. Adat Babuhul Mati

INDEKS

Kamis, 29 Juli 2010

Adat Babuhul Mati

Oleh Ferry Hidayat

Adat Babuhul Mati, yang diindonesiakan menjadi ‘Adat yang Disimpul Mati’, adalah sebuah istilah suku Melayu-Minang yang digunakan untuk menyebut segala adat atau ‘hukum kosmik’ yang tidak pernah mengalami perubahan, bersifat abadi, dan berlaku di segala zaman dan tempat. Karena itu, adat jenis ini ‘disimpul dengan simpul mati’; sebagaimana benda yang diikat tali dengan simpul mati: susah diubah, sulit diurai, tak bisa dilepas dengan mudah. Orang Melayu-Riau menamakannya ‘Adat Sebenar Adat’, yakni adat yang sejati. ‘Adat Babuhul Mati’ atau ‘Adat Sebenar Adat’ ini diungkap dalam banyak peribahasa, di antaranya ialah:



Adat tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan (suku Melayu)

Adat dipakai baru, pakaian dipakai usang (suku Melayu)

Rusak taro datuk, tenrusak taro ade’ (suku Bugis)
Adat lama, pusaka usang (suku Melayu)
Hidup dikandung adat, mati dikandung tanah (suku Melayu)
Adat sepanjang jalan, cupak sepanjang betung (suku Melayu)
Adat berwaris kepada nabi, berkhalifah kepada Adam
dan berinduk kepada ulama (suku Melayu)



‘Adat Babuhul Mati’ tidak boleh berubah dan diubah, karena ia berasal dari Ilahi yang telah mengutus semua nabi-nabiNya untuk mengajarkannya kepada manusia. Adat bermula dari nabi Adam yang diteruskan keberlakuannya hingga kepada generasi sekarang. Karena berasal dari nabi Adam dan tidak boleh diubah, maka adat merupakan mata-rantai risalah profetik yang sengaja dilestarikan ketersambungannya hingga akhir zaman. 

Keabadian ‘Adat Babuhul Mati’ identik dengan keabadian Sanatana Dharma dalam tradisi Hindu; Tao dalam tradisi Taoisme; The Eternal Buddha-nature dalam tradisi Buddhisme Mahayana; Dhamma dalam tradisi Budddhisme;Kabbala dalam tradisi Yudaisme; Fithrah , Al-hikmah al-‘atiqah, Al-hikmah al-khalidah, dan Al-din al-khalidah dalam tradisi Filsafat Islam Al-Suhrawardi hingga Ibn ‘Arabi dan Ibn Miskawaih; Lex primordialis dalam tulisan-tulisan St. Tertullian, St. Augustine, St. Bonaventura, dan St. Thomas Aquinas; Perennial Philosophy dalam filsafat Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) dan Aldous Huxley (1894-1963); The Way of the Saints of Any Religion dalam karya Walter Terence Stace (1886-1967) dan Thomas Stearns Eliot (1888-1965); Primordial Tradition dalam karya René Guénon (1886-1951); Philosophia Perennis dalam tulisan-tulisan Ananda K. Coomaraswamy (1877-1947); Sophia Perennis dalam karya Seyyed Hossein Nasr; maupun keabadian Religio Perennis dalam Perenialisme Frithjof Schuon (1907-1998).



Kebalikan dari ‘Adat Babuhul Mati’ adalah ‘Adat Babuhul Sentak’, yaitu ‘Adat yang Disimpul dengan Simpul Longgar’. Karena disimpul dengan simpul tali yang longgar, maka adat jenis ini dapat diubah-ubah, disesuaikan dengan kebutuhan lokal, dan diperbarui demi mengikuti perkembangan zaman (lihat ADAT BABUHUL SENTAK). 


BIBLIOGRAFI



Pembagian adat menjadi ‘Adat Babuhul Mati’ dan ‘Adat Babuhul Sentak’ oleh suku Melayu Minang, dapat dibaca dalam karangan Prof. Dr. Mursal Esten, Minangkabau: Tradisi dan Perubahan (Padang, 1993); sedangkan pembagian adat menjadi ‘Adat Sebenar Adat’, ‘Adat yang Diadatkan’, serta ‘Adat yang Teradat’ oleh suku Melayu Riau, dapat dibaca dalam karangan Tim Penyusun Persatuan Masyarakat Riau Jakarta (PMRJ), Lima Kebanggaan Anak Melayu Riau (Jakarta, 2005).



Peribahasa-peribahasa yang menjelaskan keabadian ‘Adat Babuhul Mati’ ini, dapat ditemukan dalam karya-karya Nur Aeni Iskandar, Kamus Peribahasa Indonesia (Jakarta, 2003) atau Boediono, Kumpulan Pribahasa, Pantun dan Puisi(Jakarta, tth.).



Masalah keidentikan ‘Adat Babuhul Mati’ dengan tradisi-tradisi abadi lainnya di seluruh dunia, dapat dibaca dalam karya Ferry Hidayat,”Adat: Sophia Perennis Suku-Suku Asli Indonesia”..

0 komentar:

Posting Komentar

Kami mengucapkan terima kasih atas setiap komentar yang Anda berikan.

 

Pengikut

© 2009 Free Blogger Template powered by Blogger.com | Designed by Amatullah |Template Design