. Adat

INDEKS

Kamis, 29 Juli 2010

Adat

Oleh Ferry Hidayat

Adat adalah jalan hidup atau cara hidup yang diterapkan oleh suku-suku etnik asli. Adat juga meliputi cara berpikir, cara berperilaku, cara berada, cara berkesenian, cara beragama, cara mendidik generasi muda, cara berkebudayaan. Intinya, adat merupakan peradaban yang dibangun suku-suku asli.
Para pembangun adat adalah kaum cerdik pandai dan para jenius yang berjiwa luhur (leluhur) yang lahir dalam komunitas suku, diberi kemampuan berpikir mendalam untuk menemukan ‘hukum-hukum abadi’ (orang Minang menyebutnya ‘alua’) di alam semesta. Mereka menggunakan otak secara maksimal, mengamat-amati, mengobservasi, lalu menyimpulkan dari pengamatan dan penalaran mereka untuk kemudian membuat ‘hukum-hukum’, dengan cara yang sama seperti para ilmuwan di zaman modern menggunakan metode rasional dan metode empiris untuk membangun sains.  Bila hukum-hukum abadi itu telah ditemukan, mereka menetapkannya, menyebarluaskannya ke masyarakat, dan melestarikannya sebagai ‘hukum-hukum alam’ atau ‘hukum-hukum kosmik’ yang tetap. Dengan cara ‘ilmiah’ sedemikian, mereka pun banyak menemukan ‘hukum-hukum kosmik’ atau ‘adat’ di alam semesta, di antaranya ialah sebagaimana disebut oleh peribahasa-peribahasa Melayu berikut ini:

Adat teluk timbunan kapal
Adat gunung tempatan kabut
Adat periuk bergerak, adat lesung berdedak
Adat muda menanggung rindu, adat tua menahan ragam
Adat hidup tolong menolong
Adat dunia balas-membalas, syariat palu memalu
Adat rimba, siapa berani ditaati
Adat negeri memagar negeri, adat kampung memagar kampung

Merupakan ‘hukum alam’ teluk bahwa ia menjadi tempat nelayan menimbun kapal dan merupakan ‘hukum alam’ gunung bahwa ia menjadi tempat kabut bermunculan. Juga, merupakan ‘adat’ pemuda bahwa ia harus menanggung rasa rindu bila tengah kasmaran; merupakan ‘adat’ orang tua bahwa ia selalu tak menghendaki perubahan dan tak menyetujui keanekaragaman.

Karena adat dipercayai sebagai ‘hukum kosmik’ atau ‘hukum alam’ yang tetap dan abadi, kepatuhan terhadap adat adalah niscaya; siapa pun yang melanggarnya akan dianggap sebagai melanggar ‘hukum kosmik’ yang patut dihukum. Apabila si pelanggar dibiarkan, dikhawatirkan alam semesta akan marah dan menimpakan kesengsaraan pada seluruh anggota suku itu tanpa kecuali. Karena itu, adat terkesan sebagai sebuah sistem hidup yang tertutup; menutup rapat-rapat pintunya bagi segala perubahan. Tapi di kemudian hari, suku-suku asli pun sadar bahwa mereka tak mungkin menghindari perubahan historis. Mereka kian cerdas, bahwa terdapat hukum adat yang tak berubah karena berada di dalam sistem kosmologis alam semesta dan terdapat pula hukum sosial yang dapat berubah karena manusia mampu merubahnya, dan perubahan itu dipercaya tidak mengakibatkan bencana apa-apa di dalam masyarakat. Mereka pun memperbaharui adat dengan cara mengkategorisasi-ulang adat. Suku Melayu Minang, misalnya, membagi adat ke dalam dua kategori:Adat Babuhul Mati dan Adat Babuhul Sintak. Yang pertama ialah hukum kosmik abadi dan yang kedua ialah hukum sosial yang boleh diubah-ubah sesuai kebutuhan kontemporer suku asli (lihat ADAT BABUHUL MATI; ADAT BABUHUL SINTAK).       

Secara kebahasaan, kata ‘adat’ hanya dikenal dalam kebudayaan suku-suku asli yang dipengaruhi Islam. Orang Riau, orang Minangkabau, orang Aceh dan orang Ambon menyebutnya ‘adat’; orang Bugis menyebutnya ‘ade’; orang Rembong di Flores Barat dan orang Makasar menyebutnya ‘adak’. Sedangkan kebudayaan suku-suku asli yang tidak dipengaruhi Islam, menyebutnya dengan kosakata lokal. Misalnya, orang Mentawai menyebutnya ‘arat sabulungan’; orang Tolaki di Sulawesi Tenggara menyebutnya ‘peowaindo’; orang Sawu atau orang Sabu di Nusa Tenggara Timur menyebutnya ‘uku’; orang Dayak Benuaq dan Dayak Tunjung menyebutnya ‘temputn’. Para ahli antropologi dan para ahli sosiologi, terutama sejak Cornelis van Vollenhoven menulis karyanya Het Adatrecht van Nederlandsch-Indie di tahun 1918, menggunakan kata ‘adat’ secara pukul-rata untuk menyebut peradaban semua suku asli Nusantara.
Ciri khas adat Nusantara berkarakter spiritual murni (serba-rohani). Kerohanian meliputi segala aspek kehidupan suku-suku etnik asli. Sejak suku-suku etnik asli mengenal kata ‘ruh’, meyakini bahwa alam semesta dan manusia memiliki ruh dan ruh tersebut berperan total dalam kehidupan manusia, maka sejak itu pula peradaban mereka atau adat mereka dipenuhi dengan nuansa rohaniah (lihat RUH; ANIMISME; ANIMO).
Ada 2 pendekatan yang selama ini dipergunakan untuk meneliti adat: (1) metode empiris; dan (2) metode spiritual. Bila digunakan metode empiris, maka adat nampak bukan satu macam dan bukan merupakan kesatuan monolitik; adat beragam jumlahnya dan beragam pula coraknya. Jika adat sekarang ini dianggap kesatuan kolektif oleh sebagian besar peneliti, itu hanya untuk memudahkan penelitian. Itu tak lain adalah simplifikasi terhadap adat dan tentunya dalam setiap simplifikasi terdapat bahaya reduksi. Untuk menghindari bahaya itu, adat dari setiap suku etnik asli dijelaskan sebagai satu entitas khas yang berbeda dan unik antara satu dengan yang lain. Tapi, jika digunakan metode spiritual—karena penekannya akan spiritualitas yang mengatasi segala materialitas dan kontingensi—metode itu sendiri menyaratkan penemuan kesatuan spiritual dari adat-adat yang berbeda, sehingga adat terkesan menjadi satu dan sama di mana-mana dan kapan pun jua (lihat PERENIALISME).

BIBLIOGRAFI
Karya yang khusus membahas adat sebagai ‘hukum kosmik’ antara lain adalah karangan Ferry Hidayat, “Return to The Cosmic Adat to Solve The Chaotic Present”, dalam Majalah Ilmiah BINA WIDYA, Vol.16, No. 3, Desember 2005, Universitas UPN "Veteran", Jakarta, Indonesia, hh.249-260 (dapat diunduh di www.indonesianphilosophy.co.nr); dan Ferry Hidayat, “Adat: Sophia Perennis Suku-Suku Asli Indonesia”, di sini, lalu di sini, dan terakhir di sini.

Pembagian adat menjadi ‘Adat Babuhul Mati’ dan ‘Adat Babuhul Sintak’ oleh suku Melayu Minang, dapat dibaca dalam karangan Prof. Dr. Mursal Esten, Minangkabau: Tradisi dan Perubahan, Padang, Penerbit Angkasa Raya, 1993; sedangkan pembagian adat menjadi ‘Adat Sebenar Adat’, ‘Adat yang Diadatkan’, serta ‘Adat yang Teradat’ oleh suku Melayu Riau, dapat dibaca dalam karangan Tim Penyusun Persatuan Masyarakat Riau Jakarta (PMRJ), Lima Kebanggaan Anak Melayu Riau, Jakarta, PMRJ, 2005.
Pembaruan adat Jawa, terutama lewat tradisi sastranya, juga dapat dibaca dalam karangan YB. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, Jakarta, Penerbit Sinar Harapan, 1982.
Karya yang membahas metode penelitian tentang adat antara lain adalah karangan Ferry Hidayat, Membangun Antropologi Adat, Jakarta, dalam proses terbit oleh Hikmah Perennial Institute. 

0 komentar:

Posting Komentar

Kami mengucapkan terima kasih atas setiap komentar yang Anda berikan.

 

Pengikut

© 2009 Free Blogger Template powered by Blogger.com | Designed by Amatullah |Template Design