. Kemenduaan: Menyoal Proyek Pencarian Budaya Indonesia melalui Agama Adat/Ulayat

INDEKS

Senin, 16 Agustus 2010

Kemenduaan: Menyoal Proyek Pencarian Budaya Indonesia melalui Agama Adat/Ulayat


Oleh Reno Azwir

Judul | Agama dan Kebudayaan: Pergulatan di Tengah Komunitas | Editor | Heru Prasetia & Ingwuri Handayani | Tebal | xlvi + 180 halaman (termasuk indeks) | Penerbit | Desantara Foundation | Tahun terbit | 2010


Syahdan. Kedatangan Datuk ri Tiro untuk mensyiarkan Islam diketahui tetua masyarakat Kajang, Amma Toa. Datuk ri Tiro pun memafhumi bahwa kehadirannya sudah diketahui oleh tetua. Demi membuktikan seberapa hebat tamu yang datang, maka terjadilah adu kesaktian di antara keduanya. Datuk ri Tiro menyusun telur hingga setinggi rumah, Amma Toa menarik satu telur di tengah tanpa merubuhkan susunan itu. Lalu Datuk ri Tiro berdiri di atas pelepah kelapa yang kemudian dibalas Amma Toa yang berdiri di bawah pelepah dengan kepala menghadap tanah. Saat tetirah, Amma Toa menyuguhkan air kelapa kepada Datuk ri Tiro, yang buahnya jatuh langsung setelah dia tunjuk. Tanpa mengurangi rasa hormatnya kepada tetua Kajang, Datuk ri Tiro berdiri lalu melambaikan tangan kepada sebuah pohon kelapa yang kemudian merunduk hingga buahnya bisa dipetik langsung oleh si pelambai.

Kisah yang terpapar di atas itu [h. 133], menjadi sebuah analogi menarik untuk menggambarkan betapa cerdasnya masyarakat adat Tanah Toa Kajang dalam meramu Islam sebagai bagian dari budaya mereka, bahkan sampai pada masa sekarang. Tak ada kalah-menang. Tiada yang dibuang-ditambahkan. Melulu penyesuaian demi kemaslahatan. Sejatinya, apa yang dilakukan masyarakat Kajang itu, juga diterapkan di banyak masyarakat Adat lain di antero Nusantara—yang masa hadapnya terancam lantaran mereka disimpuk kalangan agama resmi. Beberapa diantaranya masuk ke dalam penelitian yang ada di buku ini: Cerekang Luwu, Bissu, Karampuang, Parmalim, Tolotang Towani, Wetutelu, Cikoang, Tanah Toa Kajang. Sebagian besar masyarakat Adat itu bermukim di Sulawesi Selatan. Hanya Wetutelu, Tanah Toa Kajang, Parmalim yang masing-masing berada di NTB, NTT, Sumatera Utara.

Sistem kosmologi-metafisika dan norma mereka sudah keburu dibabat sebelum dipelajari dengan baik. Misalnya, bagaimana bangunan kosmologi mereka ternyata berkesajajaran dengan kosmologi modern: tak ada pusat dalam tata surya. Karena posisi si pengamat bergantung darimana dia mengamati. Mereka meyakini, bahwa tanah serta ajaran leluhurnya, adalah awal mula dari segala yang ada. Semua berpusat di dan kembali ke mereka. Sayang, semua itu seolah tak ada yang bernilai di mata pihak luar. Padahal jika mau belajar jujur, sebelum masyarakat Islam, Kristen, Buddha, Hindu, dan agama “resmi” lain diisbatkan di Nusantara, merekalah yang lebih dulu mukim. Meski merasa terancam keberlangsungan keyakinan leluhurnya dari waktu ke waktu, mereka tetap menjunjung tinggi nilai spiritualitas. 

Satu hal yang menarik, masyarakat Adat di atas, sama-sama pernah mengalami pahitnya masa penyerbuan DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar, juga Pemerintah Orde Baru dan Reformasi serta lembaga keagamaan lain semisal Muhammadiyyah, yang ingin “meng-Islamkan” mereka secara benar—atau Huria Kristen Batak Protestan (cikal-bakalnya dimulai dari Rheinische Missions-Gesselscahft, Jerman) untuk kasus Parmalim. Ketiga pihak luaran itu sama mengusung gagasan pemurnian dengan modus berbeda, tetapi dengan menyodorkan dalih sama: bid’ah. Tetapi, bagaimana penabalan dalih itu bisa ditepis oleh masyarakat Adat, kita bisa mengamatinya dari apa yang dilakukan Tuan Tada dari Cikoang:
Pernah suatu saat pada saat tahlilan, ada seorang ustadz (puritan) yang mengangkat soal perayaan maulid, khususnya Maudhu Lompoa, yang di cap sebagai perbuatan bid’ah dan khurafat. Mendengar itu saya bertanya, "Bid’ah itu kan semua kebaruan, yang tidak dilakukan pada masa Rasulullah. Al-Qur’an seperti yang kita baca sekarang, juga tidak berbentuk seperti ini pada masa Rasulullah. Jadi itu juga bid’ah?" Ustadz itu pun terdiam [h. 119].
Mengetahui bagaimana masyarakat Adat ditilap hak berkeyakinannya oleh mereka yang mendaku beragama, tak ubahnya seperti melihat dua ekor burung beda jenis sedang berbalah tentang bagaimana cara terbang yang baik. Elang menyanggah cara terbang merpati, yang disentil tak terima. Padahal, kedua burung itu sedang terbang. Begitu pula yang terjadi dengan masyarakat beragama. Ada sekian banyak dalih yang dicomot dari kitab suci Ibrahimiah untuk dijadikan prasayarat bagi pemapasan masyarakat Adat itu. Padahal, di dalam agama Ibrahimiah itu masih terjadi perbalahan sengit—tentang agama mana yang pantas disebut benar.

Penganut agama mayoritas seperti Islam, atau pemerintah misalnya, juga sama pilonnya. Mereka rumpil betul memahami kenapa masyarakat Adat begitu menghormati hak ulayat dan keyakinannya. Barangkali, masyarakat Adat juga kepayahan memahami kenapa untuk menghadap Tuhan mesti dibutuhkan masjid, gereja, pure, wihara, dsb. Jika ditelusuri secara saksama, di antara rumah ibadah dan hak ulayat ada benang merah yang bisa kita sebut sebagai keluhuran, keagungan, kesucian, sejarah, moralitas, kebanggaan.

Ada alasan kuat yang kemudian tertanam di relung hati masing-masing pemegang keyakinan itu untuk memertahankannya sekuat tenaga. Maka lumrah, jika masyarakat Adat merebut kembali hak ulayatnya yang dirayah atas nama “pemberadaban” yang dilakukan pemerintah dan pemilik kapital seperti yang terjadi di Tanah Toa Kajang; PT Lonsum (London-Sumatera) merebut tanah mereka dengan alasan ekonomi dan politik [h. 149]. Tujuan hidup masyarakat Adat adalah menjaga hak ulayatnya. Jika hak itu dijarah, maka sama saja merenggut alasan hidupnya.

Upaya untuk mengawasi penduduk hingga ke soal keyakinannya, bukan hanya terjadi pada masa sekarang, seperti keberadaan KTP dan akta kelahiran. Kolonial Belanda sudah memulai itu dengan sebuah buku yang disebut dengan Memory van Over Gave (Naskah timbang-terima). Di dalamnya termuat data kelahiran, kematian, kriminalitas, perkara perdata, dan struktur raja saat itu [h. 97]. Kini, apa yang dilakukan oleh beberapa Pemda setempat dengan menerbitkan Perda (peraturan daerah) Syariat Islam, malah lebih terkesan kaku dan menguatkan usaha untuk meredam persebaran ajaran mereka.

Satu dari sekian banyak perda yang timpang itu adalah, terbitan Pemda Bulukumba No. 05/2003 tentang berpakaian muslim dan muslimah, serta Perda No. 06/2003 tentang baca al-Qur’an bagi siswa dan calon pengantin [h. 137]. Dua perda itu jelas memberatkan masyarakat Kajang. Dari segi pakaian, mereka harus menanggalkan pakaiannya yang serba hitam: sarung yang disampir di pundak,  celana pendek (bisa juga berwarna putih), juga pasappu (ikat kepala). Sedang kaum perempuannya harus merelakan sarung sebatas dada mereka, dan menggantinya dengan baju menutupi pinggul, rok atau celana panjang hingga ke mata kaki, dan juga kerudung yang bisa menutupi dada [h. 139]. Sedang untuk al-Qur’an, ada Pasanga ri Kajang yang sudah lebih dulu hadir sebagai ajaran. Mereka meyakini bahwa ajaran itu untuk mereka, sementara al-Qur’an untuk orang di luar kawasan Adat Tanah Toa.

Contoh penyeragaman lain juga dialami masyarakat Adat Wetutelu. Kesalahan tafsir yang ditabalkan Pemerintah Daerah-Pusat, para intelektual asing bahkan setempat, tentang waktu yang tiga—seolah berseberangan dengan ajaran Islam seputar shalat lima waktu sehari semalam. Padahal, menurut tetua masyarakat Wetutelu sendiri, kata itu bermakna Allah, Adam, Hawa. Juga bisa dimaknai sebagai wet=teritorial; tu=orang; telu=tiga. Dengan kata lain, setiap wilayah punya pemimpinnya sendiri: wet agama (Kiai), wet adat-istiadat (seorang Pemangku), wet pemerintah (Pamusungan).    

Selain dua pemaknaan di atas, ada satu tafsir lagi yang lebih umum: metu telu (keluar, tiga). Simbol dari proses perwujudan dunia. Menganak, menteluk (bertelur), mentiuk (tumbuh). Manusia-hewan lahir dan bertelur. Sedang tanaman tumbuh dari biji. Tiga hal inilah yang saling menyelaraskan diri di alam dunia. Konsepsi terakhir itu, dibakukan oleh tetua Wetutelu pada 1960 demi merespons permintaan pemerintah yang ingin menyeragamkan mereka dalam keyakinan agama yang diakui [h. 92]. Hal yang sama juga pernah dilakukan masyarakat Adat Tolotang yang mendukung Golkar (Golongan Karya) pada masa awal Orde Baru dan Parmalim yang memihak PNI (Partai Nasional Indonesia) pada 1955. Namun keberpihakan mereka tetap tak berdayaguna. Karena pada kenyataannya, komunitas Adat tetap saja dipandang sebelah mata oleh Pemerintah.

Di luar tekanan yang dihadapi oleh masyarakat Adat itu, mencuat satu dilema kebijakan yang kemudian kian mengancam sakralitas ajaran mereka. Di satu sisi, tercederai-dipinggirkan, di sisi lain pemerintah mengomodifikasi mereka sebagai objek wisata—lahan pemasukan untuk bertambahnya kas daerah. Secara kasat dibina dan diberdayakan, tetapi dikikis spiritnya hingga hanya menyisakan kulit luar saja. Tak lagi ada kesempatan bagi mereka untuk melestarikan nilai-nilai esoteris yang memang menjadi sendi dari apa-apa yang telah mereka hidupi sekian ratus bahkan ribuan tahun lalu.

Jika memang Islam, misalnya, mengakui Allah yang Esa, kenapa masih merayangkan masyarakat Adat yang sebenarnya juga sedang menyembah Tuhan yang sama. Jika itu tak diterima oleh penganut Islam, bukankah sama saja mereka meyakini ada Tuhan selain Allah? Mungkinkah ada dua tuhan yang menyelenggarakan kehidupan di jagat semesta? Jika begitu, yang ada kacau-balau. Lantaran setiap tuhan itu akan berebut pengaruh dan ini jelas bukan bentuk jelmaan ketuhanan. Bila itu pun masih sulit diterima, kita harus dengan lapang dada mengikrarkan bahwa tuhan memang tak ada.

Barangkali, syair gubahan Sana’i dari Ghazna ini bisa membantu sebagai acuan pemahaman:
Apa pun yang muncul di benakmu bahwa Kami seperti itu—Kami tidak seperti itu! Apa pun yang ada dalam pemahamanmu bahwa Kami seperti itu—Kami tidak seperti itu! Apa pun yang ada dalam pemahamanmu adalah yang diciptakan—Dalam kenyataannya, ketahuilah wahai hamba, bahwa Kami adalah pencipta! 
Belakangan, sering kita menemukan banyak orang atau kelompok yang mendaku paling sahih pemahamannya akan Tuhan. Ibn ‘Arabi mengatakan bahwa tipikal golongan seperti itu sebagai al-‘ilm bi al-qirthasiyyun—pemahaman yang masih berbau kertas saja. Apakah nalar dapat menangkap Tuhan dengan utuh? Bukankah Tuhan hanya bisa dipahami melalui Diri-Nya?

Dengan kata lain, tak satu pun kita boleh mengabuk Tuhan. Dia milik siapa saja. Jika mengabuk saja tak elok, heran rasanya jika Dia tetap dipenjara dogma, doktrin, wilayah yang bermuara pada penyimpangan nan serampangan. Memahami manusia saja selit-belit, bagaimana pula memahami Yang Memiliki manusia? Sekalipun terpahami, tetap ada hal (keadaan) diri-Nya yang tak terpermanai. Tuhan mengejawantah dalam banyak rupa, dan untuk menengarainya bukanlah perkara mudah.

Memahami sesuatu, itu mungkin mudah. Tapi menyadari betapa kita tak paham dengan sesuatu, itu yang sulit. Seperti yang pernah dikatakan Socrates (470-399 SM) “Satu-satunya yang kutahu adalah aku tak paham.” Bahkan masih jauh lebih sulit memahami sadar atau tidaknya kita akan pemahaman itu sendiri. Lantaran kesadaran adalah pangkal untuk mencapai derajat al-Insan al-Kamil: Manusia Sempurna, yang jadi purwarupa Kebenaran. Jadi sebelum mengaku benar-benar yakin dengan apa yang kita pahami, ada baiknya meyakini dulu bahwa ada selaksa ketakpahaman lain yang mesti dipahami.

Mari kita mencatat warisan luhur masyarakat Adat itu menjadi satu korpus. Sebelum ajaran-ajaran luhur itu melindap entah ke mana, kita mesti menyelamatkannya setelah diteliti lebih mendalam—bisa dikompilasi dalam bentuk buku, ensiklopedia, atau langsung mendekatkannya ke khalayak dengan memanfaatkan jejaring sosial yang kini pusparagam bentuknya. Dengan begitu, selain merangsang rasa ingin tahu dan mengenal, juga bisa menumbuhkan sikap saling memaklumi tentang bagaimana sejatinya kita mesti menjalankan keyakinan kebertuhanan masing-masing tanpa mencederai keyakinan lain.

Dalam Islam, ada hadis yang memuat makna serupa seperti syair Sana’i itu, “Ana ‘inda dzanni abdi bi wa Ana ma’ahu hiyna yadzkuruni...; Aku adalah apa yang disangkakan hamba-Ku tentang-Ku, dan Aku bersamanya ketika ia menyebut-Ku ...”. Allah yang Maha Agung itu ternyata santai saja disemat apa pun oleh manusia. Meski terlalu mudah bagi-Nya memberi pemahaman kepada siapa saja yang Dia inginkan, tetap saja apa yang kita pahami adalah kemafhuman terbatas lantaran Dia yang tiada aras harus menyempadani diri-Nya dalam satu takrif yang jelas terikat.

Penganut agama jadi berperadaban bukan karena hidupnya kian mudah, berdaya guna, dan modern, melainkan seberapa baik Sukma agama itu diterapkan dalam kehidupannya. Lantaran manusia itu makhluk yang mengandung unsur jagat alit dan jagat gedhe, maka dia juga bertanggung jawab kepada Tuhan, alam, dan manusia sekaligus. Ia mesti mempertanggung jawabkan setiap tindakannya sendiri di hadapan pribadi lain. Daya cerap manusia untuk apa yang kelak dia yakini sebagai “agama”, jelas berkesejajaran dengan pemahaman yang dimilikinya.

Dari sekian banyak keberhasilan yang disajikan—seperti bagaimana pondok pesantren Asrama Perguruan Islam asuhan K.H. Ahmad Muhammad (Gus Muhammad) di Tegalrejo, Magelang, bersinergi dengan kesenian tradisional melalui acara Pawiayatan Budaya Adat, buku ini mengabaikan satu hal prinsipil dari masyarakat Adat tersebut: bagaimana keterbatasan mereka sebagai sesama manusia, bisa menembusi ruang-waktu yang sama dalam pencarian akan Tuhan. Karena semua masalah keberagamaan hanya dimulai dari kita yang terbatas ini saat menjelaskan Zat Yang Maha Tak Berbatas. Hanya Dia saja yang paling memahami diri-Nya. Jika memang ada manusia yang bisa membabarkan ketakterbatasan Tuhan dengan baik, maka detik ini juga, kita bisa menyebutnya sebagai TUHAN.

4 komentar:

Unknown mengatakan...

Semoga orang-orang beragama/berperadaban itu tak sampai menganggap kitab/aturan agamanya dapat meniadakan Negara dan UUD

Mobile App Developers mengatakan...

Great article. Thanks for your great information, the content is quiet interesting. I will be waiting for your next post.

Launch Business in Delhi mengatakan...

This is the precise weblog for anybody who needs to seek out out about this topic. You notice so much its almost arduous to argue with you. You positively put a brand new spin on a subject that's been written about for years. Nice stuff, simply nice!

daicabana mengatakan...

Slotty Casino Mobile - Mapyro
Find your 김해 출장마사지 nearest 김제 출장샵 Casino in New York. 상주 출장샵 Check the location, timings and contact information. Casino, 1 Broadway, 당진 출장마사지 NY 광명 출장안마 1301, USA. Directions.

Posting Komentar

Kami mengucapkan terima kasih atas setiap komentar yang Anda berikan.

 

Pengikut

© 2009 Free Blogger Template powered by Blogger.com | Designed by Amatullah |Template Design