar tuk menghayati adat tak diragukan lagi adalah metode perenial. Metode perenial diambil seluruhnya dari apa yang dikenal sebagai Filsafat Perenial, atau yang disebut dengan berbagai nama, seperti Sophia Perennis, Primordial Tradition, Philosophia Perennis, Religio Perennis, Scientia Sacra, dan lain-lain.
Filsafat Perenial (Ingg. ‘Perennial Philosophy’) bukanlah sejenis filsafat sebagaimana yang kerap dipahami oleh para penulis buku sejarah Filsafat Barat Modern; ia adalah, sebagaimana didefinisikan oleh Aldous Huxley dalam bukunya The Perennial Philosophy (2004):

… the metaphysic that recognizes a divine Reality substantial to the world of things and lives and minds; the psychology that finds in the soul something similar to, or even identical with, divine Reality; the ethic that places man's final end in the knowledge of the immanent and transcendent Ground of all being; the thing is immemorial and universal. Rudiments of the perennial philosophy may be found among the traditional lore of primitive peoples in every region of the world, and in its fully developed forms it has a place in every one of the higher religions.[6]

(… metafisika yang mengakui keberadaan suatu Realitas Ilahi yang merupakan hakikat dunia benda-benda, dunia makhluk hidup dan dunia jiwa-jiwa; psikologi yang menemukan di dalam jiwa manusia sesuatu yang menyerupai atau malah identik dengan Realitas Ilahi tersebut; etika yang memposisikan pengetahuan tentang Dasar yang transenden dan imanen dari segala wujud sebagai tujuan akhir manusia; [Filsafat Perenial] ini abadi dan universal. Unsur-unsur Filsafat Perenial ini dapat ditemukan dalam cerita tradisional masyarakat primitif di setiap bagian dunia, sedangkan bentuk-bentuknya yang telah matang dapat ditemukan dalam setiap agama yang levelnya lebih tinggi [dari agama-agama masyarakat primitif tadi-FH].)

Secara sederhana, Filsafat Perenial adalah sejenis spiritualisme atau mistisisme yang disarikan dari tradisi semua agama; dari agama apa pun yang ada di dunia ini. Sejenis esoterisme yang menghimpun dan memadukan segala esoterisme dari seluruh agama. Satu mistisisme dari semua mistisisme. A mysticism of all mysticisms.
Sebelum Filsafat Perenial muncul di awal abad 20,[7] setiap tradisi dan agama seolah-olah saling berdiri sendiri-sendiri, tak memiliki satu kaitan pun antara satu tradisi dengan tradisi lainnya. Seolah-olah pula setiap agama saling berkontradiksi. Tapi keadaan berubah total sejak Filsafat Perenial ada. Filsafat Perenial berhasil menaungi semua agama dan tradisi primordial di seluruh dunia di bawah satu atap. Itu karena “Sesungguhnya Kami telah memberikan Wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan Wahyu kepada Nuh dan Nabi-Nabi setelahnya, dan Kami telah memberikan Wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma'il, Ishak, Ya'qub dan anak cucunya, ‘Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman, dan Kami berikan Zabur kepada Daud.”[8] Semua agama di dunia dikabarkan oleh beratus-ratus Nabi yang diutus oleh dan diwahyukan dari satu Tuhan. “Di antara Nabi-Nabi tersebut ada yang Kami beritahu kepadamu, dan di antara Nabi-Nabi tersebut ada yang belum Kami beritahu kepadamu.”[9]
Filsafat Perenial mengandung teori dan praktek, yang keduanya pada akhirnya menghasilkan suatu metode yang khas yang dapat diterapkan untuk menghayati secara benar semua tradisi primordial, termasuk adat kita. Para perennialist memproduksi banyak buku teoritis yang membahas hampir semua aspek budaya dalam banyak tradisi primordial yang pernah ada hingga sekarang, dan buku-buku mereka dipelajari sekaligus diwarisi kepada banyak orang di dunia, termasuk kita-kita di Indonesia.

Mengapa ‘Terbenar’?
Metode perenial, yang diambil sepenuhnya dari Filsafat Perenial, adalah metode terbenar tuk memahami adat karena enam alasan: Pertama, Filsafat Perenial membenarkan secara amat tulus dan ikhlas segala kebenaran yang dikandung adat kita, dengan tanpa pretensi, tendensi dan kepentingan apa pun yang berpotensi merugikan adat, sehingga metode yang dihasilkannya otomatis merupakan metode yang paling benar untuk menjelaskan adat kita. Tanda keikhlasannya ialah ia meniatkan segala yang dilakukannya untuk memahami semua tradisi primordial semata-mata sebagai ibadah atau yoga, tepatnya Jnana Yoga seperti yang dijelaskan dalam tradisi Hindu.[10]   
Kedua, sebelum metode perenial ditemukan, tak ada satu metode pun yang mampu memahami adat kita secara benar; tak ada satu metode pun yang berhasil menemukan kebenaran dalam adat. Justru, semua metode itu menemukan kepalsuan, kesalahan, kekafiran, dan kekeliruan dalam adat: semua metode itu tidak memberikan apa-apa buat adat kita kecuali kritikan, penistaan, penghinaan, peremehan dan caci-makian, yang amat menyakitkan hati.[11]
Ketiga, dengan Filsafat Perenial beserta metode yang diproduksinya, adat kita justru ditransendensikan dari aspek-aspek rasialnya yang masih tersisa, sehingga adat memasuki level universal dan karenanya, kebenaran adat pun jadi universal.  Aspek-aspek rasial adat adalah segala lokalitas yang dimiliki adat: lokalitas istilah, lokalitas bahasa, lokalitas penamaan, lokalitas simbolisme, lokalitas bentuk-bentuk material, dan lokalitas lainnya. Semua lokalitas tersebut, yang mencerminkan rasialitas kebenaran adat, dilampaui oleh metode perenial dengan doktrin transcendent unity of religions yang dianutnya, sehingga yang nampak tersisa hanyalah universalitas-universalitas dalam semua adat.[12]
Keempat, dengan menggunakan metode perenial yang dihasilkan dari Filsafat Perenial, adat kita jadi ikut berperan serta dalam “universalisasi bahasa ruh”. Selama ini ruh dibahasakan dalam bahasa spiritual yang berbeda-beda dari tradisi dan agama yang berlainan, sehingga terkesan bahwa antar bahasa spiritual itu berdiri sendiri-sendiri dan hidup sendiri-sendiri, padahal sesuatu yang dibahasakan oleh aneka bahasa itu—yakni, ruh—mengatasi bahasa-bahasa. Dengan hadirnya metode perenial, bahasa-bahasa spiritual yang berbeda-beda diuniversalkan.
Kelima, adat pernah melakukan banyak ‘dosa’ dalam perjalanan sejarahnya dan hanya metode perenial yang dapat menghapusnya. Raja-raja Nusantara, termasuk pula para pemimpin suku dan pemimpin masyarakat adat—sebagai pelestari sekaligus praktisi adat—dan institusi monarki mereka pernah dikooptasi oleh kekuatan kolonial, sehingga adat dirusak, diboncengi serta diubah jadi entitas yang mendukung gerak roda kolonial. Akibatnya, adat tidak ubahnya dan tidak ada bedanya dengan lembaga dan pranata kolonial lainnya. Adat yang merupakan kesatuan yang tak bisa dipisah-pisah (an indivisible whole) di suatu ketika integralitasnya dimasuki racun kolonial, sehingga adat jadi lumpuh dan kehilangan integralitasnya. Adat pada akhirnya mewujud sebagai institusi yang mengurusi hal-hal parsial saja. Adat jadi sekrup dalam mesin besar budaya kolonial. Kalau saja kolonialisme yang datang ke Indonesia sungguh religius—dalam arti, mewarisi ruh spiritual peradaban Kristiani Abad Tengah—maka pelarutannya terhadap adat tidak akan merusak karakter utama adat. Sebab, setiap agama yang benar, walaupun dipisah oleh waktu dan ruang yang amat jauh, apabila saling bertemu akan bertemu pada titik kebenaran spiritual yang sama. Sebaliknya, apabila kolonialisme yang datang adalah yang sekuler, anti-tradisi, dan fanatik buta akan modernitas, maka adat akan dirusaknya jadi berkarakter modern pula. Dan rupanya, yang terakhir inilah yang sungguh-sungguh terjadi, dan ‘dosa’ pun mengenai adat. Metode perenial, dalam kasus ini, mampu menghapus ‘dosa’ modernistik yang ditularkan kolonialisme itu.
Terakhir, hanya dengan metode perenial, adat kita dapat bergabung dengan semua tradisi spiritual di seluruh bagian dunia dan bernaung damai di bawah payung spiritual Filsafat Perenial.
            Suatu metode disebut ‘benar’ manakala ia membimbing orang sampai kepada kebenaran. Tapi kebenaran yang mana? Bila setiap metode mengklaim dapat memandu kepada kebenaran, apakah berarti pula setiap metode bisa dipakai? Tidak, tentu saja tidak. Hanya ada satu kebenaran, yaitu Tuhan. “Tak ada dualitas untuk kebenaran”, demikian Mpu Tantular. “Demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah Sang Kebenaran.”[13] Dan karena hanya metode perenial yang berkomitmen kuat membela Sang Kebenaran itu, maka metode itulah satu-satunya metode yang benar.
            Satu-satunya kriteria kebenaran suatu metode adalah besarnya cinta akan Tuhan atau, dengan kata lain, besarnya cinta akan Tuhanlah satu-satunya kriteria kebenaran suatu metode. Bila suatu metode sepenuhnya memuji dan membela Tuhan, mencoba menemukan imanensi Tuhan dalam segala sesuatu yang ditelitinya dan menyingkap aspek-aspek ketuhanan yang sebelumnya tersembunyi, maka sudah pasti metode itu adalah metode yang paling benar; metode yang paling berhak mendapat restu Tuhan. Sebaliknya, satu-satunya kriteria kesalahan suatu metode adalah besar kebenciannya akan Tuhan dan betapa niscayanya metode itu berupaya mengingkari jejak-jejak keberadaan Tuhan yang dapat dijejaki dalam alam semesta ini. Metode perenial sangat teguh dalam mencintai Tuhan, sementara orang adat adalah orang-orang yang sangat menyayangi Tuhan. Keduanya bertemu dalam pemenuhan kriteria kebenaran tersebut dan berupaya menyentuh Sang Kebenaran, yakni Tuhan.
            Semua metode yang bertujuan kepada Tuhan dengan tulus dan ikhlas adalah pasti benar. Sebaliknya, semua metode yang bertujuan bukan kepada Tuhan tapi, misalnya, kepada pembenaran-diri, klaim-diri, egoisme, kepentingan pribadi, ketenaran, dst., adalah pasti salah dan tidak kembali ke Tuhan dan tidak diterima Tuhan, sebab “bukan darah korbanmu yang diterima, tapi ketakwaanmu yang diterima”.[14] Kita tidak bisa memakai metode yang tidak direstui Tuhan untuk memahami ‘peradaban tuhani’ sebagaimana yang dihayati oleh adat kita.
            Seberapa berhasil metode perenial menuntun kepada kebenaran, ditentukan dari seberapa besar tumbuhnya cinta akan Tuhan sebagai Sang Kebenaran. Jika seseorang yang menggunakan metode tersebut jadi kian cinta pada Tuhan, maka metode tersebut kian benar.

Bagaimana Metode Perenial Membenarkan Adat?  
Dalam bagian ini, penulis akan menjelaskan bagaimana metode lain menyalahpahami adat dan bagaimana metode perenial membenarkannya, sehingga terlihat jelas pembenaran metode perenial terhadap adat. Sebagaimana yang telah dijelaskan di muka, adat adalah satu kesatuan integral, sehingga membelah-belahnya jadi beberapa kepingan adalah tindakan salah. Namun, demi kedalaman pembahasan, adat ‘terpaksa’ harus dipotong-potong menjadi beberapa potongan. Setiap potongannya adalah satu aspek kecil dari struktur integral adat yang akbar. Dimulai dari aspek religius, aspek seni dan sastra, dan terakhir aspek kognitif. Di samping menyediakan koreksi-koreksi atas kesalahpahaman terhadap adat, metode perenial pun mampu mengungkap beberapa aspek adat yang selama ini dan sejauh ini belum bisa diungkap oleh metode-metode lain. Misalnya, aspek esoterik-eksoterik adat, aspek perenial adat, serta aspek religio perennis adat. Kesemua aspek itu hanya dapat disingkap dan dipahami secara terbenar oleh metode perenial saja.
A. Aspek Religius
1. Adat sebagai Kekafiran
Paling banyak kesalahpahaman terhadap adat terjadi dalam ranah religius. Misalnya, adat dianggap sebagai sebentuk kekafiran oleh ‘kaum agamawan’, yang hanya dapat ditebus dosanya dengan cara memeluk agama yang dianut kaum tersebut. Jika tidak, maka label kekafiran akan terus dilekatkan kepada adat dan mereka terus dianggap berdosa serta wajib meminta ampunan Tuhan. Misalnya adalah apa yang ditulis oleh N. Graafland, seorang misionaris Kristen dan inspektur pendidikan Hindia Belanda di wilayah Minahasa awal abad 19. Dalam bukunya De Minahasa: Haar verleden en haar tegenwoordige toestand (1869), beliau menggambarkan bagaimana desa-desa di Minahasa berada dalam kondisi kekafiran karena tidak memeluk Kristen dan tetap menganut adat:
… Tonsea, Kakas, Sonder, dan Rumoong paling terkenal dengan ungkapan-ungkapan kotor dan rendah, sedang kewedanaan lain tidak sampai sejauh itu. Namun, kanker itu sedikit banyaknya telah menerobos ke mana-mana, dan agama orang Alifuru cepat atau lambat akan menemui keruntuhannya. Bibit kerusakan telah ditabur, mulai tumbuh subur, dan di suatu tempat telah menghasilkan buah yang merusak. Bila Kristen tidak tiba pada waktunya, maka rakyat, sebagaimana telah terjadi di sana-sini, jatuh ke dalam kekafiran.[15]
Bukan hanya penduduk desa Tonsea, Kakas, Sonder dan desa Rumoong saja yang kafir, tapi juga penduduk desa Pango—desa kecil di wilayah Kewedanaan Ratahan—yang masih memeluk agama adat. Kata Graafland:
Negeri pertama yang kami singgahi dalam perjalanan ke Langoan adalah Pango, sebuah daerah kecil yang merupakan negeri terakhir Kewedanaan Ratahan… Anda tidak akan menyangka bahwa Anda berada di suatu kewedanaan yang masih menyembah berhala, suatu negeri yang seluruhnya masih kafir, sebuah tempat yang sama sekali belum tersentuh peradaban.[16]        
Misionaris Kristen-Belanda yang datang ke Indonesia rata-rata memandang penganut adat dari banyak suku asli di Indonesia sebagai kafir. Bukan hanya penduduk Minahasa yang disebut kafir, tapi juga penduduk Pulau Sawu dan Pulau Rote di busur luar Kepulauan Nusa Tenggara Timur. Kata James J. Fox dalam bukunya Harvest of the Palm: Ecological Change in Eastern Indonesia (1977):
Menjelang abad kesembilan belas, agama Kristen dan pelajaran bahasa Melayu sudah menjadi bagian dari tradisi di kalangan bangsawan Rote, sedangkan bagi orang Sawu masih asing. Dengan demikian, orang Rote dapat menggunakan bentuk kebudayaan yang baru itu untuk menyatakan kekuasaannya, dan membesar-besarkan perbedaan antara mereka sendiri, dan mencegah pengaruh dari luar yang akan mencampuri masalah setempat; sedangkan pada abad kesembilan belas itu, orang Sawu tampaknya, terutama oleh para penyebar agama, masih dianggap sebagai orang kafir yang belum bertobat dan berbahaya.[17] 

Dalam otobigrafinya, penyair dan sastrawan Batak terkenal Sitor Situmorang, menceritakan bahwa orang Batak di kampung halamannya yang masih menganut adat, dianggap kafir oleh para pendeta Kristen-Belanda.[18] Itu juga ditegaskan oleh Charles R. Watson dalam artikelnya dalam jurnal internasional The Moslem World Vol.III, April 1913, No.2. Ia memanggil orang Batak sebagai ‘heathen’, ‘pagan’, dan ‘unbelieving heathen’.[19]
Sungguh berhasil ‘pengafiran’ para pendeta tersebut, sehingga sudah banyak orang adat yang mengkafir-kafirkan adatnya sendiri. Misalnya, Ignatius Egi Dadu, seorang suku Rembong di Flores Barat yang telah menganut Kristen. Ia menceritakan bagaimana adatnya dulu dalam sebuah buku yang disunting Roger Tol. Kata Ignatius tentang adatnya di Rembong:
Banyak hal dari ceritera yang akan diuraikan, tidak dipakai lagi oleh generasi penerus sekarang ini. Hal itu terjadi, karena menyusupnya ilmu pengetahuan serta agama [Nasrani] ke dalam masyarakat. Masa kini orang telah melupakan cara-cara adat seperti mempersembahkan ayam; pada umumnya segala yang berbau kafir telah ditinggalkan.[20]
Apakah orang adat benar-benar ‘kafir’, sebagaimana dianggap oleh kaum agamawan? Apakah mereka benar-benar hidup dalam keadaan sepenuhnya berdosa dikarenakan tidak menganut Kristen—tidak memasuki agama yang justru ‘baru’ dan ‘asing’ menurut kacamata adat itu?

2. Agama sebagai Sinkretis
            Selain sebagai kekafiran, adat juga dianggap kaum agamawan sebagai 'sinkretis' dan karena sinkretis, berarti ia salah. Mengapa sinkretisme salah? Menurut mereka, sinkretisme salah karena agama adalah satu kesatupaduan integral yang terdiri dari semua aspek hidup. Meminjam istilah Islam, agama adalah Din sekaligus Dawlah; Doktrin sekaligus Peradaban. Agama adalah 'jalan hidup'. Semua hal dari yang paling remeh hingga yang paling agung dikelola oleh agama. Tak mungkin mencampuradukkan dua atau lebih kesatupaduan integral secara sekaligus. Integralitas niscaya mestilah satu. Jika lebih, integralitas bukan lagi integralitas melainkan fragmentasi. Kita tidak dapat mengambil doktrin suatu agama tanpa peradabannya sebagaimana kita tidak dapat mengambil peradaban suatu agama tanpa doktrinnya. Sinkretisme menjadikan agama-agama yang dicampurnya jadi tidak utuh, tidak integral lagi. Agama yang telah di-sinkretis-kan tentu saja tidak lagi suatu 'agama lengkap', tapi 'agama compang-camping'. Jika 'agama compang-camping' disatupadukan lagi dengan 'agama compang-camping' lain, maka jelaslah yang akan terjadi: 'agama minus'. Karena itulah sinkretisme salah.
Tapi, apakah benar bahwa adat adalah sinkretis? Menurut saya tidak demikian faktanya. Adat hanya meminjam istilah-istilah, simbol-simbol, imaji-imaji, terminologi religius dari agama lain, lalu memakainya untuk dimaknai dengan maknanya sendiri—dengan makna yang sama sekali baru daripada makna kata-kata itu sebelumnya. Itu sama dengan kasus kata jilbab dan hijab di sini. Di Arab, kata hijab berarti 'penutup rambut dan kepala', sementara orang Indonesia memakai kata jilbab untuk arti tersebut. Padahal di Arab sendiri kata jilbab berarti 'pakaian panjang yang menutupi leher hingga mata kaki'. Apakah dengan demikian berarti orang Indonesia salah? Tidak. Mereka meminjam kata-kata tersebut dari Arab untuk diisi makna baru—makna yang bisa saja sangat berbeda daripada makna asalnya. Kata jilbab yang sedemikian maknanya itu sudah menjadi milik linguistik religius Indonesia, bukan lagi milik linguistik religius Arab. Sudah menjadi kosakata khas 'Islam Indonesia', bukan lagi 'Islam Arab'. Dan itu sah-sah saja. Argumen yang sama juga dapat diterapkan pada kasus kata-kata seperti Sorga, Neraka, Dosa, Pahala, Siksa, Kebaktian, Darma, Upacara, Acara, Agama dan lain-lain. Semua kata tersebut berasal dari tradisi linguistik religius Hindu-Buddha di India, tapi begitu dipinjam, lalu digunakan, lalu diisi-makna-kan dengan makna yang berbeda oleh kaum Islam, Katolik, dan Kristen, maka kata-kata tersebut bukan lagi milik Hindu-Buddha yang India, tapi milik Islam, Katolik, dan Kristen, atau tepatnya milik khazanah linguistik religius Indonesia.
Apakah peminjaman istilah religius dari agama lain memporakporandakan integralitas adat? Ternyata tidak. Adat tetap integral, karena pemimpin adat cerdas dalam mengintegralisasikan kata-kata religius pinjaman itu ke dalam poros adat. Kata-kata religius yang semula pinjaman sudah didekap adat erat-erat—sudah jadi bagian integral adat itu sendiri dan sudah menyatu.

3. Adat sebagai Agama Rendahan
            Kaum agamawan juga kerap memandang aspek agama dalam adat sebagai ‘agama bumi’ (earthly religion) yang kedudukannya lebih hina daripada ‘agama langit’ (heavenly religion); ‘agama buatan manusia’ (man-made religion) yang tak sempurna dibanding ‘agama buatan ilahi’ (God-made religion); ‘agama budaya’ (invented religion) yang tak sakral dibanding ‘agama yang diwahyukan’ (revealed religion); ‘agama rendahan’ (lower religion) yang kebenarannya jauh rendah daripada ‘agama lebih tinggi’ (higher religion). Kita harus mengatakan keberatan atas ketepatan sebutan-sebutan tadi, sebab ukuran hina-tidak hina, sempurna-tidak sempurna, rendah-tidak rendah suatu agama tentu saja tak seperti ukuran-ukuran yang kita pakai untuk mengukur jelek-tidak jeleknya suatu lukisan kanvas, sempurna-tidak sempurnanya obyek fisik atau tinggi-rendahnya bangunan gedung. Kita pun harus bertanya dalam-dalam: ‘siapa yang paling layak menilai agama? Siapa yang paling otoritatif menilai iman?’ Karena agama milik Tuhan dan berasal dari Tuhan, maka tak ada yang lain kecuali Tuhan yang paling berhak menilai milikNya. Ketiadaan teologi yang canggih dalam suatu agama tidak berarti bahwa agama itu hina dibanding agama lain. Ketiadaan peninggalan kitab-kitab yang dikodifikasi pun bukan tanda bahwa suatu agama lebih rendah tingkatnya dari agama lain. Ketiadaan peninggalan arsitektural yang kolosal melainkan hanya patung megalitik yang lapuk dan tak terurus bukan pula indikasi bahwa agama itu rendahan. Tak ada tinggi atau rendah untuk agama, karena agama bukan obyek fisik yang bisa diinderakan.  Tinggi-rendahnya agama suatu kaum diukur dari tinggi-rendah ketakwaannya kepada Tuhan, bukan dari banyak-sedikitnya bentuk-bentuk visual yang diwariskannya.
Kini saatnya kita beralih pada metode perenial untuk menjawabnya dan membenarkannya. Filsafat Perenial memandang positif semua agama yang pernah ada di dunia, termasuk agama adat. Tuhan memberikan ‘satu agama’ kepada semua bangsa yang berbicara dalam semua medium bahasa. ‘Satu agama’ yang diungkapkan dalam berbagai bahasa, baik yang terujar maupun yang tertulis, baik yang masih memiliki oral tradition maupun yang sudah memiliki writing system. ‘Satu agama’ yang disampaikan melalui beratus-ratus nabi atau rasul; utusan atau orang suci. ‘Satu agama’ yang diwariskan melalui mata-rantai tak terputus-putus dari tradisi oral generasi leluhur ke generasi baru atau melalui ajaran-ajaran tertulis yang dikumpulkan jadi kitab-kitab suci. Kata Frithjof Schuon:
Jelasnya, hanya ada satu filsafat, Sophia perennis. Ia juga—dengan mempertimbangkan integralitasnya—merupakan satu-satunya agama. Sophia memiliki dua sumber yang mungkin, yang satu abadi dan yang satu temporal. Yang pertama, “vertikal”, dan tidak berkesinambungan, sementara yang kedua “horisontal” dan berkesinambungan. Dengan kata lain, yang pertama seperti hujan yang pada saat tertentu bisa turun dari langit; yang kedua seperti arus air yang mengalir dari satu mata air. Kedua mode ini bertemu dan bersatu dalam Wahyu metafisik yang mengaktualkan wilayah intelektual, dan begitu intelek ini bangkit, ia memunculkan satu pemikiran yang spontan dan independen.[21]
Jika bukan ‘satu agama’, mengapa Tuhan harus mau berpayah-payah mengutus ratusan utusan-Nya sebanyak ratusan kali ke bumi, yang bermisi korektif dan bermisi evaluatif? Jika bukan ‘satu agama’, mengapa nabi-nabi atau utusan-utusan itu saling bertemu, saling menguatkan, saling mendukung, saling mengafirmasi, walaupun mereka berbeda tempat dan berbeda jarak tinggal? Jika bukan ‘satu agama’, mengapa banyak mitologi dan tradisi oral yang menegaskan bahwa nabi-nabi yang berbeda ruang, jarak dan waktu itu saling bertemu dan saling mendukung? Jika bukan ‘satu agama’, mengapa semua mitos tentang ‘manusia pertama’ selalu mengenai seorang yang pernah diajari Tuhan tentang suatu agama, lalu ia ditugasi Tuhan untuk mewariskan agama itu kepada anak-anak cucunya di ribuan abad ke depan?
Jika benar demikian, maka sungguh tak dapat dibenarkan apabila seorang beragama Islam mengkafirkan seorang beragama Indian-Merah; seorang beragama adat mengkafirkan seorang beragama Buddha; seorang beragama Kristen mengkafirkan seorang beragama Batak. Mengapa? Mereka sama-sama beragama dengan ‘satu agama’, walaupun diungkap melalui bahasa-bahasa berlainan. Kita harus menempatkan istilah ‘kafir’ pada tempatnya yang benar. Seorang yang menjalankan agama Sunda tidaklah  ‘kafir’ karena ia tidak menganut agama Islam. Demikian halnya seorang penganut agama Hindu tidaklah ‘kafir’ karena ia tidak menganut agama Jawa. Seorang penganut agama barulah ‘kafir’ apabila ia menyelewengkan agamanya demi kepentingan dan keuntungan dirinya sendiri, tidak mematuhi ajaran dari Tuhan, tidak menjalankan ajaran Tuhan, mendustakan kebenaran yang datangnya dari Tuhan, serta tidak menerima ‘Jalan Tuhan’ yang telah Tuhan berikan padanya. Sebaliknya, bila seorang beragama mematuhi ‘Perintah Tuhan’, menjalani ‘Jalan Tuhan’ dengan setulus-tulusnya, mempraktekkan ‘Ajaran Tuhan’—tanpa memandang apa sebutan sosiologis-historis bagi agamanya—maka dia tidaklah ‘kafir’ melainkan penganut agama yang baik. Setiap penganut agama baik, pada gilirannya, diberi pahala Tuhan. Kata Al-Quran, “sesungguhnya Tuhan tidak pernah menyia-nyiakan amal-bakti Hamba-HambaNya” dan “orang yang beramal-bakti seberat biji sawi akan melihat (pahalanya), sedangkan orang yang berbuat salah seberat biji sawi akan melihat (siksanya).”
Alasan mengapa satu agama tak bisa mengkafirkan agama yang lain sudah jelas: ‘manusia pertama’ telah diajarkan Tuhan tentang suatu agama—‘agama pertama’—dan agama itu wajib disebarluaskan dan diwariskan kepada anak-anak dan cucu-cucunya. Karena anak dan cucunya kian banyak, maka, di samping karena buruknya kondisi penghidupan di suatu daerah lalu pindah ke daerah yang kondisinya lebih menjanjikan atau karena disuruh Tuhan untuk menempati suatu ‘Tanah Yang Dijanjikan’, mereka berpencaran hingga memenuhi seluruh bagian dunia ini. Pada awalnya, mereka berbahasa satu—‘bahasa pertama’—tetapi begitu mereka menyebar ke negeri-negeri jauh dan kehilangan kontak dengan ‘bahasa pertama’ maka mereka harus mencipta bahasa sendiri. Sejak itulah bahasa-bahasa mulai berbeda dan nabi-nabi diutus untuk mengabarkan Kebenaran Ilahi di tengah-tengah manusia dengan ‘bahasa-bahasa kewahyuan’ (revelational languages) yang berbeda pula.
Secara historis, ‘agama pertama’ sudah tentu paling benar. Ia terdekat dari Sang Kebenaran, paling dekat pada kemurnian, kesederhanaan doktrinal, dan paling steril dari kultur dan kulturisasi yang anti-Tuhan.[22] ‘Agama selanjutnya’ sudah tentu harus merujuk pada ‘agama pertama’. Sebab jika tidak, ia berarti menjauhi warisan pertama Sang Kebenaran; ia menyeleweng. Tuhan menjamin ketidakterputusan pewarisan ‘agama pertama’ itu kepada manusia hingga era dewasa ini dengan mengutus para nabi atau para rasul atau para orang suci secara tiada putus-putusnya. Bahkan setelah ‘nabi terakhir’ wafat pun, masih ada ‘nabi-nabi minor’ atau ‘nabi-nabi kecil’ yang senantiasa menjaga ketersambungan yang tak boleh putus antara ‘agama pertama’ dengan wawasan dan kaki-langit budaya manusia di ‘Zaman Akhir’. Karena itu, mudah sekali dipahami mengapa Muhammad merujuk kepada Abraham atau Yesus merujuk Musa atau keduanya menceritakan ulang ajaran-ajaran nabi pra-Abraham dan pra-Musa. Nabi-nabi di era mutakhir harus merujuk nabi-nabi di era awal agar senantiasa dekat Sang Kebenaran.
Apakah kedatangan seorang ‘nabi baru’ niscaya membatalkan ajaran dan warisan keagamaan ‘nabi-nabi lama’ yang ada sebelumnya?[23] Tentu saja tidak. Kedatangan nabi baru tidak untuk membatalkan, apalagi menghapus agama lama hingga habis ke akar-akarnya. ‘Perjanjian Baru’ tidak untuk membatalkan keabsahan ‘Perjanjian Lama’. Turunnya Al-Quran juga tidak menghapus keabsahan Zabur, Injil, dan Taurat, tapi, kata Al-Quran, untuk “meneguhkan” atau “mendukung” (mushaddiq) kebenaran ajaran-ajaran Injili, sekaligus “menyortir” atau “memilah-milah” (muhaymin) mana aspek Injili yang diselewengkan oleh para penyelewengnya yang degil dan mana aspeknya yang masih murni. Setiap agama, dalam sejarahnya, pernah mengalami (bahkan akan terus mengalami hingga detik ini) penyelewengan-penyelewengan. Sebab jika tidak, ‘Setan-Setan’ akan terlalu lama menganggur. Justru pengutusan nabi-nabi bertujuan evaluatif dan korektif; mereka menghapus penyelewengan tersebut dan mengajarkan kembali kebenaran. Kian banyak nabi yang diutus berarti kian banyak penyelewengan yang telah ‘manusia degil’ perbuat. Kian banyak penyelewengan yang berhasil dihapus oleh para nabi berarti kian intensif kebenaran nampak kembali di tengah-tengah manusia. Seiring dengan itu pula kian jelas bahwa agama itu ‘satu agama’.
‘Agama pertama’ berfungsi distributif, sedangkan ‘agama berikutnya’ berfungsi korektif dan evaluatif. ‘Agama pertama’ bertugas menjamin agar Kebenaran Ilahi terwariskan ke seluruh dunia dalam satu silsilah yang tak boleh putus dan tak boleh berbeda, sementara ‘agama berikutnya’ bertugas mengawasi, memonitor, memberikan evaluasi dan koreksi atas segala penyelewengan manusia yang pernah terjadi, sehingga manusia senantiasa terhubung dengan silsilah kebenaran ‘agama pertama’ hingga ‘Hari Akhir’ tiba. Semakin akhir suatu agama, maka ia semakin berat menanggung terjaminnya ketersambungan antara ‘Zaman Akhir’ dan ‘agama pertama’.
Kita tidak ingin mengikuti pandangan ‘kaum evolusionis’ yang menerapkan skema evolusi Darwinian dalam bidang agama, yang dikenal dengan sebutan ‘kaum evolusi religius’. Edward Burnett Tylor (1832-1917), misalnya, mengatakan bahwa agama melewati tahap-tahap evolusi dari yang sangat bersahaja menuju yang sangat kompleks, dimulai dari Animisme menuju Manisme lalu menuju Fetisisme, kemudian menuju Politeisme, dan terakhir menuju Monoteisme.[24] Pemahaman evolusionistik ini tidak mungkin mampu memahami adat dengan tingkat apresiasi yang tinggi, sebab tentunya ia memandang adat sebagai ‘agama rendahan’ di taraf evolusi Animisme, Manisme, dan Fetisisme,—yang baru menuju kesempurnaan evolusioner saat Hindu-Buddhisme datang (Politeisme) dan Islam-Kristianitas datang (Monoteisme).
Walaupun diungkap nabi-nabi dengan bahasa-bahasa berlainan dan diberi Tuhan bentuk-bentuk ibadah yang berlainan, kita masih dapat mengenali kesamaan-kesamaan atau universalitas-universalitas yang ada pada setiap agama. Kesamaan-kesamaan itulah yang disebut dengan ‘unitas transenden agama-agama’ (the transcendent unity of religions). Universalitas itulah yang disebut Filsafat Perenial. Menurut Aldous Huxley, ada 4 kesamaan atau universalitas atau Filsafat Perenial yang terdapat dalam semua agama dan tradisi primordial di dunia, yaitu: (1) kesamaan ajaran bahwa dunia materi ini adalah manifestasi dari Tuhan yang di dalam-Nya dunia materi menjadi ada, serta tanpa-Nya segala jadi tiada; (2) kesamaan ajaran bahwa manusia tidak hanya mampu mengetahui Tuhan dengan inferensi logis tapi juga dengan intuisi langsung; (3) kesamaan ajaran bahwa manusia memiliki dua tabiat alamiah, yang satu adalah diri yang fenomenal dan yang kedua adalah Diri yang Abadi, yang dengan keduanya ia dapat mengidentikkan dirinya dengan Tuhan; dan (4) kesamaan ajaran bahwa tujuan ultimat hidup manusia adalah mengidentifikasi dirinya dengan Diri Tuhan.[25]                    
Semua kesamaan itu juga dimiliki adat. Bukan hanya di adat Jawa, tapi juga di adat Sunda; bukan hanya ada dalam adat Batak, tapi juga dalam adat Toraja; bukan hanya ada di adat Papua, tapi juga di adat Melayu. Kesamaan-kesamaan atau universalitas-universalitas atau Filsafat Perenial yang dikandung adat-adat itu sering disebut penulis dengan sebutan ‘Adat Perennis’—yakni, unsur-unsur Filsafat Perenial dalam semua adat Nusantara.  
           
B. Aspek Sastra dan Seni
Metode-metode selain metode perenial memandang seni adat sebagai berfungsi profan, sementara metode perenial memandang seni adat sebagai seni yang berfungsi sakral dan spiritual. Misalnya, Sigmund Freud yang memandang seni masyarakat primitif sekadar sebagai ‘ritual magis dan mantera-mantera orang primitif…’ yang ‘…secara psikologis berhubungan dengan perbuatan-perbuatan kesurupan… yang…neurotik’.[26] Sedangkan Carveth Read, seorang antropolog modern, memandang tarian-tarian masyarakat primitif sebagai sekadar tarian-tarian yang ‘…memberikan latihan fisik yang luar biasa, meningkatkan semangat kerja sama, dan merupakan sejenis senam’.[27] Emile Durkheim, seorang sosiolog Perancis memandang seni tari masyarakat primitif sekadar seni tari yang ‘…mengikat anggota-anggota klan menjadi satu…’ dan ‘…memperbaharui rasa solidaritas pada mereka…’, serta ‘…membangkitkan kegairahan, di mana semua kesadaran individualitas lenyap dan semua orang merasa dirinya sabagai satu kolektivitas…’.[28]    
Semua metode profan di atas hanya memandang aspek profan dari segala produk artistik suku asli Indonesia. Produk pahat dan ukiran Mbis suku Asmat, misalnya, tidak lagi dipahami menyeluruh sebagai ekspresi kesakralan masyarakat yang memuja kesakralan leluhur, tapi dipahami sekadar komoditas komersial yang dapat dijual dan dibeli dengan ukuran harga tinggi.[29] Tari Tunggal Penaluan suku Batak juga tidakkan dipahami lagi sebagai tarian pemanggil kekuatan gaib dan penjemput roh-roh pelindung untuk hadir di tempat pemujaan, tapi sekadar dipahami sebagai tari eksotik penyambut turis-turis asing dan penjemput devisa di bidang pariwisata.[30] Begitu pula seni-seni lain dari penduduk asli Indonesia, tidak akan dipahami secara sakral, tapi seluruhnya dipahami secara profan: dari nilai komersial dan keuntungan material.
Kriteria estetis metode profan hanyalah ini: sesuatu dipandang ‘indah’, apabila sesuatu itu dapat memuaskan citarasa sebatas mata atau telinga. Jika mata menangkap kesan-kesan optik yang menyenangkan penglihatannya, maka sesuatu itu ‘indah’. Jika telinga menangkap gelombang suara yang dapat menyenangkan pendengaran, maka sesuatu itu ‘indah’. Penilaian sesuatu sebagai ‘indah’ hanya berhenti pada penyenangan inderawi, tidak lebih dari itu.
Bagaimana metode perenial memandang seni adat?  Seni penduduk asli dipahami metode perenial sebagai seni yang ‘…in reality simply serves to restore to natural phenomena their divine messages, to which men have become insensitive.’ (oleh Schuon)[31] atau seni yang ‘…account[s] spiritually, as meaningful activities which by virtue of [its] inherent symbolism harbor[s] a doctrinal message, and above all as support for spiritual realization and means of grace.’ (oleh Titus).[32]
Seni adat justru dipandang metode perenial sebagai ‘seni sakral’, yang sangat berbeda secara diametral dengan seni yang diproduksi masyarakat modern, yang disebut ‘seni profan’. Kata Schuon:
Sacred art is made as a vehicle for spiritual presences, it is made at one and the same time for God, for angels and for man; profane art on the other hand exists only for man and by that very fact betrays him.[33]
Sejajar dengan yang diutarakan oleh metode perenial, Romo Mangunwijaya menegaskan bahwa ‘Pada Awal Mula, Segala Sastra Adalah Religius.[34] Seni asli Indonesia lahir dari kultur dan peradaban asli Indonesia yang tidak mengenal ‘sekularisme’. Ia lahir dari kultur dan peradaban kosmik, di mana sekularisme Kosmos belum juga dikenal. Realitas masih bulat, satu, menyeluruh.  Realitas masih tremendum, sacrum, fascinasum, sanctum. Di mana Sains, Filsafat, Spiritualitas, Seni, Kultur, Peradaban, Teknik masih berpadu dalam naungan Kesakralan. Karenanya, ‘Seni Profan’ tidak akan memahaminya secara menyeluruh, kecuali segi-segi profannya saja. Itu disebabkan, karena ‘Seni Profan’ telah ‘mensekularisasi’ realitas, sehingga gambaran yang ia proyeksikan hanya gambaran parsial dari keseluruhan realitas, yaitu gambaran profannya saja. Bila dibandingkan dengan ‘Seni Sakral’, maka ‘Seni Profan’ telah dimiskinkan (oleh motif utamanya yang lebih memilih parsialitas profan daripada universalitas sakral).
Bagaimana mungkin metode-metode lain mengapresiasi seni adat yang sakral-spiritual, seperti seni suara dalam nyanyian mitologis suku Tolaki, seni sastra dalam Serat Centhini dan Serat Cabolek, Kakawin Sutasoma, atau Sya’ir Unggas dan Sya’ir Perahu, seni tari dalam Tortor Tunggal Penaluan suku Batak, Reog orang Ponorogo, Kecak dan Barong suku Bali, Kuda Lumping suku Jawa, Saman orang Aceh, seni pertunjukan dalam Wayang suku Jawa dan Debus orang Banten, seni pahat dan ukiran Mbis suku Asmat, Toleruno di daerah Sentani, Korwar di daerah Biak, seni pahat dan ukiran suku Kalimantan, seni arsitektur rumah Toraja dan seni perahu suku Lampung? Seni yang menggelikan? Seni yang tidak indah? Seni kekanak-kanakan? Seninya orang yang terjangkit neurosis? Seni yang sekadar menopang struktur sosial yang ada?
Seni adat yang merupakan seni sakral, menganggap sesuatu sebagai ‘indah’ bukan karena sesuatu itu sendiri ada, tapi karena sesuatu itu ada untuk melayani tujuan yang tertinggi, yaitu kebaktian kepada Yang Ilahi. Kata Dick Hartoko:
Para kawi zaman dahulu memakai kata kalangwan atau langö. Menurut professor Zoetmulder, tak ada satu bahasa yang demikian kaya akan istilah-istilah untuk mengungkapkan pengalaman estetik dianggap sebagai sesuatu yang berasal dari surga, yang pantas disambut dengan sikap religius dan kebaktian, “a real cult of beauty”, bahkan membuat seni, menggubah sebuah syair dianggap sebagai suatu tindak kebaktian.[35]               
Karena itu, walaupun secara inderawiah bentuk pahatan dan ukiran patung Mbis ‘jelek’, karena tidak halus, tidak teratur, tidak dibuat dengan alat-alat yang modern, terkesan ‘jorok’, tidak terpelajar, tidak akademis, tapi karena dapat mengantarkan manusia Asmat untuk mengatasi ‘yang inderawi’ dan mencapai ‘yang meta-inderawi’, maka patung tersebut dinilai ‘indah’.
Jika ‘Seni Profan’ mengambil Alam sebagai obyek seninya, maka yang kemudian lahir semata-mata Naturalisme. Sebaliknya, jika ‘Seni Sakral’ mengambil Alam sebagai obyek seninya, maka yang kemudian lahir bukanlah Naturalisme, tapi ‘Arketipisme Alam’. Alam dipahami ‘Seni Sakral’ sebagai Arketip (Archetype) atau Simbol atau Gambar atau Manifestasi Ilahi. Alam sebagai Manifestasi Ilahi diungkap sangat baik dalam hadits kaum Islam: Inna’l-lâhha Jamîlun, yuhibbu’l-jamâl’ (Sesungguhnya Ilahi itu Indah; Ia menyukai Keindahan). Segala hal alamiah yang indah merupakan manifestasi Keindahan Ilahi. Gambar bulan dan matahari dalam pahatan Mbis, misalnya, bukanlah mengekspresikan fenomena bulan dan matahari yang sempat ditangkap oleh mata telanjang manusia Asmat, tapi merepresentasikan Yang Ilahi.[36] Jika ‘Seni Profan’ mengambil Manusia sebagai obyek seninya, maka yang kemudian lahir semata-mata Naturalisme (yang dalam bentuknya yang paling vulgar menjadi Pornografi atau ‘Kultus Keindahan Sempurna Fisikal’). Sebaliknya, jika ‘Seni Sakral’ mengambil Manusia sebagai obyek seninya, maka yang kemudian lahir bukanlah Naturalisme, tapi lagi-lagi ‘Arketipisme Manusia’. Manusia adalah Arketip atau Manifestasi Ilahi. Gambar wajah-wajah leluhur yang dipahat pada pahatan suku Asmat, misalnya, bukanlah semata-mata dibuat untuk menirukan wajah fisikalnya, tapi untuk membangun hubungan antara ‘yang sementara’ dan ‘yang abadi’.[37]
Manusia adat menciptakan peradaban dan kultur sakral, yang dimaksudkan bukan hanya memuja-memuji Tuhan, tapi juga melahirkan suatu ‘estetika sakral’—ungkapan artistik yang membawa Keindahan Ilahi ‘keluar’ dalam bentuk penciptaan-penciptaan yang indah, seperti arsitektur rumah, instrumen musik, musik, pakaian dan motifnya, senjata dan motifnya, patung-patung, seni visual, dan lain-lain. Tapi, selain berfungsi sebagai ekspresi manusia akan Keindahan Ilahi, ‘estetika sakral’ itu juga berfungsi sebagai tugu, monumen, pengingat akan Keberadaan Ilahi.
Genderang perunggu (nekara) yang dibuat manusia primitif Indonesia, dihiasi dengan gambar estetik yang merupakan simbol-simbol sakral, buatan imajinasi sakral manusia Indonesia. Genderang perunggu yang ditemukan di Babakan, di Selayar dan di Pejeng, seluruhnya dihias dengan gambar simbolik yang sama: burung pelikan atau bangau Cina. Burung pelikan adalah simbol Yang Ilahi; sesuatu yang terbang di Langit, berasal dari Langit, tempat dimana Yang Ilahi berada. Simbol itu sengaja digambar di atas genderang perunggu, karena sesuai dengan fungsi genderang itu, yaitu, ditabuh dan dipukul dalam upacara ‘minta hujan’. Hujan berasal dari atas, dari Langit, dan burung pelikan adalah ‘Burung Sakral’ dari Langit, yang dapat menyampaikan kepada Tuhan Di Langit untuk mengabulkan permohonan manusia di bumi, dengan menurunkan hujan, yang membawa kesuburan bumi.[38]
Di atas genderang perunggu Pejeng yang bulat-bundar juga dihiasi di tengah-tengahnya dengan gambar bintang segi-duabelas yang di sekelilingnya terdapat gambar sesuatu berbentuk huruf ‘’S’’. Bintang segi-duabelas merupakan simbol ‘Cahaya’, ‘Sinar Primordial’. Letaknya yang di tengah-tengah genderang berarti ‘Sinar Pusat’, ‘Pusat Cahaya’.  Sedangkan sesuatu berbentuk huruf  ‘’S’’, menurut tafsiran Jakob Sumardjo, merupakan gabungan antara bentuk lingkaran sebagai simbol ‘perempuan’ dengan batangan lurus sebagai simbol ‘lelaki’. Jadi, huruf “S” adalah simbol perpaduan ‘lelaki’ dan ‘perempuan’, ‘harmoni totalitas keberadaan yang saling beroposisi’, ‘keselarasan semesta’, atau ‘kehidupan’.[39] Letaknya yang di sekeliling bintang segi-dua belas berarti, bahwa ‘Pusat Cahaya’ memancarkan Sinar-Sinarnya berupa Kosmos atau Kehidupan di sekelilingNya: simbol Emanasi Ilahi.
Simbol ‘keselarasan kosmik dari unsur-unsur yang saling beroposisi’ bukan hanya terdapat pada genderang perunggu pra-sejarah, tapi juga terdapat pada motif kain-kain tenun, bejana perunggu, bejana batu, tongkat kayu, ukiran-ukiran kayu, perisai-perisai, batu-batu nisan, sisir rambut, serta perhiasan-perhiasan anting dan kalung. Simbol tersebut bukan hanya digambarkan dengan suatu berbentuk huruf “S”, tapi juga berbentuk piramidal (huruf “V” terbalik), bulatan-bulatan, persegi-persegi empat, yang digambar saling berselang-seling, yang berarti oposisi-oposisi biner, keanekaragaman wujud, yang tertata rapi dalam kosmos yang harmonis.
Gambar ‘perahu’ juga sering digambarkan pada arsitektur rumah di Toraja, rumah-rumahan perahu yang dilabuhkan ke laut pada upacara Labuhan di Jawa, Sunda dan Bali, kain-kain tenun di Lampung, bejana air di Minangkabau, hiasan kepala perempuan Lampung, ukiran kayu di Irian Jaya, perahu kayu di Batak-Karo, perahu kayu dan ukiran-ukiran kayu Beaju-Dayak, ukiran kayu di Alor, motif perahu pada batu nisan di Pulau Tanimbar, dan lain-lain, karena ‘perahu’ dipahami sebagai simbol kendaraan menuju ‘Alam Ruh’. Setiap orang mati, ruhnya akan berpindah ke ‘Lautan Ruh’, yang diantar dengan ‘Perahu’. Karena itu pulalah, orang Toraja menyebut keranda mereka dengan prau.   
‘Seni sakral’ bukan hanya diekspresikan dalam bentuk benda-benda material, tapi juga dalam bentuk seni literer.  Mitologi-mitologi asal-mula semesta (myths of origin) diekspresikan dalam bentuk nyanyian-nyanyian indah yang diiringi dengan musik-musik. Karya-karya puitik yang bertema sakral pun banyak dihasilkan. Orang Jawa menghasilkan kakawin, yakni ‘puisi-puisi dewa’. Disebut demikian, karena puisi-puisi itu ditulis dengan tuntunan inspirasi dari Dewa-Dewa Vishnu, Shiva, Kama, Ratih atau Sarasvati, yang mereka percayai ‘turun’ ke pena-pena penyair untuk menuliskan puisi-puisi sakral.[40] Hamzah Al-Fansuri menulis puisi-puisi Melayu yang amat rhymic, dengan tema-tema sufistik yang kental. Ki Ageng Selo dan penyair-penyair Jawa lainnya, menulis Serat-Serat, Suluk-Suluk, Pepali-Pepali, yakni puisi-puisi ala Jawa yang mengambil tema-tema spiritual-esoterik.
Kemaluan manusia yang dijadikan obyek seni, baik dalam ‘Seni Profan’ dan ‘Seni Sakral’, tentu saja dimaknai masing-masing secara berbeda. Gambar kemaluan lelaki yang dipahat pada pahatan Mbis suku Asmat, misalnya, dipahami sebagai lambang ‘kesuburan’: ‘Langit’ (yang dilambangkan dengan kemaluan lelaki) menurunkan hujan ke ‘Dunia’ (yang dilambangkan dengan kemaluan wanita) dan menyuburkannya, sehingga lahirlah tetumbuhan. Sebaliknya, dalam ‘Seni Profan’ gambar kemaluan hanya dipahami sebagai semata kemaluan, alat seksual, alat reproduksi. Seni sastra dalam ‘Seni Profan’ juga ‘dangkal’ dalam menggambarkan kemaluan. Kemaluan hanya digambarkannya untuk menimbulkan efek-efek seksual yang orgasmik dan orgiastik, sedangkan dalam ‘Seni Sakral’, kemaluan digambarkan lagi-lagi sebagai simbol berkarakter spiritual. Ronggowarsito, dalam Serat Wirid Hidayat Jati, mengambil kemaluan lelaki (yang disebutnya konthol Adam) sebagai obyek, yang dapat mengantarkan manusia menuju pemahaman spiritual akan Yang Ilahi.
Sesungguhnya Aku (di sini berarti Tuhan—FH) mempersiapkan sebuah mahligai di dalam Baitul Muqaddas, yaitu rumah tempat persucianKu, terdirikan dalam kantong kemaluan manusia. Yang ada dalam kemaluan itu pringsilan; di dalam pringsilan ada mani, dalam mani ada madi, dalam madi ada wadi, dalam wadi ada manikam, dalam manikam ada rasa. Dalam rasa ada Aku. Tak ada Tuhan selain Aku, Zat yang meliputi keadaan yang sesungguhnya. Maka mula-mula sebagai nukat (titik) gaib, kemudian turun menjadi johar awwal. Di situlah adanya Alam Ahadiyat, Alam Arwah, Alam Wahidiyat, Alam Misal, Alam Ajsam dan Alam Insan Kamil, yakni manusia yang sempurna, yakni sifat Aku.[41]            
Dalam seni Yunani-Kuno, Priapus digambarkan sebagai dewa yang berkemaluan besar sekali: simbol kesuburan. Bahkan, orang Yunani-Kuno membangun suatu monumen berbentuk kemaluan lelaki (phallus) setinggi 54 meter di depan Kuil Afrodisia, untuk menyembah Afrodisia (Dewi Cinta), Dionysus (Dewa Kesenangan Memabukkan), dan Priapus (Dewa Kesuburan). Orang Funisia juga melambangkan Adonis (Dewa Penyubur Tetumbuhan) dengan lambang kemaluan lelaki (phallus). Dalam seni India, kemaluan lelaki (lingam) dan kemaluan wanita (yoni) merupakan simbol kemahapenciptaan Syiwa. Raja Sanjaya di Kerajaan Mataram Hindu pernah mendirikan pada tahun 730 M, di Muntilan, Jawa Tengah, sebuah bangunan berbentuk linga untuk Syiwa. Selain untuk memuja Syiwa, bangunan linga ini juga berfungsi sebagai tempat pemakaman, yang menurutnya, akan memungkinkannya menyatu dengan Syiwa.[42]
Tapi, bagaimana lingam atau phallus kini dimaknai oleh ‘Seni Profan’? Mungkin, tidak akan lebih jauh daripada sekadar dildo! Gatholoco, suatu naskah sastra sakral dari Jawa pun akan dimaknai semata-mata sebagai ‘masturbasi’: Gatho (Ujung yang Rahasia, Penis) dan Loco (Dirancap-rancap). Dewi Lupitwati, yang merupakan lawan dialog tokoh utama bernama Gatholoco, juga akan dimaknai secara literal-fisikal sebagai ‘adegan senggama’: Lu atau Alu (Penis), Pit (Dijepit), Wati (Vagina), dan Dewi Prejiwati semata-mata dipahami sebagai ‘pusat vagina’: Preji (Biji) dan Wati (Vagina).[43] Pendangkalan-pendangkalan makna inilah yang hendak dilawan oleh ‘Seni Sakral’ terhadap ‘Seni Profan’.

C. Aspek Kognitif
Orang-orang yang menggunakan metode rasional-modern memandang adat mengandung takhayul, ilusi, irasionalitas, atau pra-logika. Misalnya, Tan Malaka. Dalam karyanya yang berjudul Massa Actie yang diterbitkan pada 1926, pendiri Republik dan ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) tersebut, mengajak pembacanya untuk membuang adat dan menggantikannya dengan Rasionalisme, karena adat mengandung takhayul:  
Zaman yang lalu, zaman penjajahan Hindu dan Islam serta zaman kesaktian yang ‘gelap’ itu, tak dapat menolong kita walaupun sedikit. Marilah sekarang kita adakan tembok baja antara zaman dulu dan zaman depan, dan jangan sekali-kali melihat ke belakang dan mencoba-coba mempergunakan tenaga purbakala itu untuk mendorong masyarakat yang berbahagia. Marilah kita mempergunakan pikiran ‘rasional’ sebab pengetahuan dan cara berpikir yang begitu adalah puncak tingkatan yang tertinggi dalam peradaban manusia dan tingkatan pertama buat zaman depan. Cara berpikir yang rasionil, membawa kita kepada kekuasaan atas tenaga-tenaga alam yang mendatangkan manfaat, dan pemakaiannya yang benar, yang kepada cara pemakaian itu makin lama makin bergantung nasib manusia. Hanya cara berpikir dan bekerja yang rasionil menarik manusia dari ketakhayulan, kelaparan, hawar dan perbudakan, dan membimbing manusia kepada kebenaran...[44]  
‘Zaman Adat’, dalam pandangan Tan Malaka, adalah ‘zaman gelap’ yang sudah tamat dan digantikan dengan ‘zaman depan’ yang bercirikan ‘...mempergunakan pikiran ‘rasional…yang mendatangkan manfaat…menarik manusia dari ketakhayulan, kelaparan, hawar dan perbudakan,…membimbing manusia kepada kebenaran… Sebaliknya, Tan Malaka memuji-muji Rasionalisme sebagai ‘puncak tertinggi dalam peradaban manusia’ di ‘zaman depan’ yang akan membawa manusia Indonesia ‘kepada kekuasaan atas tenaga-tenaga alam yang mendatangkan manfaat’ dan yang dapat ‘menarik manusia dari ketakhayulan, kelaparan, hawar, perbudakan, dan membimbing manusia kepada kebenaran’.
Di masa pembuangannya, Mohammad Hatta (1902-1980) menulis buku daras filsafat mengenai Filsafat Barat Klasik berjudul Alam Pikiran Junani (1941). Walaupun Hatta memuji Filsafat Yunani dalam karyanya itu, mudah diterka bahwa Hatta sesungguhnya menjuruskan kritiknya kepada Adat. Tulis Hatta:  
Dongeng dan takhyul yang dipusakakan dari nenek moyang itu menimbulkan adat dan kebiasaan hidup, yang menjadi cermin jiwa bangsa yang memakainya. Pengetahuan pusaka itu bertambah lama bertambah banyak, ditambah dengan pengalaman tiap-tiap angkatan baru. Semuanya itu masuk ke dalam perbendaharaan peradaban bangsa, yang disebut kultur. Semuanya itu menjadi pimpinan bagi angkatan kemudian menempuh jalan penghidupan. Sebab itu ‘kata’ atau ‘nasehat’ orang tua-tua sangat diindahkan.  
Dongeng dan takhyul serta adat-istiadat itu berpengaruh kemudian atas cara orang memeluk agamanya. Agama yang datang kemudian mendapati alam ini penuh dengan berbagai kepercayaan. Kepercayaan alam itu tak mudah membongkarnya dengan seketika saja. Ia bertahan. Itulah sebabnya, maka agama yang begitu murni dasarnya, dalam masyarakat banyak bercampur dengan barang pusaka hidup yang tersebut itu. Sebab itu tak salah orang mengatakan, bahwa cara orang memahamkan agamanya banyak terpengaruh oleh keadaan hidupnya.  
Juga orang Grik dahulunya banyak mempunyai dongeng dan takhyul. Tetapi yang ajaib pada mereka itu ialah, bahwa angan-angan yang indah-indah itu menjadi dasar untuk mencari pengetahuan semata-mata untuk tahu saja, dengan tiada mengharapkan keuntungan daripada itu….[45] 
Jarang yang mengetahui bahwa Muhammad Yamin, seorang konseptor Konstitusi RI, berhasil memasukkan Rasionalisme—suatu aliran dalam Filsafat Barat Modern—ke dalam filsafat negara yang kini disebut ‘Pancasila’, yakni pada ‘Sila Keempat’ yang berbunyi ‘kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan…’ ‘Hikmat kebijaksaan’, rupanya, adalah terjemahan Yamin dari istilah Inggris ‘Filsafat Rasionalisme’.[46] Untuk lebih jelasnya, kita kutipkan langsung perkataannya di bawah ini, tapi sebelum itu, mari kita baca bagaimana sikap Yamin terhadap Adat:

Negara Indonesia pertama (negara Syailendra-Sriwijaya, FH) dibentuk dan dijunjung oleh rakyat keturunan yang memakai dasar kedatuan yang selaras dengan kepercayaan purbakala (kesaktian-magie) dan agama Buddha Mahayana. Negara Indonesia kedua (Kerajaan Majapahit, FH) disusun atas faham keperabuan, dan bersandar kepada paduan agama Syiwa dan Buddha, menjadi agama Tanterayana…Tentang dasar negara itu (negara Indonesia Merdeka, FH), tidak dapatlah dilanjutkan dasar kedatuan atau dasar keperabuan secara dahulu itu, karena tradisi kenegaraan antara runtuhnya tata-negara kedua dengan Negara Indonesia Merdeka, tidak bersambung, melainkan sudah putus. Rakyat Indonesia sekarang tak dapat diikat dengan dasar dan bentuk tata-negara dahulu, karena perubahan dan aspirasi kita sekarang jauh berlainan daripada zaman yang dahulu itu. Agama sudah berlainan, dunia pikiran sudah berbeda dan susunan dunia telah berubah…[47]

Yamin menghendaki ‘Negara Indonesia Ketiga’, yakni ‘Indonesia Merdeka’, menjadi satu negara baru yang dilandasi filsafat negara baru dan aspirasi baru yang ditawarkan Modernisme. Agar negara berskema modernistik terwujud, maka filsafat negaranya haruslah bersumber pada Filsafat Modern Barat, yakni Rasionalisme. Kata Yamin:


Sampailah saya sekarang ke dasar yang ketiga, jalan kebijaksanaan (rationalisme).

…adat telah banyak kemasukan pengaruh feodalisme zaman Belanda dan dalam adat juga telah terdapat kerusakan-kerusakan karena pemerintah jajahan. Dalam adat juga telah terdapat bagian-bagian yang tidak menurutkan aliran zaman. Pembaharuan mestilah ada…. Pembaharuan itu dijalankan dengan tenaga pikiran terutama dari kaum terpelajar yang budiman dan berpengetahuan tinggi. Dasar irrationalisme dan prelogisme hendaklah berangsur-angsur hilang dan dari sekarang Negara Indonesia hendaklah disusun atas logika sebagai dari rationalisme yang sehat…

Hikmah kebijaksanaan yang menjadi pimpinan kerakyatan Indonesia ialah rationalisme yang sehat, karena telah melepaskan dari anarchi, liberalisme dan semangat penjajahan.[48]     

Benarkah adat penuh berisi takhayul dan karenanya, adat tidak membimbing manusia Indonesia kepada kebenaran? Tan Malaka menggunakan Rasionalisme-Barat sebagai instrumen untuk mengukur dan menilai adat—suatu hal yang tidak adil, tapi juga yang tidak dapat dihindari. Pertama, dikatakan ‘tidak adil’, karena adat dipahami sebagai obyek untuk kacamata ontologis yang berlainan yang sungguh-sungguh membencinya. Adat diserang dari luar dirinya, dari sesuatu yang asing darinya, dari sesuatu yang tidak mengenalnya, dari sesuatu yang buta terhadapnya, dan karenanya, ia tidak mungkin dapat memahami adat sebagaimana adat memahami dirinya sendiri. Ini tidak adil. Ini penjajahan pandangan. Tapi, kedua, dikatakan ‘tidak dapat dihindari’, karena beginilah dinamika pemikiran. Suatu pemikiran tidak akan maju, jika tidak mengalami kritik. Adat harus terus-menerus dikritik, diperbarui, dimakna-ulang, didewasakan, ditinggikan kesempurnaannya, agar ia maju, kian sempurna, kian canggih. Tapi, tentunya jangan disalah-pahami, bahwa adat perlu dikritik oleh Rasionalisme. Jika adat dikritik oleh sesuatu yang membencinya, maka kritikan tersebut tidak mungkin dapat meninggikan kemajuan adat, tapi malah menolaknya, membuangnya jauh-jauh. Begitulah yang terjadi, jika Rasionalisme mengritik adat. Bukan adat kian disempurnakan oleh Rasionalisme, tapi justru adat dilemahkan dan ditaklukkan. Itulah yang diimplikasikan dari pernyataan Tan Malaka ‘marilah sekarang kita adakan tembok baja antara zaman dulu dan zaman depan, dan jangan sekali-kali melihat ke belakang dan mencoba-coba mempergunakan tenaga purbakala itu untuk mendorong masyarakat yang berbahagia,’ yang penuh kebencian terhadap adat dan mengajak untuk membuangnya jauh-jauh.
Apakah Tan Malaka hendak membuang jauh-jauh adat, lantaran adat mengandung takhayul dan kepalsuan? Sayangnya, Tan Malaka menulis karyanya ini pada tahun 1926, tahun dimana Rasionalisme belum berintrospeksi akan dirinya, belum bercermin-diri, serta belum menyadari ilusi-ilusi dan superstisi-superstisinya yang dikandungnya sendiri. Jika Tan Malaka masih hidup di tahun 2000-an dan berkenalan dengan Paskamodernisme-Barat, maka mungkin saja Tan Malaka akan mengoreksi pandangannya itu. Lagi pula, takhayul mulai dibenci pada saat Rasionalisme muncul, tidak sebelumnya. Takhayul masih dimaknai secara positif oleh manusia adat, jauh sebelum Rasionalisme membencinya. Manusia adat memiliki ‘takhayul yang benar’—tentunya ‘benar’ menurut kriteria adat, bukannya ‘benar’ menurut Rasionalisme. Di zaman Paskamodern, perbedaan antara fiksi dan realitas kian blur, kian kabur, kian tidak jelas. Kebenaran pun bersifat lokal dan dipengaruhi oleh kebudayaan setempat. Obyektifitas dalam Modernisme kini dipahami sebagai ilusi dan superstisi. Bahkan, secara ekstrim dapat dikatakan, bahwa takhayul dan pentakhayulan adalah sesuatu yang sungguh-sungguh diberkati dan direstui oleh Paskamodernisme.
Apakah Tan Malaka akan memilih adat jika elemen takhayul dalam adat telah dibuang? Saya pikir tidak. Tan Malaka memandang takhayul sebagai substansi dasar adat, yang hanya dapat dihilangkan dengan mengadopsi suatu yang baru yang dianggapnya tidak mengandung takhayul: Rasionalisme. Maklumlah, sebab Tan Malaka pun belum bisa mengritisi dan melampaui MADILOGnya (Materialisme, Dialektika, Logika). Dia ‘anak kandung’ Modernisme yang belum bisa membangkangi Modernisme. Alih-alih terbebaskan dari takhayul adat, Tan Malaka malah masuk ke alam takhayul baru, yakni ‘takhayul modern’, yang dimisalkan dengan Obyektifitas, Sains Bebas-Nilai, Hukum Konstan Sejarah, Ekonomi Berkemanusiaan, Masyarakat Tak-Berkelas, dan lain-lain.
Apakah takhayul itu salah? Itu tergantung pada kacamata apa yang dipakai. Adat memandang takhayul sebagai suatu yang biasa, wajar, benar. Tapi Modernisme memandang takhayul adat sebagai suatu yang abnormal, palsu, salah. Pada gilirannya, Paskamodernisme memandang Modernisme memiliki sejumlah takhayul yang juga dianggapnya abnormal, palsu, salah. Dan pada gilirannya pula, suatu mazhab filosofis baru yang entah apa namanya di masa depan akan memandang palsu takhayul-takhayul yang dipercayai Paskamodernisme dan menganggapnya semua sebagai palsu dan salah. Lalu, pelajaran apa yang dapat dipetik dari uraian ini? Pertama, barangkali hobi manusia adalah bertakhayul; kedua, setiap ‘takhayul lama’ yang dikritik akan menghasilkan ‘takhayul baru’; dan ketiga, manusia berpindah-pindah dari satu jenis ‘takhayul sederhana’ menuju ‘takhayul yang kompleks’.
Karena istilah ‘takhayul’ sudah kadung berkonotasi negatif (lantaran Modernisme menyebutnya sebagai superstition, fallacy, delusion, false notion, misconception, falsehood, dan falsity), maka di sini akan digunakan padanan-katanya yang agak berkonotasi positif, seperti imagination atau vision. Manakah manusia yang tidak pernah melakukan semua hal itu? ‘Manusia modern’ manakah yang tidak pernah bermimpi atau berimajinasi? Bagaimana mungkin menganggap palsu suatu yang tidak pernah bisa ia hilangkan dalam hidupnya sebagai manusia? Tidakkah Karl Marx pun berimajinasi tentang Classless Society, Muhammad berimajinasi tentang Al-Jannah, Thomas More tentang Utopia, Soekarno dan Soeharto tentang Masyarakat Pancasila, dengan cara yang sama dengan orang Jawa adat asli yang berimajinasi tentang negeri yang gemah ripah loh jinawi?  
Demi kuatnya argumentasi tentang hobi takhayul manusia, dikutip di sini pandangan seorang filosof Paskamodern, Susanne K. Langer (1895-1985). Dalam karyanya yang fenomenal berjudul Philosophy in A New Key: A Study in the Symbolism of Reason, Rite, and Art, Susanne menegaskan bahwa dalam memahami kenyataan di luar dirinya, manusia senantiasa memproduksi citra-citra mental yang berupa simbol-simbol, dan simbol-simbol ini senantiasa berubah-ubah (dalam ungkapan Susanne, symbolic transformation). Realitasnya mungkin saja sama, tapi simbol-simbol yang merepresentasikannya berubah-ubah sejalan dengan pemahaman manusia yang berubah-ubah. Bukan hanya sains yang dipahami manusia secara simbolis, tapi juga mitos, analogi, nalar metaforis (metaphorical thinking), dan seni. Produksi simbol-simbol yang terus berubah-ubah (symbolic transformation), dalam penelitian Susanne, merupakan aktivitas manusia yang alamiah dan wajar. Wajar berarti tak salah. Kata Susanne:

…there is a primary need in man, which other creatures probably do not have, and which actuates all his apparently unzoological aims, his wistful fancies, his consciousness of value, his utterly impractical enthusiasms, and his awareness of a “Beyond” filled with holiness. Despite the fact that this need gives rise to almost everything that we commonly assign to the “higher” life, it is not itself a “higher” form of some “lower” need; it is quite essential, imperious, and general, and may be called “high” only in the sense that it belongs exclusively (I think) to a very complex and perhaps recent genus. It may be satisfied in crude, primitive ways or in conscious and refined ways, so it has its own hierarchy of “higher” and “lower”, elementary and derivative forms.
This basic need, which certainly is obvious only in man, is the need of symbolization. The symbol-making function is one of man’s primary activities, like eating, looking, or moving about. It is the fundamental process of his mind, and goes on all the time. Sometimes we are aware of it, sometimes we merely find its results, and realize that certain experiences have passed through our brains and have been digested there.[49]  
Jika dalam dirinya sendiri manusia memiliki potensi untuk senantiasa bertakhayul (imagining), mampukah ia mencapai kebenaran? Itu tergantung ukuran kebenaran apa yang dipakai. Jika yang dipakai adalah ukuran kebenaran Rasionalisme, maka takhayul tetap saja dianggap tidak benar. Tapi jika yang dipakai adalah ukuran kebenaran adat, maka takhayul dianggap benar.
             
D. Aspek Esoterik-Eksoterik
Ada hal menarik mengenai adat yang luput dari perhatian para antropolog dan sosiolog modern, tapi sungguh diperhatikan oleh masyarakat adat sendiri, yaitu, bahwa adat memiliki banyak kategori atau jenis, dan kategorisasi ini dilakukan oleh masyarakat asli itu sendiri, tanpa campur-tangan outsider. Suku Riau membagi adat ke dalam 3 (tiga) kategori: (1) adat sebenar adat; (2) adat yang diadatkan; dan (3) adat yang teradat.[50] Adat sebenar adat ialah adat yang tidak berubah oleh kondisi dan situasi apapun, karena berasal dari Yang Ilahi. Ini adalah ‘aspek esoterik’ adat. Sedangkan dua jenis adat yang lainnya dapat berubah, karena dibuat untuk kepentingan sementara oleh pemimpin suku atau hasil musyawarah masyarakat itu sendiri. Ini adalah ‘aspek eksoterik’ adat. Adat yang diadatkan, dalam perspektif masyarakat asli Riau, berarti, sebagaimana diungkap oleh peribahasa:

Adat yang turun dari raja,
Adat yang tumbuh dari datuk,
Adat yang cucur dari penghulu,
Adat yang lahir dari mufakat,
Putus mufakat ia berobah.[51]
Sedangkan adat yang teradat ialah, sebagaimana diungkap pula dalam peribahasa berikut ini:
Adat yang teradat
Datang tidak bercerita
Pergi tidak berkabar;
Adat disarung tidak berjahit
Adat berkelindan tidak berjahit
Adat berjarum tidak berbenang
Yang terbawa burung lalu
Yang tumbuh tidak ditanam…[52]
Suku Melayu-Minangkabau juga memiliki kategorisasi adat. Mereka membagi adat ke dalam 2 (dua) kategori: (1) adat babuhul mati, dan (2) adat babuhul sintak. Adat babuhul mati adalah adat yang ikatannya merupakan ikatan mati, tak bisa diubah-ubah. Adat babuhul mati juga disebut dengan sebutan lain, yaitu adat sabana adat (adat yang benar-benar adat). Adat sabana adat ialah adat yang diambil dari seluruh hukum dan sifat alam yang tidak mengenal perubahan, sedangkan adat babuhul sintak (yang juga disebut dengan adat nan diadatkan) adalah adat yang ikatannya merupakan ikatan longgar, bisa diubah-ubah sesuai dengan kondisi dan situasi kontemporer, yang dihasilkan, misalnya, lewat perenungan pendiri adat Minangkabau, bernama Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih nan Sebatang, atau lewat musyawarah. Pada gilirannya, adat babuhul sintak akan menjadi adat babuhul mati, karena keputusan yang pada awalnya bersifat sementara itu kemudian diabadikan oleh masyarakat menjadi keputusan tetap.[53] Ini sangat tepat diungkap oleh peribahasa Minang:

Kamanakan barajo kapado mamak,
Mamak barajo kapado tungganai,
Tungganai barajo kapado panghulu,
Panghulu barajo kapado mufakat,
Mufakat barajo kapado alua jo patuik,
Alua jo patuik barajo kapado bana,
Bana bardiri dengan sandirinyo.

(Kemenakan dipimpin oleh mamak,
mamak dipimpin oleh tungganai,
tungganai dipimpin oleh penghulu,
penghulu dipimpin oleh mufakat,
mufakat dipimpin oleh tatanan alam dan kepatutan,
tatanan alam dan kepatutan dipimpin oleh Kebenaran,
Kebenaran berdiri sendiri.)[54]
                Penelaahan terhadap adat dalam dua suku Melayu tersebut memperlihatkan, bahwa dalam masyarakat asli pun telah terjadi dinamika internal, yang tercermin dari adat yang diadatkan dan adat yang teradat (dalam suku Riau) dan adat babuhul sintak (dalam suku Minang). Masyarakat asli dapat saja memperbarui adatnya, tanpa harus membuang adat untuk mengambil sesuatu yang asing. Namun, barangkali formulasi tersebut tinggal sekadar formulasi. Pada prakteknya, pembaharuan dalam adat lewat jalur adat yang diadatkan atau adat babuhul sintak, amat sulit dilakukan, jika bukan dikatakan mustahil. Pembusukan-pembusukan dalam adat pun terjadi, sebagaimana yang disesalkan oleh R.A. Kartini dalam kumpulan surat-suratnya Habis Gelap Terbitlah Terang, lantaran adat tidak segera diperbarui. Semestinya, semua pemimpin adat tidak perlu takut akan pembaharuan dalam adat, selama adat sebenar adat atau adat babuhul mati tidak berubah. Pembaharuan dalam adat babuhul sintak atau adat yang diadatkan merupakan keniscayaan hidup lahiriah manusia di alam historis, yang tidak akan berpengaruh pada ketetapan esensial dari adat sabana adat di alam meta-historis. Karena berasal dari Yang Ilahi Nan Abadi, maka adat sabana adat senantiasa abadi. Perubahan dan dekadensi hanya dapat mengenai adat babuhul sintak, sedangkan adat babuhul mati tidakkan dikenai perubahan dan dekadensi. Kebenaran itu abadi dan Kebenaran tidak mengenal keduaan (duality).
Alua jo patuik barajo kapado bana,
Bana bardiri dengan sandirinyo.
Jika dikatakan sebagai ‘abadi’, maka apa saja ‘yang abadi’ dalam Adat Sebenar Adat? Tentu saja yang abadi ialah kebenarannya, sebab ia manifestasi Sang Kebenaran. Jika dianalogikan dengan buah, kebenaran ialah isi buahnya atau daging buahnya, bukan kulitnya. Jika dianalogikan dengan cermin, maka kebenaran ialah suatu yang nyata ada di hadapan cermin, bukan yang dipantulkan cermin. Jika dianalogikan dengan matahari, kebenaran ialah intinya, bukan sinarnya. Dalam tari kecak di Bali, manakah elemen yang abadi? Bukan gerakan-gerakan tarinya, bukan format duduknya penari, bukan pula teriakan yang keluar dari mulut penari, yang merupakan unsur abadi, tapi komunikasi dan penyatuan (communion) dengan Yang Ilahilah yang abadi. Dalam tari Tunggal Penaluan suku Batak, manakah elemen yang abadi? Lagi-lagi, bukannya gerakan tarinya, bukan format barisan penarinya, bukan tongkat yang dipakai penari, bukan mantera yang dikomat-kamitkan penari yang bersifat abadi, tapi komunikasi dan penyatuan dengan Yang Ilahilah yang abadi. Dalam patung mbis suku Asmat, manakah elemen yang abadi? Bukan motif ukirannya, bukan simbolisme motifnya, bukan pula posisi vertikal patung itu yang abadi, tapi komunikasi dan penyatuan dengan Yang Sakrallah yang abadi.
Komunikasi dan penyatuan dengan Yang Sakral yang merupakan inti segala manifestasi adatlah yang menyebabkan adat jadi abadi. ‘Adat Abadi’ ini sungguh identik dengan apa yang disebut filsuf Perennialisme[55] sebagai Philosophia Perennis (Kebijaksanaan Abadi) atau Religio Perennis (Agama Abadi) atau the Tradition (Tradisi Abadi). Adat, bersama-sama dengan seluruh tradisi spiritual-sakral yang pernah ada di dunia ini, berintikan ajaran spiritual-sakral yang serupa dan tunggal: komunikasi dan penyatuan dengan Yang Ilahi. ‘Adat Abadi’ ini bukanlah ciptaan leluhur, tapi ciptaan Leluhur Abadi kita, yang disebut dengan beribu nama (Tuhan, Lowalangi, Deus, Theo, Tiwaz, Pater, Allah, dan lain-lain) tapi merujuk pada Kenyataan Nan Tunggal. Adat Perennis senantiasa ada di manapun, kapan pun, bagaimana pun, apapun manifestasinya, sebab:
…there has never been a time without God, nor a place into which He has failed to descent. His eternal power and Godhead have always been manifest in the things that are made, and the particular traditions are so many palimpsests of a script written into the substance of creation itself. It is not surprising, therefore, that we should find signs of tradition wherever and whenever we look…’[56]
Di zaman ketika adat belum dimaknai dengan makna rasial, tidak ada 'pintu rasial'; yang ada hanya 'pintu spiritual'; semua suku asli Indonesia lebih dulu mengenal spiritualitas adat daripada rasialitas spiritual adat. Memang benar, leluhur pada awalnya merupakan pendiri suatu desa-keluarga dan spiritualisme leluhur merupakan agama desa-keluarga itu, tapi ketika spiritualisme leluhur bukan hanya diterapkan pada desa itu saja dan oleh penduduk desa itu saja, tetapi juga di banyak tempat di dunia dan oleh banyak penduduk dunia, maka spiritualisme leluhur itu bersifat supra-tribal, bersifat perenial. Sedangkan konsep Kejawaan (sering pula disebut Kejawen) dan Agama Wiwitan Sunda (sering pula disebut Agama Cigugur) yang merefleksikan 'spiritualisme rasial', merupakan perkembangan historis yang lebih belakangan daripada konsep spiritualisme leluhur. Itulah sebabnya, mengapa Sutatmo Suriokusumo di Jawa dan Datuk Sutan Maharaja di Minang lebih dulu menjadi theosophist dalam the Theosophical Society daripada menjadi anggota Budi Utomo atau menjadi seorang Datuk di zaman pra-Kemerdekaan. Mereka berdua memang bergabung dalam pergerakan rasial, tapi tidak melupakan 'ras' yang abadi, sebagaimana secara cantik diungkap Frithjof Schuon:
…ada tanah air di dunia ini dan ada tanah air di surga. Yang terakhir merupakan bentuk asli dan sumber dari yang pertama, serta memberikan makna dan legitimasi terhadapnya. Dengan demikian, sebagaimana dalam ajaran Gereja, cinta ketuhanan memiliki prioritas di atas--dan berarti mungkin bertentangan dengan--cinta terhadap segala yang relatif, meskipun sama-sama bermuatan kemurahan hati. Satu makhluk harus mencintai 'dalam Tuhan'. Artinya, cinta itu sebenarnya tidak pernah dimiliki makhluk secara eksklusif. Kristus hanya memperhatikan tanah air surga yang 'tidak ada di dunia ini'. Ini sudah seharusnya, meskipun bukan berarti menolak fakta alamiah adanya tanah air di bumi, melainkan lebih untuk menghindari satu pengkultusan yang sesat--dan berarti tidak logis--terhadap tanah air tempat seseorang berasal. Jika Kristus menanggalkan tanah air temporalnya, betapapun ia mengakui hukum-hukum alamiah, berarti hukum-hukum itu dipandang tidak abadi dan tidak boleh dijadikan berhala.[57]      
'Pintu pertama' adalah pintu lahir, sedangkan 'pintu kedua' adalah pintu batin. 'Pintu pertama' hanya untuk menunjukkan ekspresi lokal akan Kebenaran, sedangkan 'pintu kedua' hendak merangkul semua ekspresi lokal dari tempat dan ruang yang berbeda, lalu menunjukkan bahwa semua ekspresi lokal itu merujuk pada satu tujuan universal, satu paham universal, satu ajaran universal: 'ajaran abadi'. Di Jawa, ada Kejawen; di Sunda, ada Agama Cigugur. Walaupun diungkap dengan bahasa-bahasa lokal, spiritualitas universal yang terkandung di dalamnya merupakan common denominator yang menyatukannya dalam Bahasa Ilahi yang universal. Tradisi Teologi Islam mengatributkan Yang Ilahi sebagai al-Mutakallim (Yang Maha Bertutur). Dia senantiasa bertutur dan mengabarkan Kebenaran di tengah manusia. Bahasa apa yang dipakai Tuhan dalam bertutur? Bukan bahasa Latin; bukan bahasa Inggris; bukan bahasa Grik; bukan bahasa Ibrani; bukan bahasa India; bukan bahasa Cina; bukan bahasa Arab; bukan pula bahasa Jawa. Yang Ilahi bertutur dengan bahasa universal; bahasa ruh, 'bahasa hati', 'bahasa jiwa'.
Lalu, mana yang abadi? 'Adat Rasial' atau 'Adat Perennis'? 'Adat Babuhul Sintak' atau 'Adat Babuhul Mati'? 'Adat yang Diadatkan' atau 'Adat Sebenar Adat'? Tentu saja, jika kita disuruh memilih di antara 'huruf' atau 'ruh', kita akan memilih 'ruh', sebab, sebagaimana Perjanjian Baru bersabda: '…sebab Huruf membunuh, tetapi Ruh menghidupkan' (II Kor. 3:6). Menyadari bahwa Kebenaran Ruhaniah itu tunggal, Mpu Tantular, jika ditanya 'anda mau memilih Shivaisme atau Buddhisme?', akan menjawab:

Rwâneka dhâtu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.[58]

(Orang bilang Buddha dan Siwa adalah dua substansi berbeda,
Keduanya memang berbeda, tapi bagaimana mungkin memahami
perbedaan keduanya secara sepintas,
sebab kebenaran Jina (Buddha) dan kebenaran Siwa adalah satu,
keduanya memang sungguh berbeda, tapi keduanya dari jenis yang sama, karena tidak ada dualitas dalam Kebenaran.)
G. Aspek Perenial
            Konsep perenialitas dalam Sophia Perennis berakar pada diskursus-diskursus tentang kebijaksanaan abadi selama berabad-abad di seluruh dunia.
Dalam tradisi Hindu, konsep tersebut ditemukan dalam ide Sanatana Dharma, yang berarti ‘Tradisi Abadi’ atau ‘Kebenaran Abadi’. Dalam Taoisme, eternalitas terkandung dalam kebenaran abadi, yang disebut Tao. Dalam Buddhisme Mahayana, konsep ini terdapat dalam ide Buddha-alam yang abadi (the eternal Buddha-nature) atau Sang Esensi Abadi. Seluruh penganut Buddha menganggap kitab-kitab suci Tripitaka mengandung kebenaran abadi (Dhamma, the Truth). Dalam tradisi Yudaisme, ajaran abadi disebut Torah dan prinsip-prinsip universalnya disebut Wisdom (seperti yang diajarkan dalam Amsal Sulaiman 8:22-31 dan 8:34-35). Tradisi abadi dinamakan oleh penganut Yudaisme sebagai Kabbala.
Dalam tradisi Islam, agama abadi disebut Fithrah (Surah XXX:30), yang mengilhami beberapa Sufi-filosof dari Al-Suhrawardi hingga Ibn ‘Arabi dan Ibn Miskawayh untuk mengkonseptualisasi ‘kebijaksanaan primordial’ (al-hikmah              al-‘atiqah), ‘kebijaksanaan abadi’ (al-hikmah al-khalidah), dan ‘agama abadi’ (al-din al-khalidah, javidan khirad). Di era Skolastik, umat Kristiani-Barat meyakini apa yang dinamakan ‘hukum primordial’ (lex primordialis), seperti yang dimisalkan dalam tulisan-tulisan St. Tertullian, khususnya dalam bukunya An Answer to the Jews. St. Augustine, St. Bonaventura, dan St. Thomas Aquinas semuanya pernah membahas tentang ‘hukum abadi’ ini.
Di era Renaisans Barat, Giovanni Pico Della Mirandola (1463-1494) menekankan ide kontinuitas kebijaksanaan abadi yang secara esensial adalah satu semata-mata di dalam berbagai peradaban dunia dan periode sejarah yang berbeda-beda. Terakhir, di era Barat-Modern, konsep prinsip abadi menggema kembali dalam ide Perennial Philosophy yang dikembangkan oleh Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) dan Aldous Huxley (1894-1963), ide ‘the way of the saints of any religion’ yang dikembangkan oleh Walter Terence Stace (1886-1967) dan Thomas Stearns Eliot (1888-1965), ide Primordial Tradition yang dikembangkan oleh René Guénon (1886-1951), ide Philosophia Perennis yang dikembangkan oleh Ananda K. Coomaraswamy (1877-1947), ide Sophia Perennis yang dikembangkan oleh Seyyed Hossein Nasr, dan ide Religio Perennis yang dikembangkan oleh Frithjof Schuon (1907-1998).
Di Indonesia, ide kebijaksanaan abadi terdapat dalam tradisi Adat. Dalam tradisi Melayu-Riau dan Melayu-Minang, ide perenialitas ditemukan dalam ide tradisi abadi yang disebut Adat Sebenar Adat (oleh orang Riau) dan Adat Babuhul Mati (oleh orang Minang). Adat Babuhul Mati ini, menurut orang Minang, ‘…tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan’. Keabadian Adat juga dianut orang Bugis, sehingga ‘rusak taro datuk, tenrusak taro ade’’ (batal pendapat Raja, tidak batal hukum Adat). Adat tidak mengalami dekadensi yang disebabkan oleh perkembangan historis yang kontingen, sehingga orang Melayu mengatakan ‘Adat lama, pusaka usang’ (Adat tak pernah usang, pusaka usang).
Karena memahami Adat sebagai hukum abadi yang tak berubah-ubah, maka orang Melayu memahami segala sesuatu memiliki ‘adat’nya sendiri-sendiri; memiliki aturan kosmik sendiri-sendiri yang tak boleh dilanggar, karena jika dilanggar, maka Kosmos akan berubah jadi Khaos. Misalnya, sudah merupakan fitrahnya teluk bahwa ia menjadi timbunan kapal, sehingga sudah menjadi ‘adat’nya bahwa teluk jadi tempat menimbun kapal. Demikian pula ‘adat-adat’ atau ‘aturan-aturan abadi’ yang lain:
Adat teluk timbunan kapal
Adat gunung tempatan kabut
Adat periuk bergerak, adat lesung berdedak
Adat muda menanggung rindu, adat tua menahan ragam
Adat hidup tolong menolong
Adat dunia balas-membalas, syariat palu memalu
Adat rimba, siapa berani ditaati
Adat negeri memagar negeri, adat kampung memagar kampung

            Orang Minang menyebut aturan Adat yang abadi sebagai Alua (Alur Alam), seperti yang diungkap dalam peribahasa mereka:
Kamanakan barajo kapado mamak,
Mamak barajo kapado tungganai,
Tungganai barajo kapado panghulu,
Panghulu barajo kapado mufakat,
Mufakat barajo kapado alua jo patuik,
Alua jo patuik barajo kapado bana,
Bana bardiri dengan sandirinyo.

(Kemenakan dipimpin oleh mamak,
mamak dipimpin oleh tungganai,
tungganai dipimpin oleh penghulu,
penghulu dipimpin oleh mufakat,
mufakat dipimpin oleh alur alam dan kepatutan,
alur alam dan kepatutan dipimpin oleh Kebenaran,
Kebenaran berdiri sendiri.)
 
Untuk menjamin keabadian Adat atau keabadian aturan kosmik, biasanya orang Adat menciptakan lembaga sosial yang dapat memberi sanksi sosial bila seorang penganut Adat melanggar Adatnya. Misalnya, dengan cara menciptakan kata-kata ejekan. Orang Melayu mengejek mereka yang melanggar aturan abadi Adat sebagai orang yang ‘tidak beradat’, sementara orang yang mengikuti Adat disebut sebagai orang yang ‘tahu adat dengan lembaga’; orang Toraja memberinya julukan ‘londong unnea toninna’ (‘ayam jantan yang melawan plasentanya’). Orang yang hendak menerapkan aturannya sendiri sehingga melepas ikatannya pada aturan Adat yang abadi, diejek orang Toraja sebagai orang yang ‘memisahkan mata putih dan mata hitam’ (‘pasisarak mata mabusa anna mata malotong’), sementara orang yang melanggar aturan Adat disebut dengan ‘orang menginjak aturan dihitamkan’ (‘to unluluq panda dibolong’). Orang Jawa mengejek orang yang melawan aturan Adat sebagai ‘bocah ora Jowo’ (‘anak yang tidak lagi Jawa’). Ia tidak lagi diakui sebagai orang Jawa, karena ia telah ‘membangkang dan tak mau taat’ (‘mbeguguk nguthawaton’).
Keabadian aturan Adat bukan hanya dijamin oleh tersedianya kata-kata ejekan bagi pelanggarnya, tapi juga oleh tersedianya peribahasa, petuah dan doa. Misalnya, orang Bugis memiliki peribahasa yang mengajak untuk mematuhi aturan Adat, seperti ‘mengikuti hukum yang ada, mengikuti pengalaman, melihat perbuatan yang lalu’ (‘mappattarette ri wari’e, muangnguru salompe mattanga rigau pura-laloe’). Agar orang senantiasa mengingat adanya aturan kosmik abadi, orang Bugis menasehati anaknya dengan peribahasa ‘landaskan pada hukum, sandarkan pada syari’at, melihat pada perbuatan yang berkata’ (‘pattupui riadae, pasanrei risyarae, muattangnga rirapangnge’). Suku Tolaki memiliki doa-doa yang kerap dibaca bila ada pelanggaran aturan Adat, agar bencana tidak menimpa Kosmos sehingga memunculkan Khaos. Doanya begini:
Oh… oh… oh…
Imbekoto inggoo
Guruno owuta
Sangiano wonua
Weweungano wuta
Karamano wonua
Tapuasano wuta
Langgaino wonua
La limbai owuta
La limbai oleo
La limbai ohina
La limbai roroma
Kuonggo mosehe sinala
Molisa sinirei
Kenola sinala
Kenola sinirei.[59]

(O…o…o…
Di mana kau gerangan
Gurunya bumi
Dewanya negeri
Saktinya bumi
Keramatnya negeri
Penguasa bumi
Laki-lakinya negeri
Yang selalu mengelilingi bumi
Yang menguasai matahari
Yang menguasai siang
Yang menguasai malam
Ku akan mensucikan pelanggaran Adat
Menghilangkan dosa
Jika ada yang bersalah
Jika ada yang berdosa.)            

            Sejarah yang berubah membuat suku-suku asli itu khawatir akan berubahnya Adat dan berubahnya sikap orang terhadap Adat. Mereka amat sadar bahwa manusia, di samping memiliki potensi memelihara aturan abadi, ia juga memiliki potensi merusaknya. Karena itu, orang Adat sering memperingatkan anak-anak mereka akan bahaya perubahan sikap dan perubahan pandangan itu. Suku Jawa, misalnya, sering mengingatkan anak-anak mereka dengan kata-kata bijak ‘ojo dhemen anyar’ (‘jangan suka hal-hal yang baru’). Mereka juga khawatir jika rupanya para pemuka Adatlah yang justru berubah; ia melanggar Adat yang telah lama ia anut hanya karena terjerat jeratan duniawi, sehingga mereka mengejek orang semacam itu dengan ‘palang mangan tandur’ (‘pagar malah memakan tanaman’). Orang Aceh secara retoris bertanya pada anak-anak mereka jika aturan kosmik Adat telah ditinggalkan orang, sehingga jadi aturan yang mati: ‘matee aneuk meupat jeurat, matee adat pat tamita?’ (‘mati anak ada mayatnya, tapi kalau mati adat, mau dicari kemana?’). Orang Melayu memperingatkan anak-anak mereka akan datangnya zaman Khaos jika aturan Adat tak lagi dipatuhi: ‘kalau hidup tiada beradat, di situlah tanda Kiamat’. Tanda bahwa Khaos telah terjadi dijelaskan oleh suku Jawa, yakni pada saat ‘pasar ilang kumandhange’ (‘pasar hilang suara riuhnya’), ‘wadon ilang wadone’ (‘perempuan hilang rasa malunya’), dan ‘kali ilang kedhunge’ (‘sungai hilang mata airnya’). Khaos terjadi pada saat keniscayaan Adat telah diingkari.

H. Aspek Religio Perennis
            Dalam bagian ini, akan digunakan pendekatan Religio Perennis yang digagas oleh Frithjof Schuon. Schuon menegaskan bahwa setiap agama niscaya memiliki 2 modus interaksi antara Tuhan dan manusia: (1) modus ‘pemisahan’ dan (2) modus ‘penyatuan’. Schuon menyimbolkan dua modus itu dengan dua peristiwa dalam tradisi Islam: ‘Malam al-Qadr dan ‘Malam al-Mi’raj. ‘Malam al-Qadr adalah terpisahnya manusia dari Tuhan, sedangkan ‘Malam al-Mi’raj adalah bersatunya kembali manusia dengan Tuhan. ‘Pemisahan’ itu terjadi supaya ‘penyatuan’ terjadi. Seluruh agama pasti memiliki dua elemen itu, dan karena perenialitas dua elemen tersebut dalam semua agama, maka Schuon menyebut semua agama yang mengandung 2 elemen itu dengan sebutan ‘Religio Perennis’ (‘Agama Abadi’).[60]
            ‘Pemisahan’ (discernment) dilakukan oleh intelek manusia, sedangkan ‘penyatuan’ (attachment) dilakukan oleh cinta manusia. Intelek manusia cenderung membuat analisa-analisa, membuat pembedaan-pembedaan. Misalnya, menurut intelek, ‘Tuhan’ tentu saja bukanlah ‘manusia’; Tuhan memiliki karakter dan hakikat berbeda daripada manusia. Dari mata air intelek mengalirlah samudra teologi dan filsafat agama. Tapi, cinta manusia cenderung melebur segala perbedaan, menyatukan segala ketidaksamaan. Misalnya, menurut cinta, manusia bisa menemui Tuhan, menyapa-Nya, ‘menikahi-Nya’, bersatu dengan-Nya. Dari mata air cinta mengalirlah samudra mistisisme dan spiritualisme. Religio Perennis memeluk teologi dan mistisisme sekaligus dalam satu tarikan nafas.
            Elemen ‘pemisahan’ dan elemen ‘penyatuan’ dikandung agama-agama Adat di Indonesia. Dari benda-benda budaya materil dan benda-benda budaya idiil yang dimiliki suku-suku pribumi, ditemukan aspek ‘pemisahan’ dan aspek ‘penyatuan’. Aspek ‘pemisahan’ bekerja pada saat orang Adat menggunakan akalnya untuk memahami Tuhan, sedangkan aspek ‘penyatuan’ bekerja di saat orang Adat menggunakan hasrat cintanya untuk menemui Tuhan. Dengan kata lain, segala produk akal adalah ‘pemisahan’, sedangkan segala produk cinta adalah ‘penyatuan’. Salah satu bukti orang Adat menggunakan daya akal analitiknya untuk mendeskripsikan hubungan Tuhan dan manusia adalah digubahnya nyanyian mitologi asal-mula (myth of origin). Lewat mitos kosmologis tersebut, orang Adat menjelaskan keterpisahan manusia dari Tuhan. Perhatikan mitologi asal-mula semesta yang dipunyai suku Batak berikut:
Pada mulanya tidak ada apa-apa. Di atas sana, di suatu ruang yang amat jauh, yang tidak nampak oleh penglihatan dan tidak disangka-sangka manusia, duduklah Debata, ‘Mula jadi na bolon’, sang dewa pencipta. Pada mulanya tidak ada apa-apa di bawah tempat Debata, ‘Mula jadi na bolon’, duduk itu. Yang ada hanya kehampaan yang sangat, yang diliputi oleh lautan luas dan alam arwah (netherworld), hanya ada kehitaman yang pekat, kesunyian yang amat senyap, tidak ada suara manusia, tidak ada suara binatang, apalagi suara desir angin yang berhembus. Ombak di lautan bergulung-gulung tanpa suara; tidak ada pantai yang dapat mencegah gulungannya. Hanya ada satu makhluk hidup yang diperkenankan untuk menemani kesunyian sang keabadian yang Maha Kuasa—manuk-manuk, yaitu ayam berbulu biru. Manuk-manuk ini, sang isteri dewa, menetaskan tiga telur dan dari ketiganya lahirlah tiga dewa: Batara Guru, Soripada, dan Mangala Bulan. Batara Guru pun menciptakan dunia dan manusia…[61]

            Begitu Batara Guru menciptakan manusia, sebagaimana diceritakan dalam mitos itu, maka sejak itu pula orang Batak berpisah dari-Nya: itulah aspek ‘pemisahan’. Tapi orang Batak juga memiliki Tortor Tunggal Penaluan, tarian ritual yang ditarikan dengan hasrat cinta membara agar dapat berjumpa kembali dengan Batara Guru—Tuhan yang telah terpisah darinya di era penciptaan alam semesta; itulah aspek ‘penyatuan’.
Dalam suku Asmat di Papua, aspek ‘pemisahan’ dan aspek ‘penyatuan’ berkumpul dalam satu tindakan: memahat atau mengukir Mbis. Pada saat orang Asmat mengukir Mbis, maka wajah leluhur yang terukir dalam ukiran kayu merupakan ‘pemisahan’; terpisahnya si pengukir dari leluhur Tuhannya. Tapi di saat yang bersamaan, ketika si pengukir menggerakkan jari-jarinya dan alat ukirnya, disertai dengan rasa keramat yang memenuhi dada dan rasa rindu tuk menyapa si leluhur yang amat dirinduinya, maka itu adalah ‘penyatuan’; rasa bersatunya si pengukir dengan leluhur yang diukirnya.
Manusia primitif yang hidup di Babakan Bali di abad 35 SM membuat genderang perunggu (nekara) yang dilukisi dengan gambar bangau Cina. Bangau Cina adalah simbol Yang Ilahi; sesuatu yang terbang di Langit, berasal dari Langit, tempat dimana Yang Ilahi berada. [62] Ini adalah ‘pemisahan’; terpisahnya manusia primitif Bali dari Yang Ilahi. Tapi, begitu genderang itu ditabuh dan dipukul dengan penuh rasa kesakralan pada saat mereka melakukan upacara ‘minta hujan’, maka simbol ‘bangau Cina’ itu sekaligus berfungsi sebagai sarana menemui Tuhan. Inilah ‘penyatuan’; bersatunya kembali manusia Bali primitif dengan Tuhannya. Sedangkan orang Bali di era Hindu melakukan aktifitas nyastra, yaitu menelaah kitab-kitab sastra suci mereka: Weda, Agama, Wariga, Itihasa, Babad, dan Tantri.[63] Dari kitab-kitab sastra suci itu, mereka belajar bagaimana kasta-kasta manusia lahir dari tubuh Sang Dewa. Ini adalah ‘pemisahan’; terpisahnya si penyastra yang manusia dari Dewa. Tapi, begitu mereka menari Tari Kecak dengan luapan ekstase cinta serta rindu bergairah tuk menyatu dengan Sang Dewa, maka itulah ‘penyatuan’; bersatunya kembali manusia Bali dengan Dewa. Demikianlah dimensi-dimensi Religio Perennis dalam Adat suku-suku pribumi. 

Wallahu a’lam bish-shawab.


[1] Rachmat Subagya (JWM. Bakker), Agama Asli Indonesia, Jakarta, Penerbit Sinar Harapan & Yayasan Cipta Caraka, 1981, cet-2, h. 29
[2] Ferry Hidayat, “Adat”, Online Encyclopedia of Indonesian Philosophy, http: www.indonesianphilosophy.co.nr
[3] Penjelasan tentang konsep adat sebagai sebuah peradaban, yang lebih luas lingkupnya daripada sekadar lingkup hukum yang dijelaskan Van Vollenhoven, dapat dibaca dalam Ferry Hidayat, “Adat”, dalam Online Encyclopedia of Indonesian Philosophy.
[4] Pihak yang paling akut membenci adat adalah religionis; kaum agamawan dari agama-agama besar seperti Islam, Katolik, dan Kristen. Lalu, kaum modernis yang anti-adat. Ulasan yang cukup panjang mengenai pihak-pihak yang membenci adat, silahkan baca Ferry Hidayat, Membangun Antropologi Adat.
[5] Adat berkarakter spiritual, maka hanya metode yang berkarakter spirituallah yang paling berhasil memahami adat. Metode profan yang dihasilkan struktur sains Barat Modern takkan mampu menembus kedalaman adat. Contoh kegagalan metode profan dalam memahami spiritualisme adat dapat dibaca dalam Ferry Hidayat, Antropologi Sakral dan Antropologi Profan.
[6] Aldous Huxley, The Perennial Philosophy, hal 1
[7] Ini hanya sekadar memasukkan Filsafat Perenial dalam skema historis sejarah Filsafat Barat. Isi dan intisari dari Filsafat Perenial sendiri telah ada sebelum Filsafat Perenial dikembangkan di Dunia Barat oleh Rene Guenon dan Ananda Coomaraswamy.  
[8] Al-Quran IV:163
[9] Al-Quran XXXX:78         
[10] Dalam tradisi Islam, ini disebut dengan Al-Furqan (Al-Quran II:185). Al-Quran membimbing kaum Muslim tuk melakukan aktivitas al-furqan—membedakan mana yang Maya dan mana yang Brahman, mana kebenaran dan mana kepalsuan, mana ‘Cahaya’ dan mana ‘Kegelapan’, sehingga atas fungsi tersebut Al-Quran—nama kitab suci Muslim sedunia—pun dapat dipanggil dengan nama lain, yaitu Al-Furqan, yang berarti “Sang Pembeda”. Orang yang mampu membedakan dua hal tersebut disebut Al-Quran dengan sebutan yang sama, yaitu ‘orang yang furqan (Al-Quran VIII:69).
[11] Metode yang digunakan kaum agamawan-buta dan kaum ilmuwan sekuler-modern hanya berhasil memahami adat sebagai kekafiran, kekeliruan, keterbelakangan, dan kebodohan. Itu disebabkan karena mereka meneropong adat lewat teropong paham mereka sendiri; mereka memberi penghakiman atas adat secara subyektif, bahkan partisan. Bagaimana reaksi mereka terhadap adat dapat dibaca dalam Ferry Hidayat, “Masa Kini yang Menjajah Masa Lalu”, dalam Majalah INFO SOCIETA; atau Ferry Hidayat, Terminasi atas Adat
[12] Semua adat Nusantara diambil intisari spiritualnya dengan menggunakan metode perenial. Adat-adat yang telah diambil intisarinya itu kemudian disebut dengan ‘Adat Perennis’. Tentang doktrin the transcendent unity of religions, baca Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of Religions, sedangkan tentang pengertian Adat Perennis, silahkan baca Ferry Hidayat,  
[13] Al-Quran XXII:6
[14] Al-Quran XXII:37
[15] N. Graafland, De Minahasa: Haar verleden en haar tegenwoordige toestand, terj. Indonesia oleh Lucy R. Montolalu, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991), h. 119
[16] Ibid., h. 344
[17] James J. Fox, Harvest of the Palm: Ecological Change in Eastern Indonesia, terjemahan Indonesia oleh Tim Sinar Harapan, (Jakarta: Sinar Harapan, 1995), h. 255  
[18] Sitor Situmorang, Sitor Situmorang Seorang Sastrawan 45 Penyair Danau Toba, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1981), h. 25  
[19] Charles R. Watson, ‘The Moslem of Sumatra as A Type’, dalam The Moslem World, Vol.III, No.2, April 1913, hh. 159-161 
[20] Ignatius Egi Dadu, Adat Istiadat Orang Rembong di Flores Barat, diedit oleh Roger Tol, (Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan, 1997), h. 53
[21] Frithjof Schuon, The Transfiguration of Man (Transfigurasi Manusia), Yogyakarta : Penerbit Qalam, 2002, hal. 11-12
[22] Yang dimaksud ‘kultur’ di sini adalah semua aktifitas tangan manusia untuk mengolah alam. Tangan ‘kotor’ manusia yang ‘mengotori’ alam.
[23] Penyebutan ‘nabi baru’ dan ‘nabi lama’ sungguh berarti menempatkan agama dalam kerangka historis-modernistik. Kita sungguh harus berhati-hati dalam kasus ini agar tidak terjebak dalam kesalahan pemahaman. Kebenaran Ilahi sungguh tidak terbatas waktu dan ruang historis dan Kebenaran Ilahi yang disalurkan melalui nabi-nabi tidak terbatas waktu dan ruang historis pula. Oleh sebab itu, tak ada ‘nabi lama’ dan ‘nabi baru’, sebagaimana tak ada pula ‘kebenaran lama’ dan ‘kebenaran baru’; juga tak ada ‘kitab suci lama’ dan ‘kitab suci baru’, sebagaimana tak ada pula ‘Tuhan lama’ dan ‘Tuhan baru’. Kebaruan dan keusangan tidak mengenai kebenaran religius. Agama selamanya benar kapanpun dan dimana pun; tidak benar secara baru dan tidak benar secara lama.     
[24] JWM. Bakker, Agama Asli Indonesia, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1987, h. 38
[25] Aldous Huxley, Foreword to the Song of God, Bhagavad-Gtta, The New American Library, Mentor Religious Classic, 1960, hal. 13
[26] E.E. Evans-Pritchard, Theories of Primitive Religion, h. 53
[27] Ibid., h. 52
[28] Ibid., h. 81
[29] Wiyoso Yudoseputra, Seni Pahat Irian Jaya, (Jakarta: Dirjen Depdikbud, 1980/1981), h.26
[30] Edi Sedyawati, Pertumbuhan Seni Pertunjukan, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1981), hh. 61-63
[31] Frithjof Schuon, ‘Religio Perennis’, dalam situs www.religioperennis.org
[32] William Stoddart, ‘Titus Burckhardt and the Perennialist School’, dalam situs www.religioperennis.org
[33] Frithjof Schuon, Spiritual Perspectives and Human Facts, (London: Perennial Books, 1987), h.31
[34] YB. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1982), h. 11
[35] Dick Hartoko, Manusia dan Seni, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1986), cet-2, h. 16
[36] Wiyoso Yudoseputra, Seni Pahat Irian Jaya, h. 59
[37] Ibid., h. 37
[38] Jakob Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002), hh. 116-119
[39] Ibid., h. 120
[40] Dick Hartoko, Manusia dan Seni, hh. 78-80
[41] Hamka, Perkembangan Kebatinan di Indonesia, h. 43
[42] J. Larope, IPS Sejarah, h. 26.
[43] Jakob Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia, hh. 329-340
[44] Tan Malaka, Aksi Massa (Massa Actie), (Jakarta: CEDI & Aliansi Press, 2000), hh. 171-172.
[45] M. Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta: UI Press & Tintamas, 1986), cet-3, hh. 1-2
[46] Sekneg RI (ed.), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) & Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995), hh. 19-20
[47] Ibid., h. 11-12
[48] Ibid., hh. 19-20
[49] Susanne Knauth Langer, Philosophy in A New Key: A Study in the Symbolism of Reason, Rite, and Art, (New York: The New American Library of World Literature, 1961), cet-11, h. 45
[50] Lembaga Adat Melayu-Riau, “Adat-Istiadat dan Budaya Melayu: Kondisi, Potensi dan Prospektif sebagai Jati Diri Orang Melayu Riau menuju Masyarakat Madani”, hh. 130-131
[51] Ibid., h. 130
[52] Ibid., h. 131
[53] Mursal Esten, Minangkabau: Tradisi dan Perubahan, (Padang: Angkasa Raya, 1993), hh. 21-23
[54] Ibid., h. 23
[55] Perennialisme atau ‘Ajaran Abadi’ tidak pernah dibangun, diciptakan, atau dibuat oleh seorang pun. Hanya Yang Ilahilah yang menciptakannya dan menyebarkannya kepada Utusan-UtusanNya atau Komunikatornya, yang disebut dengan banyak sebutan seperti Rasul, Nabi, Buddha, Boddhisatva, Sannyasin, Bikkhu, Ulama, Sufi, Spiritualist, Mistikus, Master, Leluhur, Nenek Moyang, Dukun, Cenayang, Orang Pintar, Paranormal, Filsuf Perennialist, dan lain-lain. Yang dimaksud dengan Perennialisme di sini ialah aliran filsafat di Barat yang menggali kembali dan merevitalisasi ‘Ajaran Abadi’ tersebut, yang dipelopori oleh René Guénon (1886-1951), Frithjof Schuon (1907-1998), Ananda K. Coomaraswamy (1877-1947), dan lain-lain. Merekalah yang di Barat menyadarkan kembali akan kebenaran agama di hadapan Modernisme yang anti-agama.  
[56] James S. Cutsinger, An Open Letter on Tradition, dari situs  http://www.religioperennis.org
[57] Frithjof Schuon, the Transfiguration of Man, terj. Indonesia oleh Fakhruddin Faiz, (Yogyakarta: Qalam, 2002), hh. 36-37
[58] Soewito Santoso, Sutasoma: A Study in Old Javanese Wajrayana, h. 578

[59] Abdurrauf Tarimana, Kebudayaan Tolaki, Jakarta, Penerbit Balai Pustaka, 1993, cet-2, hh. 388-389
[60] Frithjof Schuon, Religio Perennis, artikel dari situs www.religioperennis.org 
[61] Mochtar Lubis, Indonesia: Land under the Rainbow, Oxford, New York, Singapore, Oxford University Press, 1990, h. xiii
[62] Jakob Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia, Yogyakarta, Penerbit Qalam, 2002, hh. 116-119
[63] Ida Bagus Yudha, ‘Pengetahuan, Tradisi Nyastra dan Moral’, dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan ULUMUL QUR`AN, Vol. 1, No. 4, 1990/1410 H, h. 22 

0 komentar:

Posting Komentar

Kami mengucapkan terima kasih atas setiap komentar yang Anda berikan.

 

Pengikut

© 2009 Free Blogger Template powered by Blogger.com | Designed by Amatullah |Template Design