. Perenialisme

INDEKS

Kamis, 29 Juli 2010

Perenialisme

Oleh Ferry Hidayat

Perenialisme, atau sering pula disebut Tradisionalisme, adalah kecenderungan (tren) akademis yang muncul di Barat awal abad 20 M dan kian mendapatkan momentum di abad ini. Penamaannya berasal dari tulisan Augostino Steuco (1497-1548) berjudul De perenni philosophia libri X (1540), sedangkan isi, bentuk dan sistem mapannya secara historis dibangun oleh René Guénon (1886-1951), Ananda Coomaraswamy (1877-1947), Frithjof Schuon (1907-1998), serta Aldous Leonard Huxley (1894-1963). Semua penulis tersebut memanggilnya dengan nama-nama berbeda seperti Sophia Perennis (Kebijaksanaan Abadi), Religio Perennis (Agama Abadi),Philosophia Perennis (Cinta Kebijaksanaan Abadi), tapi semua nama itu dapat dirangkum dalam satu sebutan: Perenialisme.



Kaum perennialist percaya, bahwa apa yang mereka kembangkan bukanlah hal baru; mereka hanya mempopulerkan kembali ‘ajaran kuno’, ‘tradisi kuno’, atau ‘agama kuno’ yang diajarkan ‘nabi-nabi’ atau ‘orang-orang suci’ di zaman dan waktu dulu. Mereka mempopulerkannya kembali dengan bahasa modern untuk masyarakat modern yang telah mengalami desakralisasi, dereligisasi, detradisionalisasi, dan detribalisasi dalam segala aspek peradaban dan kulturnya. Mereka mempunyai misi suci untuk mengajak orang modern yang telah melupakan agama agar kembali memeluknya erat-erat. Kata Aldous Huxley:

More than twenty-five centuries have passed since that which has been called the Perennial Philosophy was first committed to writing; and in the course of those centuries it has found expression, now partial, now complete, now in this form, now in that, again and again. In Vedanta and Hebrew prophecy, in the Tao Teh King and the Platonic dialogues, in the Gospel according to St. John and Mahayana theology, in Plotinus and the Areopagite, among the Persian Sufis and the Christian mystics of the Middle Ages and the Renaissance--the Perennial Philosophy has spoken almost all the languages of Asia and Europe and has made use of the terminology and traditions of every one of the higher religions. But under all this confusion of tongues and myths, of local histories and particularist doctrines, there remains a Highest Common Factor, which is the Perennial Philosophy in what may be called its chemically pure state. This final purity can never, of course, be expressed by any verbal statement of the philosophy, however undogmatic that statement may be, however deliberately syncretistic. The very fact that it is set down at a certain time by a certain writer, using this or that language, automatically imposes a certain sociological and personal bias on the doctrines so formulated. It is only the act of contemplation when words and even personality are transcended, that the pure state of the Perennial Philosophy can actually be known. The records left by those who have known it in this way make it abundantly clear that all of them, whether Hindu, Buddhist, Hebrew, Taoist, Christian, or Mohammedan, were attempting to describe the same essentially indescribable Fact.
(artikel Aldous Huxley, The Perennial Philosophy)
Karakter umum pandangan perennialist adalah anti peradaban modernistik yang telah menjauh dari tradisi agama, yang terlalu mengedepankan logika dan rasio modernistik daripada sumber pengetahuan lainnya, dan terlalu materialistik. Barangkali karena alasan tersebut, banyak penulis yang memasukkan Perenialisme ke dalam kategori Pascamodernisme atau bahkan Neomedievalisme.  

Meskipun hampir tak bisa dibedakan tujuannya dari gerakan reformasi keagamaan atau gerakan revitalisasi keagamaan di belahan dunia mana pun, Perenialisme tentu saja memiliki perbedaan fundamental, khususnya dalam hal metode atau penghampirannya (approach) terhadap agama-agama. Gerakan reformasi keagamaan melakukan penyegaran ulang interpretasi keagamaan dalam agamanya sendiri tanpa kaitan dengan agama-agama lain; sedangkan Perenialisme melakukan penyegaran ulang interpretasi keagamaan atas semua agama yang ada. Gerakan reformasi keagamaan (kecuali, tentu saja, gerakan puritanistik) membebaskan diri dari interpretasi kuno tradisional dan mengadopsi sebagai gantinya interpretasi modernistik yang lebih rasional dan kontemporer-kontekstual; sedangkan Perenialisme mengajak orang untuk melepaskan diri dari interpretasi keagamaan modernistik semacam itu dan mengadopsi kembali interpretasi tradisional, ‘interpretasi para leluhur’. Ruh puritanistik dalam Perenialisme serupa dengan gerakan keagamaan puritanistik; dalam artian, bahwa baik Perenialisme maupun gerakan puritanistik mengajak orang kembali ke ‘kondisi murni’, kembali ke kebijaksanaan ‘para orangtua dulu’ dan menolak Modernisme Religius secara bersyarat: modernisasi keagamaan diperbolehkan jika hanya dalam segi simbolik, bukan dalam segi pemaknaan, apalagi doktrinal. 

Pembeda paling dasariah antara Perenialisme dan gerakan revitalisasi keagamaan adalah Perenialisme menerapkan pendekatan spiritualisme paling ketat atas segala fenomena material. Perenialisme menolak mentah-mentah segala pendekatan materialisme terhadap segala yang ruhaniah; ia merevitalisasi kembali spiritualisme yang diajarkan agama-agama dunia dan tradisi primordial suku-suku pribumi di seluruh dunia.

Seperti halnya Ilmu Antropologi dan Ilmu Perbandingan Agama (Comparative Studies of Religion), Perenialisme mengkaji tradisi-tradisi keagamaan suku primitif di banyak belahan dunia. Hanya saja, Perenialisme menggunakan metode studi yang sangat berbeda dari kedua disiplin ilmu tersebut. Perenialisme menggunakan metode spiritualistik, sedangkan kedua ilmu tadi menggunakan metode positivistik, empiris, fenomenologis, dan sosiologis. Salah satu contoh besarnya apresiasi Perenialisme terhadap tradisi-tradisi keagamaan suku primitif adalah Perenialisme memahami itu semua sebagai ‘tradisi primordial’ (primordial tradition), tradisi abadi yang terus berlaku dari dulu hingga sekarang yang kedudukannya tidak kurang sedikit pun dari kedudukan agama-agama besar seperti Kristianitas, Islam, Yahudi, Buddha, Hindu, dan lain-lain, karena semua agama dipercaya memiliki akar yang sama, yaitu Tuhan Yang Esa.

Seperti Pluralisme Religius yang marak berkembang dewasa ini, Perenialisme menolak Eksklusifisme Religius—dogma bahwa “ di luar agamaku, tidak ada keselamatan” atau “di luar gereja, tidak ada keselamatan” (extra ecclesiam nulla salus). Bedanya, Perenialisme lebih memahami fenomena pluralisme keagamaan dari sudut pandang spiritual, sementara kaum pluralist lebih memahaminya dari sudut pandang fenomenologis, filosofis, dan historis.

Karena berpendekatan spiritualistik, sikap Perenialisme terhadap agama-agama adalah sintesis, bukannya tesis-antitesis; menyatukan, bukannya mencerai-beraikan; menemukan persamaan-persamaan, bukannya membanding-bandingkan; langsung masuk ke dalam ruh, bukannya terpaku pada keragaman ‘kulit luar’ materi. Tetapi, walaupun sangat apresiatif terhadap hakikat terdalam agama, Perenialisme tidak pernah sedikit pun menafikan kemutlakan bentuk-bentuk luar agama; tampakan luar agama adalah jalan atau jembatan yang mutlak benar tuk menuju hakikat abadi agama. Kaum perennialist memandang tampilan luar agama ‘… as an instrumental and ideal sine qua non, as a guarantee of spiritual authenticity and a virtually infinite source of grace.’ Lagipula, bagaimana mungkin bisa masuk ke jantung tanpa melalui kulit atau mulut?

Perenialisme seringkali disalahpahami sebagai sinkretisme, sementara penganutnya sendiri memahaminya sebagai sintesisme. Ada perbedaan besar antara sinkretisme dan sintesisme. Sinkretisme, seperti yang dijelaskan oleh René Guénon, adalah:

… consists in assembling from the outside a number of more or less incongruous elements which, when regarded, can never be truly unified; in short, it is a kind of eclecticism, with all the fragmentariness and incoherence that this always implies. Syncretism, then, is something purely outward and superficial; the elements taken from every quarter and put together in this way can never amount to anything more than borrowings that are incapable of being effectively integrated into a doctrine worthy of the name.

Synthesis, on the other hand, is carried out essentially from within; by this we mean that it properly consists in envisaging things in the unity of their principle, in seeing how they are derived from and dependent on that principle, and thus uniting them, or rather becoming aware of their real unity, by virtue of a wholly inward bond, inherent in what is most profound in their nature.
(René Guénon, The Symbolism of the Cross, 1975, hal.x)

Di Indonesia, Perenialisme memanifestasi dalam ajaran Adat, tepatnya ‘Adat Babuhul Mati’, yang dilanjutkan oleh tradisi esoterisisme agama-agama besar seperti Hindu, Buddha, Tantrayana, Tasawuf Islam, Katolik, Kong Hu Cu, Protestan, Aliran Kepercayaan, anggotaThe Theosophical Society, dan kaum perennialist.

BIBLIOGRAFI
Pengantar umum mengenai Perenialisme dapat dibaca dalam artikel Renaud Fabbri, “Introduction to the Perennialist School”; juga tulisan Patricia Reynaud, “On the Fringe of Official Orientalist Circles, the Case of the Perennialist School”; juga, buku karangan Aldous Huxley, The Perennial Philosophy (New York, 1944); dan buku Frithjof Schuon berjudul Islam and Perennial Philosophy (Bloomington, 1976).

Sikap kaum perennialist terhadap peradaban Barat-Modern atau Modernisasi ala Barat dapat dibaca dalam buku René Guénon berjudul The Crisis of the Modern World (La crise du monde moderne, 1927) dan The Reign of Quantity & the Signs of the Times(Le règne de la quantité et les signes des temps, 1945); juga buku Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man(London, 1981) dan Traditional Islam in the Modern World (London, 1981); juga simak kritik perenialistik atas teori evolusi Charles Darwin dalam karya editorial Osman Bakar, Critique of Evolutionary Theory (Malaysia, 1987); dalam konteks Indonesia, kritik atas Modernisme dapat dibaca dalam beberapa tulisan Ferry Hidayat, seperti “Tentang Cultural Cleansing”, “Modernisme dalam Sejarah Filsafat Indonesia”, dan “Return to ‘the Cosmic Adat’ to Solve ‘the Chaotic Present’”; kritik perenialis atas pendekatan modernistik dalam memahami spiritualisme suku pribumi (Adat) dapat dibaca dalam karangan Ferry Hidayat, “Pembelaan Perenialisme untuk Adat” 

Perbedaan antara sinkretisme dan sintesisme yang dianut Perenialisme dapat dibaca dalam karangan René Guénon, The Symbolism of the Cross (Le symbolisme de la croix, 1931); juga dalam karangan Ferry Hidayat, “Adat: Sophia Perennis Suku-Suku Asli Indonesia”.   

Manifestasi Perenialisme dalam Adat dapat dibaca dalam tulisan Ferry Hidayat, “Adat: Sophia Perennis Suku-Suku Asli Indonesia”.

0 komentar:

Posting Komentar

Kami mengucapkan terima kasih atas setiap komentar yang Anda berikan.

 

Pengikut

© 2009 Free Blogger Template powered by Blogger.com | Designed by Amatullah |Template Design