. Budaya

INDEKS

Kamis, 29 Juli 2010

Budaya

Oleh Ferry Hidayat


Budaya  adalah bentuk jamak dari budiBudi sendiri berasal dari Bahasa Jawa Kawi ‘buddhi’ yang memiliki 2 (dua) arti: ‘pikiran’ dan ‘hati’. Dalam khazanah Filsafat Indonesia, istilah budaya atau budi sungguh mendapat tempat istimewa. Buktinya, dari istilah ini orang Indonesia membangun kata-kata derivatif lainnya, seperti Budidaya, Kebudayaan, Budiman, Budiwan, Budiwati, Budayawan, Budi pekerti, dan lain-lain. Justru karena terlalu istimewanya, istilah ini menjadi obyek interpretasi dan obyek pemaknaan dari pelbagai mazhab filsafat berbeda-beda yang berkembang di Indonesia.

Pemakaian yang paling tua dari kata budi adalah dalam teks spiritual Jawa, Serat Centhini, yang ditulis pada tahun 1903, sebagaimana berikut ini:




Wujud tanpa kahanan puniki
Ing dalem kak sajati lantaran
Inggih budi lantarané
Sarupa wujud ing hu
Pan jumeneng Muhammad latip
Mustakik ing Hyang Suksma
Kenyatanipun
Budi wujud ing Hyang Suksma
Inggih budi inggih Hyang kang Mahasuci
Budi tatabonira.

Artinya:
Wujud tanpa keberadaan itu
di tengah-tengah kenyataan sejati
memiliki perantara ialah budi
yang serupa dengan wujud Dia
adapun budi itu Muhammad yang rohani
perwujudan Hyang Suksma
serta manifestasiNya
Budi itu wujudnya Hyang Suksma
Budi itu ialah Yang Mahasuci
Budi ialah tempat kedamaiannya.


Dalam teks tersebut, Budi dimaknai dengan makna metafisik dan amat spiritual, yang serupa dengan makna Al-'Aqldalam tradisi Neoplatonist Islam, pengertian Logos dalam tradisi Neoplatonist Kristen, pengertian the Idea dalam tradisi Platonisme, serta pengertian Haqiqat Muhammadiyyah atau Nur Muhammadiyy dalam tradisi Sufisme.

Hingga tahun 1940an, kata budi yang bermakna spiritual masih terus dipakai. Pada tahun 1908, suatu organisasi sosial didirikan di Jawa dan diberi nama Budi Utomo. Tapi sejak tahun 1926, kritik atas pemaknaan spiritual dari kata budi mulai marak; kritik ini menyebabkan pergantian makna budaya dari makna spiritual ke makna profan. Tan Malaka (1897-1949) dalam bukunya yang berjudul Massa Actie (1926) memahami budaya sebagai produk ‘bangsa budak’, yang harus diganti dengan makna budaya dari ‘bangsa merdeka’. Sutan Syahrir (1909-1966), dalam catatan hariannya tanggal 20 Juni 1935, mengritik makna spiritual budaya:
Di sini sejak berabad-abad tidak ada kehidupan rohani, tidak ada kehidupan budaya, tidak ada sama sekali kemajuan. Memang ada pengungkapan seni Timur yang banyak dipuji-puji, akan tetapi apakah itu semua tiada lain dari perkembangan yang tidak sempurna dari kebudayaan feodal, yang tidak mungkin menjadi tempat berpegang bagi kita, orang-orang abad keduapuluh? Apa bisanya wayang dengan segala lambang-lambangnya yang sahaja dan mistik itu—yang sejajar dengan cerita-cerita kiasan (allegori) dan ilmu batin abad menengah di Eropa—yang menyumbangkan sesuatu yang bersifat intelektual dan kultural secara umum kepada kita? Kebutuhan rohani kita adalah kebutuhan abad keduapuluh, masalah-masalah kita, pandangan kita adalah dari abad keduapuluh. Selera kita bukan menuju kepada mistik, tetapi kepada kenyataan, kejelasan dan kelugasan (realiteit, helderheid, zekelyheid)…
 
Pada hakekatnya kita tidak pernah dapat menerima perbedaan esensial antara Timur dan Barat, tidak untuk hidup kita, sebab untuk kebutuhan rohani kita, kita tergantung dari Barat, bukan secara ilmiah saja, melainkan juga secara budaya umumnya…
 
Secara kultural kita lebih dekat kepada Eropa dan Amerika daripada kepada Borobudur atau Mahabharata atau kebudayaan Islam yang primitif di Jawa dan Sumatera. Apakah dasar kita, Barat atau perkembangan elementer dari kebudayaan feodal yang masih diketemukan di dalam masyarakat kita?   


Di tahun 1935an, ketika terjadi ‘Polemik Kebudayaan’, Sutan Takdir Alisjahbana (1908-1994) mulai menyerukan makna modernistik dari budaya. Dalam banyak tulisannya di tahun 1935, seperti Menuju Kebudayaan Baru Indonesia - Prae Indonesia (1935), Individu dan Gemeenschap, Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru (1936),Mempelajari Bahasa dan Soal Kebudayaan di Masa yang Akan Datang (1941), hingga era Pasca-Kemerdekaan, seperti tulisannya Ilmu dan Kebudayaan dalam Masa Revolusi dan Pembangunan (1941), dst., hingga ia mendirikan satu yayasan yang bernama Yayasan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan (1946), Takdir dengan sangat sistematis merombak makna budaya dari maknanya yang metafisik ke makna yang humanistik. Walaupun demikian, suara sayup-sayup spiritual masih disenandungkan Hamka (1908-1981) dalam bukunya Lembaga Budi (1930). Dalam buku tersebut, Hamka menyerupakan budi dengan akhlaq dalam tradisi al-Hikmah ‘Amaliyyah (Filsafat Akhlak) di Dunia Islam. Adagium terkenal ‘berakhlaklah dengan akhlak Tuhan’ (takhallaqu bi akhlaqillah) bersumber dari mata air           al-Hikmah ‘Amaliyyah ini.

Upaya Takdir rupanya cukup berhasil; filosof-filosof yang hidup sesudah beliau terus memaknai kata budaya dengan pemaknaan filosofis Barat. Nicolaus Drijarkara (1913-1967) dalam bukunya Percikan Filsafat (1962) menyerupakan ‘keheningan budi’ dengan ‘keheningan moral’, yang dalam tradisi Filsafat Yunani disebut soophrosunèKamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pada saat menerjemahkan budi sebagai ‘alat batin yang merupakan paduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk’, sangat mungkin dipengaruhi oleh pemaknaan etis Drijarkara ini.
Poedjawijatna dalam bukunya Pembimbing ke Arah Alam Filsafat (1962) menyamakan ‘Filsafat Budi’ dengan ‘Filsafat Logika’ dalam tradisi Filsafat Barat:
Dalam pada manusia adalah sesuatu yang amat penting dalam tindakan penyelidikannya, yaitu alat penyelidikannya yang biasanya disebut budi. Budi diselidikilah. Jika belum ada kepastian tentang hal ini, sebetulnya semua penyelidikan akan goyang juga. Tanpa budi itu takkan ada penyelidikan. Maka daripada itu dipersoalkan juga dan dicari jawabnya: adakah manusia mempunyai budi, dapatkah budi itu mencapai kebenaran? Dengan segera timbullah soal: apakah kebenaran itu. Sampai dimana kebenaran dapat dicapai oleh budi, seluruh kebenaran ataukah hanya sebagian saja? Pendek kata seluruh isi budi diselidiki filsafat. Inilah yang disebut filsafat-budi atau logika.

Budi tidak hanya mempunyai isi. Dalam pekerjaan atau tindakannya ia mentaati cara-cara yang ada aturannya, ia mempergunakan bahan seperti: pengertian, jalan pikiran serta putusan-putusan. Itu semuanya mempunyai aturan dan sifatnya masing-masing. Penyelidikan tentang bahan dan aturan berfikir ini pun diadakan dan merupakan bagian daripada logica. Biasanya ini disebut logica-minor, adapun yang menyelidiki isi berpikir, lalu disebut logica mayor.

Di tengah-tengah budaya yang dimaknai secara profan-humanistik, filosof Jawa Ki Hajar Dewantara di tahun 1967, mulai memaknai-kembali budaya dengan makna spiritual. Budaya, menurutnya, berasal dari kata budi, yang berarti 'jiwa yang telah masak'. Jiwa (budi) ini memiliki tiga kekuatan, yakni kekuatan pikiran, kekuatan rasa, dan kekuatan kemauan, atau disebut juga dengan kekuatan 'cipta, rasa dan karsa'. Hasil dari pengolahan tiga kekuatan jiwa manusia disebut dengan budaya atau kebudayaan.

Sekalipun ada upaya re-spiritualisasi makna budaya, makna budaya yang profan-humanistik masih terus dipakai oleh antropolog didikan Barat. Misalnya, sejak studi Antropologi Budaya (Cultural Anthropology) ala Barat-Modern berkembang pesat di Indonesia, para antropolog memaknai budi, budaya dan kebudayaan dalam terma-termaculture, cultural, kultur, cultura, atau colere. Soedjatmoko (1922-1989), dalam artikelnya Teknologi, Pembangunan dan Kebudayaan (1972) menggunakan kata kebudayaan dan kata kultur secara berganti-gantian, yang menunjukkan bahwa beliau memaknai kebudayaan secara serupa dengan kultur (berasal dari kata Inggris culture dan Latin colere). Sidi Gazalba murid setia Sutan Takdir Alisjahbana di Universitas Nasional (UNAS), dalam bukunya Sistematika Filsafat Buku I (1973), memaknai budaya secara antropologis:
Definisi kebudayaan. Suatu kebudayaan ialah cara berpikir dan cara merasa, yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan sekelompok manusia, yang membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang dan suatu waktu. Cara berpikir dan cara merasa itu menyatakan diri dalam cara berlaku dan cara berbuat. Dengan demikian definisi itu dapat diperpendek: cara berlaku-berbuat dalam kehidupan. Kependekan ini dapat diperpendek lagi: cara hidup (way of life, kata ungkapan Inggris).
Jadi kebudayaan meliputi seluruh kehidupan manusia. Kehidupan begitu luas, sehingga menjadi kabur pengertiannya. Untuk lebih jelas dapat memperpegangi apa-apa itu kehidupan, ia dapat kita bagi dalam sejumlah segi atau faset. Segi kehidupan yang kita maksud identis dengan apa yang diistilahkan oleh antropologi dengan cultural universal, atau pola kebudayaan sejagat, yaitu segi-segi kebudayaan yang universil ditemukan dalam tiap kebudayaan…
Antara masyarakat dan kebudayaan terjalin saling-hubung dan saling-pengaruh yang ketat sekali. Masyarakat adalah wadah kebudayaan. Dan kebudayaan membentuk masyarakat. Masyarakat ialah kelompok besar manusia, dalam mana hidup terjaring kebudayaan yang diamalkan oleh kelompok itu sebagai kebudayaan mereka.
Ruang dan waktu menentukan kebudayaan. Berbeda ruang, berbeda kebudayaannya. Berlain waktu, berlain pula kebudayaannya.

Dalam karya klasiknya Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan (1974), Koentjaraningrat menjelaskan bahwa dari kata buddhi dan buddhayah itu terciptalah kata kebudayaan, yang berarti 'keseluruhan dari hasil akal dan karyanya, yang dihasilkannya lewat proses belajar':
Kata "kebudayaan" berasal dari kata Sanskerta buddhayah, ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti "budi" atau "akal"… kebudayaan menurut hemat saya antara lain berarti: keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu, maka istilah "kebudayaan" memang suatu istilah yang amat cocok. Adapun istilah Inggerisnya berasal dari kata Latin colere, yang berarti "mengolah, mengerjakan", terutama mengolah tanah atau bertani. Dari arti ini berkembang arti culture, sebagai segala daya dan usaha manusia untuk merobah alam.

Di tahun 1976, Dick Hartoko menerjemahkan karya seorang filosof Belanda Cornelis Anthonie van Peursen (l.1920) yang berjudul Strategie van de Cultuur (1970) dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia, dengan judul Strategi Kebudayaan. Buku terjemahan ini diberi kata pengantar oleh Soedjatmoko. Penerjemahan ini kian mengukuhkan persamaan makna antara kebudayaan dengan cultuur. Makna budaya yang amat antropologis dan sosiologis terus berlanjut hingga tahun 1986; ketika Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM) menyelenggarakan acara bertema Temu Budaya 1986, yang dihadiri oleh beberapa budayawan, seperti Mochtar Lubis, Mochtar Kusuma Atmadja, Sajidiman Surjohadiprodjo, Y.B. Mangunwijaya, Sutan Takdir Alisjahbana, Nurcholish Madjid, dsb. Demikian seterusnya hingga TIM menyelenggarakan Pidato Kebudayaan hingga saat ini.

Di tahun 1990an, Ferry Hidayat (l. 1973) kembali mempopulerkan makna spiritual budi, budaya, dan kebudayaan dalam banyak tulisannya. Bahkan, ia menegaskan bahwa makna budaya yang abadi hanyalah maknanya yang metafisik, sebagaimana yang dulu diajarkan dalam teks spiritual Serat Centhini.

BIBLIOGRAFI
Makna Budi dalam Bahasa Jawa Kawi dapat ditelusuri dalam buku karangan Soewadji Sjafei, Pûrwaçâstra: Kitab Pelajaran Bahasa Kawi (Jakarta, 1966).

Pemakaian kata budi dalam teks tua Serat Centhini dijelaskan dengan panjang-lebar dalam karangan P.J. Zoetmulder,Pantheïsme en Monisme in de Javaansche Soeloek-Litteratuur, terj. Indonesia oleh Dick Hartoko Jakarta, 1998).

Keidentikan makna kata budi dengan the Intellect (Arab, Al-'Aql) dalam tradisi Neoplatonist Islam, Logos dalam tradisi Neoplatonist Kristen, the Idea dalam tradisi Platonisme, serta Haqiqat Muhammadiyyah atau Nur Muhammadiyydalam tradisi Sufisme, dapat dibaca dalam karangan Ferry Hidayat, “Tentang Budi, Nur Muhammad, Jiwa Dunia, Intelek, dan Al-‘Aql Al-Awwal”.

Sejarah pemaknaan budi dari tahun 1930an hingga 1980an dapat dibaca dalam karangan Ferry Hidayat, “TentangBudi, Nur Muhammad, Jiwa Dunia, Intelek, dan Al-‘Aql Al-Awwal”; juga karangannya dalam bahasa Inggris, “Some Studies in Indonesian Philosophy”; juga buku Ferry Hidayat, Budi: Suatu Studi Kritis atas Definisi-Definisi (2007). Sedangkan pemaknaan budi sebagai akhlak dapat dibaca dalam buku Hamka, Lembaga Budi (Jakarta, 2001).

Respiritualisasi makna budi oleh ‘Angkatan ‘90’ dapat dibaca dalam buku karangan Ferry Hidayat, Membangun Antropologi Adat, Bab 1 “Budaya dalam Makna Profan dan Makna Sakral”.

0 komentar:

Posting Komentar

Kami mengucapkan terima kasih atas setiap komentar yang Anda berikan.

 

Pengikut

© 2009 Free Blogger Template powered by Blogger.com | Designed by Amatullah |Template Design