. Why I am Not an Untraditionalist? Sebuah Tanggapan untuk Legenhausen

INDEKS

Kamis, 29 Juli 2010

Why I am Not an Untraditionalist? Sebuah Tanggapan untuk Legenhausen

Oleh Hardiansyah Suteja


Abstrak
Pada 2002, Hajj Muhammad Legenhausen menerbitkan paper yang berjudul “Why I am Not a Traditionalist?” secara on-line. Dalam paper tersebut dia mengkritik tradisionalisme atau para penganjur filsafat perennial. Kritik Legenhausen terhadap kalangan tradisionalis berpijak pada teologi dan sosiologi serta secara khusus pada sejarah teosofis Eropa. Dia melihat kritik kalangan tradisionalis—seperti Rene Guenon, Ananda Coomaraswamy, Frithjof Schuon dan Seyyed Hossein Nasr—terhadap modern bersifat romantik dan utopis. Sesungguhnya, kritik Legenhausen terhadap tradisionalis memiliki banyak kegalatan dan miskonsespi serta mengabaikan signifikansi spasio-temporal sosial dan dinamika di dalamnya. Dalam paper ini akan ditunjukkan ketidaktepatan kritik Legenhausen tersebut. Selain itu, juga akan diajukan saran atau rekomendasi ke depan mengenai bagaimana dan hal apa saja yang harus dipertimbangkan dan dilihat oleh kalangan tradisionalis ketika mengejawantahkan prinsip normativitasnya dan memecahkan permasalahan sosiokultural yang ada.
Kata kunci: tradisionalisme, modernisme, filsafat perennial, Teosophical Society, Islam, meme


Pendahuluan
Tradisionalisme kontemporer secara historis pada tingkat mikro merupakan suatu aliran pemikiran esoterik (school of esoteric thought) yang diartikulasikan dalam spasio-temporal modern tertentu oleh Rene Guenon dan Ananda Coomaraswamy. Sedangkan pada tingkat makro, tradisionalisme merupakan hasil yang membrojol (emerged) dari interaksi tiap agennya. Guenon memiliki signifikansi besar dibandingkan Commaraswamy dalam pemapanan suatu hal yang disebut sebagai tradisionalisme atau filsafat perennial. Tradisionalisme secara sederhana adalah suatu bentuk kritik par excellence atas modernisme [bdk. 12, 13, 20, 24 ]. Perlu dicatat, modern yang dimaksud adalah pandangan-dunia, bukan suatu periodesasi. Oleh karena itu, tradisionalisme merupakan pandangan-dunia, tepatnya pandangan metafisika, bukan periode pramodern. Tradisionalisme menyiratkan sakralitas yang disingkapkan kepada manusia melalui wahyu (revelation). Ia juga menyiratkan bentangan dan perkembangan pesan sakral tersebut di dalam historis kemanusian tertentu. Tradisi merupakan kontinuitas horisontal dengan Sumber dan sebuah neksus (nexus) vertikal yang berhubungan dengan tiap gerakan tradisi yang hidup dalam pencarian atau pertanyaan terhadap Realitas Transenden metahistoris [17].
Guenon sangat keras dalam mengkritik pandangan-dunia modern. Sepanjang hayatnya dia terus mengartikulasikan dekadensi spiritual atau keniskalaan metafisik di dalam pandangan-dunia modern. Salah satu artikulasinya yang dituangkan dalam buku-buku, di kemudian hari dibaca oleh Frithjof Schuon, yang sebelum membaca karya Guenon sudah menaruh perhatian besar akan tradisi esoterik atau tradisi spiritual. Setelah membaca karya Guenon, Schuon melakukan korespondensi dengan Guenon dalam waktu lama, belasan tahun.
Sebagian pengamat menyebutkan bahwa Schuon merupakan penerus Guenon. Hal ini bisa dibenarkan. Tapi, hal itu tidak berarti keduanya berjalan dengan cara sama. Guenon dan Schuon mengalami perpisahan pada soalan tradisi esoterik Buddha. Bagi Guenon, tradisi autentik di dalam Buddha benar-benar hancur samasekali, sehingga tidak ada yang bisa diharapkan darinya [16]. Berbeda dengan Guenon, Schuon melihat bahwa tradisi autentik tetap dapat ditemukan di dalam Buddha. Berikutnya, para penganjur filsafat perennial banyak merujuk pada Schuon; seperti Martin Lings, Seyyed Hossein Nasr, Titus Burckhardt, Charles le Gay Eaton, James Cutsinger, Huston Smith, William C. Chittick, Harry Old Meadow, Otsman Bakar, hingga yang muda seperti Timothy Scott dan Muhammad Bagir.
Selain itu, Schuon juga mendirikan tarekat, bernama Maryamiyyah. Hal ini berbeda dengan Guenon yang hanya membangun sistem pengetahuan metafisik tanpa mendirikan tarekat. Karena Schuon tetap meyakni bahwa agama-agama besar maupun agama indigenous tetap memiliki tradisi spiritual autentik yang dapat dijumpai di masa sekarang, para pengikut Schuon berasal dari pelbagai latar belakang keagamaan.
Schuon dikenal dengan doktrinnya “Kesatuan Transendensi Agama-Agama” (The Transendence Unity of Religions) [19]. Menurut doktrin ini, semua agama memiliki titik temu pada dimensi transendennya. Semua agama membicarakan dan mengarahkan pemeluknya menuju Realitas Ultim (The Truth). Perbedaan pada agama-agama terletak pada form atau dimensi eksoterik, bukan esoterik. Doktrin inilah yang secara sederhana dapat menggambarkan mengenai apa yang dimaksud dengan tradisionalisme atau filsafat perennial.
Legenhausen dalam (2002)[1] dengan sangat keras mengkritik doktrin kesatuan transendensi. Selain doktrin tersebut, dia juga menganggap bahwa otentisitas filsafat perennial yang diusung oleh kalangan tradisionalis di dalam Islam perlu dipertanyakan. Menurutnya, terdapat bias Eropa dan tradisi Kristiani dan okultisme yang bertolak belakang dengan corak Islam. Dan, kritik tradisionalisme atas modern baginya utopis dan sangat ekstrem, sehingga menafikan kebaikan yang disemai oleh modernisme. Dalam paper berikut, akan ditunjukkan kekeliruan kritik Legenhausen dan juga ketepatan kritik Legenhausen atas tradisionalisme, dalam hal ini terutama Tradisionalisme yang berkembang di dalam dunia Islam. Di akhir akan diajukan saran untuk tradisionalisme Islam itu sendiri dengan mempertimbangkan beberapa ketepatan kritik dari Legenhausen.
Perlu disebutkan di sini bahwa kritik atas paper Legenhausen telah dilakukan oleh Charles Upton, “What is a ‘Traditionalist’?—Some Clarifications”, yang dimuat di dalam Sacred Web Journal, No. 17, Summer 2006. Upton dalam paper tersebut melakukan salahsatu kesalahan serupa dalam mengkritik balik Legenhausen, yakni pada soalan periode. Legenhausen, yang bukan Tradisionalis, dan Upton, yang Tradisionalis, keduanya menganggap tradisi dan modern sebagai suatu periode. Hal ini membuat klarifikasi Upton tersebut menjadi tidak tepat sepenuhnya. Dalam paper ini kritik atas Legenhausen pada soalan anggapan tradisi dan modern sekadar periode sekaligus juga kritik untuk Upton.

Rumusan masalah
Kritik Legenhausen terhadap tradisionalis dalam bisa dirumuskan ke dalam empat masalah inti: 1) historis otentisitas filsafat perennial di dalam Islam; 2) penolakan tradisionalis atas modernisme; 3) pluralisme; dan 4) epistemologi. Empat masalah inti tersebut menjadi pembatasan masalah dalam paper ini.

Historis Tradisionalisme
Menurut Legenhausen para penganjur awal tradisionalisme, Rene Guenon dan Ananda Coomaraswamy, dalam merumuskan gagasan filsafat perennialnya dipengaruhi oleh Teosophical Society (selanjutnya disebut dengan TS saja) yang didirikan oleh Madame Blavatsky, Colonel Henry S. Olcott dan W. Q. Judge pada 1876 di New York. Alasan utama, selain konteks historis yang ditekankan oleh Legnhausen, Guenon dan Coomaraswamy bergabung ke TS. Baginya, hal ini mengindikasikan bahwa Guenon dan Coomaraswamy menerima gagasan perennialisme—Blavatsky menyebutnya dengan Esoteric Wisdom [1]—dari Blavatsky dan TS.
Tradisionalisme menurut Legenhausen merupakan reaksi orang Eropa modern menentang modernisme. Penentangan tersebut muncul di pelbagai agama, Yahudi, Katolik, Protestan, dan Islam. Menurutnya, Tradisionalisme merupakan suatu paradoks: gagasan yang menafikan modern tapi lahir dari rahim modern.
Pendapatnya bahwa Tradisionalisme adalah hal yang diwariskan oleh TS ke tangan Guenon dan Coomaraswamy, oleh karena itu bukanlah prinsip khas dari agama, merupakan hal gegabah. Guenon dan Coomaraswamy pada kenyataannya mengkritik keras TS. Oleh keduanya TS dianggap telah menyimpangkan gagasan mendasar kebijaksanaan esoteris (esoteric wisdom)—kesatuan transendensi agama dalam bahasa Schuon. Anehnya, Legenhausen mengetahui hal ini, dan bahkan dia menuliskan hal tersebut di dalam papernya.
Jika menggunakan gadget meme Dawkinian [3, 4] dan cultural software Balkinian [0], yakni upaya pelacakan jejak-jejak transmisi suatu unit informasi terkecil dalam ranah sosiokultural, maka pembacaannya adalah: Guenon dan Coomaraswamy menerima dan sekaligus memberi “gen” dari dan kepada anggota TS lain. Guneon dan Coomaraswamy mengkritik keras TS, hal ini mengindikasikan telah terjadi mutasi atau variasi dari “gen” perennial. Sebagai suatu hal yang telah termutasi atau menjadi variatif maka ia menjadi suatu hal yang samasekali baru. Upaya mengkaitkan otensitas gagasan Guenon dan Coomaraswamy kepada TS melulu menjadi suatu hal banal. Secara umum di kalangan tradisionalis sendiri, TS dan khususnya Blavatsky dikritik dan dikecam keras. Dengan pembacaan memetik, gagasan TS dan Blavatsky tidak lolos seleksi di lingkungan tradisionalisme, sedangkan Guneon dan Coomaraswamy diterima.
Jika hanya karena Guenon dan Coomaraswamy pernah bergabung di TS maka tradisi esoteris yang dikembangkan oleh kedua orang tersebut menjadi tidak otentik, maka keislaman Legenhausen pun menjadi serupa. Legenhausen adalah seorang mualaf. Dan, jika model penalaran Legenhausen semacam itu diterima, maka upaya pemikiran Legenhausen mengenai Islam yang sudah banyak dia lakukan, menjadi tidak otentik: bias tradisi Kristiani dan Eropa (dua hal tersebut merupakan latarbelakang sosiokultural Legenhausen sebelum dia memeluk Islam). Masalahnya, model penalaran semacam ini jelas banal dan tidak bisa diterima.
Eropa secara tempat (spasio) dan waktu (temporal) memang menjadi awal persemaian gagasan tradisionalisme dengan bentuk artikulasi samasekali baru. Hal ini sangatlah wajar, dikarenakan spasio-temporal turut mengonstitusi bagaimana suatu gagasan membrojol. Tapi, di tangan Legenhausen, hal tersebut menandakan bahwa gagasan tradisionalisme tidak bisa diterapkan di dalam Islam tanpa ada bias samasekali. Tentu saja benar. Tapi, yang dilupakan oleh Legenhausen ialah tradisionalisme yang dikembangkan oleh tradisionalis Muslim seperti Guenon dan Schuon memperhatikan spasio-temporal. Perlu dicatat, kontekstualisasi tersebut hanya terjadi pada artikulasi dan aplikasinya. Sedangkan pada substansi gagasan itu sendiri tetap tidak berubah. Hal tersebut dikarenakan prinsip metafisik merupakan suatu prinsip yang melampaui ruang-waktu.
Suatu yang muncul di Eropa bukan berarti tidak bisa muncul di belahan tempat lain. Jika tidak demikian, sudah seharusnya Islam itu hanya untuk orang Arab saja, karena ia lahir di kultur Arab. Jelas, penalaran model seperti ini tidak tepat.
Yang tidak diperhatikan oleh Legenhausen, dan juga Upton, ialah tradisi atau tradisionalisme secara historis bukanlah sekadar suatu periode melainkan sistem metafisika yang terjelmakan (embodied) atau termanifestasikan. Artinya, tradisi sebagai peristiwa historis, atau suatu periodesasi yang oleh Legenhausen dirujuk pada fase pramodern, pertama-tama harus dilihat bagaimana sistem kemasyarakatan itu dibangun atau bagaimana ia memijakkan kakinya. Sehingga, pemahaman bahwa tradisi atau tradisionalisme itu hanya fase pramodern menjadi tidak tepat. Pembedaan antara tradisi sebagai suatu sistem atau prinsip metafisika dan tradisi sebagai fase sosiokultural merupakan kunci untuk memahami sistem metafisika dan bagaimana sistem itu diterjemahkan ke dalam kehidupan. Legenhausen gagal dalam pembedaan ini. Sehingga, paparannya mengenai tradisi sebagai fase historis menjadi rancu. Dan, kengototannya mengaitkan tradisionalisme sebagai proyek lanjutan dari TS menjadi ahistoris.

Tradisionalisme vis a vis Modernisme
Menurut Legenhausen untuk memahami dengan tepat apa itu tradisionalisme adalah dengan memahami lawannya, modernisme. Cara seperti sebagian tepat, dan sebagian tidak tepat. Tepat, jika kedua hal tersebut disorot dari sisi ontologis. Tidak tepat, jika kedua hal tersebut sekadar dilihat dari periode. Seorang tradisionalis tidak berarti tidak menggunakan temuan sains dan teknologi yang berkembang di dalam fase modern. Hal ini membawa kepada pembedaan antara asumsi dan metode serta hasil (utilitas). Tradisionalisme tidak begitu saja menafikan produk-produk sains dan teknologi modern pada tataran metode dan hasil, melainkan penolakannya terjadi pada tataran asumsi.
Secara historis, sains berkembang dari belahan peradaban Timur (India, Mesir, Cina) dan diteruskan atau dikembangkan di peradaban Yunani, kemudian tertransmisikan di peradaban Islam, kemudian barulah peradaban Eropa. Sains yang berkembang di dalam peradaban tersebut, secara umum tidak memiliki pertentangan signifikan dalam metode. Tapi, memiliki kekontrasan jika disorot dari asumsi. Misalnya, sains tradisional mengembangkan sains untuk melacak jejak-jejak Realitas (vestigia Dei) sedangkan sains modern dikembangkan untuk mendominasi atau menundukkan alam. Teleologis sains dalam peradaban tersebut berbeda dikarenakan memiliki asumsi yang berbeda di awal keberangkatannya.
Seyyed Hossein Nasr ketika mengkritik kalangan “fundamentalis” atau Muslim secara umum dikarenakan mengadopsi sains dan teknologi Barat begitu saja, e.g. komputer sampai televisi [17] bukan di soal produk atau benda itu sendiri, melainkan bagaimana benda itu difungsikan. Dan, hal ini berkaitan dengan soalan naturalisasi sains [bdk. 10]. Legenhausen tidak membedakan antara asumsi dan metode serta hasil dari suatu perkembangan sains dan teknologi. Pada akhirnya, dia gagal dalam memahami kritik Guenon dan Coomaraswamy secara umum dan Nasr secara khsus terhadap pandangan-dunia modern.
Legenhausen melihat terdapat kekontradiksian di dalam Tradisionalisme. Baginya, Tradisionalisme merupakan reaksi modern atas modernisme. Kata “modern” dan “modernisme” dalam proposisi tersebut memiliki arti yang berbeda—dan, Legenhausen pun membenarkan perbedaan antara kedua kata tersebut. Klaim kontradiksi tersebut menjadi gagal. Korelasi antara modern dan modernisme dalam proposisi tersebut tidak terdistribusi. “Modern” dalam proposisi tersebut adalah suatu fase historis yang dilalui oleh manusia, sedangkan “modernisme” adalah suatu prinsip atau pandangan-dunia. Yang satu adalah fenomena sosiokultural, sedangkan yang satu lagi adalah sistem metafisik.
Dan, seperti yang dinyatakan oleh Nasr (1987) bahwa kalangan yang pada akhirnya disebut sebagai tradisionalis itu menggunakan term “tradisi”, “tradisionalis”, dan “tradisionalisme” untuk merepresentasikan gagasan mereka yang dibedakan dengan “modernisme” yang menjadi kritikan mereka. Term tradisi dan turunannya, dalam konteks filsafat perennial, adalah sekadar nominal atau penyebutan atas suatu identitas agar dapat dikenali diferensiasinya.

Pluralisme?
Legenhausen mengkritik doktrin atau gagasan kesatuan transenden. Menurutnya doktrin tersebut mengimplikasikan pluralisme. Pluralisme menurut Legenhausen bertentangan dengan dasar teologis Islam.[2] Teologi Islam dalam menafikan pluralisme yang digagas oleh kalangan tradisionalis menurut Legenhausen sangatlah penting. Pluralisme yang mengandaikan kebenaran, dan urutan berikutnya ialah keselamatan, di dalam tiap agama tidak bisa diterima oleh Legenhausen. Hal tersebut dikarenakan bukan soal berhala (idolatry)—yang menurutnya khas untuk agama nonmonoteistik—melainkan bagaimana kebenaran agama ditemukan. Menurut Legenhausen, Islam mengajarkan bahwa kebenaran (truth) disampaikan oleh Tuhan melalui wahyu kepada manusia.
Legenhausen mengkritik doktrin perennial seperti ini. Dia melihat bahwa doktrin tersebut identik dengan tren pluralisme yang sekarang bergema. Klaim itu jelas keliru. Pluralisme yang dikembangkan oleh kalangan tradisionalis terjadi di dalam dimensi transenden, bukan sosiokultural seperti yang dipahami oleh Legenhausen. Dimensi transenden ini menjadi pembeda pluralisme Tradisionalis dengan pluralisme yang dikembangkan pihak lain, seperti John Hick, Hans Kung [11], atau untuk Indonesia seperti yang dikembangkan oleh Jaringan Islam Liberal (JIL) [9] dan Kang Jalal [18]. Pluralisme itu sendiri merupakan terminologi yang sangat alot dibincangkan. Terlepas dari itu, sederhananya, pluralisme Tradisionalisme adalah pluralisme transenden. Kemudian, bagaimana transendentalitas dari suatu agama diterjemahkan ke dalam wilayah sosiokultural dalam perjumpaannya dengan agama lain. Pluralisme sosiokultural mencari pijakannya pada dimensi transendensi agama bukan bagaimana pluralisme transenden atau pluralisme agama mencari pijakannya pada dimensi sosiokultural (lihat gambar 1). Dan, pluralisme yang dimaksudkan oleh kalangan Transenden tidak mengabaikan perbedaan form dari pelbagai agama. Tao, Buddha, Hindu, Yahudi, Kristiani [ bdk. 2], dan Islam pada tataran eksoterik adalah unik, sedangkan pada dimensi esoterik mereka manunggal (lihat gambar 2). Untuk kalangan Tradisionalisme Islam model pluralisme ini dikembangkan dari gagasan kesatuan agama atau wahdat al-adyan milik Ibn ‘Arabi.
Gambar 1. Ontologis-Epistemologis Pluralisme Sosiokultural Tradisionalis

Gambar 2. Keunikan (pada form) sekaligus kemanunggalan (pada aspek esoterik) suatu agama

Legenhausen tidak hati-hati ketika dia mengkritik pluralisme yang dikembangkan oleh Tradisionalisme. Seperti yang ditunjukkan dalam gambar (1 dan 2) pluralisme tidak menafikan keunikan dari suatu agama ketika dijalankan di dalam wilayah sosiokultural. Yang menjadi permasalahan oleh kalangan Tradisionalis ialah bahwa tiap agama menawarkan jalan keselamatan (The Truth) unik pada dimensi eksoterik dan jalan keselamatan manunggal pada dimensi esoterik (lihat gambar 3). Keunikan jalan (turuq) dalam tiap agama menuju satu Sumber.
Gambar 3. Tiap agama masing-masing menuju pada Al-Haqq (The Truth, Godhead, Brahma, YHW, Tao)

Epistemologi
Sakralitas adalah basis epistemologis-ontologis khas dari Tradisionalisme. Tapi, menurut Legenhausen secara epistemologis kalangan Tradisionalis dalam membangun formula konsep dengan cara abstraksi. Secara implisit Legenhausen bahkan menafikan keberadaan pengetahuan sakral pada masa sekarang. Hal ini menurut Legenhausen bahwa klaim Tradisionalis mengenai kesatuan transenden atau wahdat al-adyan menjadi terbantahkan dan ahistoris. Menurutnya, dalam teologi Islam pengetahuan agama mengenai kebenaran dan keselamatan tidak didapatkan dengan cara abstraksi dan intuisi melainkan melalui wahyu. Klaim Legenhausen atas epistemologi Tradisionalisme mengabaikan hal fundamental yang pada akhirnya seharusnya dia membenarkan kalangan Tradisionalis jika pengetahuan kebenaran dan keselamatan didapatkan melalui wahyu.
Wahyu merupakan pengetahuan langsung. Oleh kalangan filosof Muslim pra-Shadrian wahyu terjadi ketika fakultas pengetahuan manusia, dalam hal ini ‘aql—dalam pengertian semantik Arabnya, yakni memuat dimensi rasional sekaligus intuitif—terhubung kepada akal aktif (yang diidentikkan dengan Malaikat Jibril [Gabriel]). Sedangkan oleh para filosof Shadrian dan iluminasi (isyraqiyyah) wahyu merupakan pengetahuan dengan kehadiran [25]. Di kalangan sufi wahyu diterima oleh fakultas hati atau disebut pengetahuan intuitif. Oleh kalangan sufi hati diilustrasikan dengan cermin. Semakin cermin bersih maka semakin jelas ia memantulkan sesuatu. Oleh karena itu, dalam tradisi sufistik pengetahuan berkaitan erat dengan pembersihan diri (tazkiyat al-nafs). Dan ini berarti bukan suatu abstraksi, dikarenakan abstraksi merupakan kualitas khas dari pengetahuan rasional atau penalaran.
Pengetahuan yang didapatkan atau diterima dengan konsep yang dibangun dari suatu atau jenis pengetahuan tertentu merupakan suatu hal berbeda. Pengetahuan dengan bahasa adalah hal berbeda. Bahasa memiliki hukum rasional atau nalar tersendiri, sedangkan pengetahuan bisa bersifat rasional dan nonrasional. Pengetahuan dengan kehadiran ketika diartikulasikan jelas bukan pengetahuan murni tanpa konsep. Artikulasi merupakan suatu abstraksi atau konsep yang dibatasi dengan batasan-batasan bahasa. Kritik Legenhausen bahwa di dalam Tradisionalisme basis ontologis-epistemologis pengetahuan dari gagasan yang dikembangkan oleh mereka merupakan suatu abstraksi benar-benar mengejutkan. Legenhausen merupakan seorang yang dididik dalam tradisi filsafat Islam yang hidup hingga sekarang di Iran. Sedikit mengejutkan jika dia tidak bisa memahami epistemologi kalangan Tradisionalisme dan sufisme; perbedaan antara pengetahuan dengan artikulasinya; pengetahuan dengan kehadiran (knowledge by presence) dengan pengetahuan dengan capaian (knowledge by acquired).
Seperti yang disebutkan di bagian pendahuluan bahwa term tradisi menyiratkan sesuatu hal yang sakral dan kontinuitasnya di dalam historis kehidupan manusia. Oleh karena itu, kalangan tradisionalis menyebut pengetahuan tradisional otentik sebagai pengetahuan sakral. Jika Legenhausen menyatakan bahwa kebenaran otentik itu ditemukan dengan cara wahyu dan ini berarti kontinuitas Yang Sakral dalam historis, maka kritiknya terhadap Tradisionalisme menjadi kacau. Dikarenakan dia mengkritik kekeliruan Tradisionalisme yang pada dasarnya dia benarkan.
Pengetahuan sakral merupakan suatu pengetahuan yang bisa didapatkan oleh manusia, tidak hanya nabi. Pengetahuan sakral tidak tergantung pada spasio-temporal. Kalangan tradisionalis mengklaim bahwa Yang Sakral menembus segala fase historis sehingga pengetahuan sakral bisa didapatkan kapan saja dan di mana saja oleh manusia. Dan, pengetahuan sakral bukan suatu abstraksi. Wahyu yang didapatkan oleh para nabi, termasuk Nabi Muhammad saw., merupakan pengetahuan sakral.

Diskusi dan Kesimpulan
“Tradisi” bukanlah sekadar soal periode ketika ia merupakan terminologi khusus yang dikembangkan oleh kalangan perennialis atau tradisionalis. Seperti yang disebutkan oleh Coomaraswamy, bahwa “tradisi tidak ada kaitannya dengan “zaman atau masa” apa pun, apakah “gelap”, “primordial”, atau sebaliknya. Tradisi mewakili doktrin-doktrin mengenai prinsip-prinsip pertama, yang tidak berubah” [dikutip dalam 12]. Tradisi adalah suatu sistem metafisik. Modern yang dimaksud oleh kalangan tradisionalis bukanlah suatu zaman atau masa di mana kalangan tradisionalis hidup di dalamnya. Dan, Tradisi bukan sekadar hal yang dipertentangkan dengan Modern seperti yang dipahami secara konvensional. Legenhausen—dan juga Upton—melupakan hal ini.
Ketidaktepatan kritik Legenhausen—termasuk Upton—adalah dia mereduksi Tradisi hanya sekadar fenomena sosiokultural yang lepas dari dimensi transendennya. Oleh karena itu, kritiknya terhadap pluralisme dan penolakan modernisme oleh kalangan tradisionalis juga ditemukan banyak ketidaktepatan. Hal ini terlihat dari pemahamannya mengenai pluralisme sekadar persoalan sosiokultural dan abstraksi dari peradaban tradisional yang ada. Legenhausen juga tidak membedakan mana hal general dan mana hal partikular ketika berkaitan dengan soalan spasio-temporal. Dia juga terlalu gegabah dalam melihat autentisitas suatu hal. Jika otentisitas dari Tradisi yang dikembangkan oleh kalangan Tradisionalisme diragukan hanya karena para pelopornya adalah bekas atau anggota dari TS, maka itu menjadi alat bunih diri bagi Legenhausen itu sendiri, mengingat dia seorang mualaf dan orang Eropa. Konteks historis jelas penting. Tapi, pembacaannya perlu menggunakan gadget yang tepat. Untuk hal ini, dalam paper ini menawarkan pembacaan memetik. Hasil pembacaan tersebut menunjukkan hereditas, mutasi, dan seleksi dari meme tradisionalis atau perennialis. Tuduhan Legenhausen bahwa Tradisionalisme yang dikembangkan dalam Islam merupakan gagasan murni Blavatsky atau TS pada kenyataannya tidak tepat.

Saran dan Rekomendasi
Terlepas dari kekeliruan Legenhausen, terdapat kebenaran dari kritik Legenhausen, seperti bahwa kalangan Tradisionalis terlalu menyederhanakan (oversimplification) persoalan dalam mengkritik pandangan-dunia modern, seperti yang dilakukan Nasr dalam (1987). Kekompleksitasan dalam fenomena sosiokultural pada masa modern tidak diperhatikan samasekali oleh kalangan Tradisionalis. Kritik Legenhausen pada soal ini jelas perlu diperhatikan oleh kalangan tradisionalis.
Pun kalangan Tradisionalis fokus pada persoalan metafisika, pada kenyataannya mereka tidak bisa memahami kontinuitas metafisika jika ranah sosiokultural disederhanakan begitu saja. Klaim tradisionalis bahwa krisis modern terjadi karena dihancurkannya dimensi metafisik dalam bangunan pandangan-dunia modern pada dasarnya suatu hal yang terjadi pada tingkat makro. Sesuatu yang terjadi pada tingkat makro, dalam hal ini krisis modern atau krisis spiritual seperti yang diartikulasikan kalangan tradisionalis, tidak berarti begitu saja mencerminkan bahwa krisis spiritual terjadi di tingkatan mikro, agen. Korelasi antara makro-mikro merupakan suatu hal kompleks. Tidak ada satu pola yang dapat diterapkan atau ditarik dalam semua spasio-temporal yang ada.
Jika klaim tradisionalis benar bahwa krisis multidimensional yang terjadi sekarang adalah soal krisis spiritual, maka itu tidak berarti krisis spiritual an sich. Ipso facto, krisis spiritual yang dimaksudkan dilihat kaitannya dengan dimensi lain, e.g. politik, ekologi, sosiokultural, ekonomi, dll.. Hal ini berarti terdapat banyak interaksi dan spasio-temporal tertentu dalam memahami kontinuitas spiritualitas. Contoh bagus untuk melihat kekompleksitasan ini ialah soal membrojolnya fenomena New Age atau new religions dalam masyarakat sekarang [bdk. 22]. Terlepas soal otentisitas dari fenomena tersebut, yang perlu diperhatikan ialah fenomena tersebut menunjukkan fakta bahwa spiritualitas tidak benar-benar samasekali musnah atau terlupakan oleh masyarakat.
Pembrojolan New Age atau new religions memiliki bentuk dan perkembangan infrastruktur dan suprastruktur tersendiri yang berbeda dengan spasio-temporal sebelumnya. Hal ini membawa pada suatu gagasan yang tidak seperti diklaim oleh kalangan tradisionalis bahwa tradisi ipso facto berubah atau perlu dibangun model baru untuk melihat tradisi. Untuk memenuhi tantangan tersebut, makalah ini mengajukan model evolusioner dalam memahami tradisi atau agama dalam pengertian Wilfred Cantwel Smith, yakni sebagai tradisi akumulatif. Suteja mencoba memetakan evolusioner tradisi agama [23]. Dan dia mengajukan tradisi adaptif perennial untuk mengembangkan model penelitian agama dan menutupi kekurangan tradisi akumulatif Smith yang mengabaikan dimensi esoterik dari suatu agama.
Evolusioner dari suatu tradisi ini tidak ditemukan dalam pengembangan gagasan perennial. Hal ini menjadi mengherankan jika kontinuitas Yang Sakral di dalam peristiwa historis atau sosiokultural, yang kemudian kontinuitas tersebut disebut merupakan suatu doktrin atau prinsip metafisika dan disebut dengan Tradisi, tapi evolusioner dari Tradisi ditolak semasekali. Sakralitas atau transendensilitas Realitas ketika memenetrasi historis, maka akan mengalami perubahan. Penolakan evolusioner dari Tradisi inilah yang membuat cita-cita Tradisi menjadi romantis atau utopis seperti yang dinyatakan oleh Legenhausen. Dan, Tradisi, jika dilihat dengan model sepeti itu bukan sekadar romantis atau utopis, melainkan tidak dapat menjawab persoalan historis atau sosiokultural yang ada. Itulah mengapa bisa dipahami mengapa kalangan Tradisionalis, khususnya Tradisionalis Islam sangat simplistik dalam memetakan persoalan krisis yang terjadi di masa sekarang.
Ketidakberubahan (unchangeable) Kebenaran (The Truth) yang diadvokasikan oleh kalangan Tradisionalis tidak berarti advokasi tersebut tidak berubah. Jika evolusioner Tradisi tidak diperhatikan, maka tidak hanya terlalu simplistik bahkan bisa menjadi rasisme dan fasisme seperti politik Tradisionalis yang dikembangkan oleh Baron Julius Evola [5, 6, 7, 8, 20].

Pengakuan
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Hanna Rengganis untuk dukungan moralnya. Kepada pihak yang telah mendonasikan bahan literatur yang diperlukan, di antaranya: Prof. Hans Küng dan staff di Theosophical Society of Phillipine. Kepada kolega di HPI, Reno Ramutu, Humaidi, dan Abdullah Imam a.k.a Wong Dzolim atas diskusinya. Juga kepada syaikhuna Muhammad Bagir atas diskusi dan perkuliahannya mengenai Tradisionalisme atau Filsafat Perennial. Kesalahan dalam makalah ini sepenuhnya berada di tangan penulis.

Catatan
Untuk membaca format lengkap kertas kerja ini, sila unduh di sini

Karya yang Dikutip
[0]           Balkin, J. M. 1998. Cultural Software: A Theory of Ideology. USA: Yale University Press.
[1]           Blavatsky, H. P.. 1888. The Secret Doctrine: The Synthesis of Science, Religion, and Philosophy. Theosophical University Press Online Edition.
[2]           Cutsinger, James S. "Perennial Philosophy and Christianity" dalam John Bowden (ed.). 2005. Christianity: The Complete Guide. London: Continuum.
[3]           Dawkins, Richard. 2006. The Selfish Gene. 30th anniversary edition. USA: Oxford University Press.
[4]           Distin, Kate. 2005. The Selfish Meme. USA: Cambridge University Press.
[5]           Evola, Julius. 1995. Revolt Against the Modern World. diterj. dari bahasa Itali oleh Guido Stucco. USA: Inner Traditions International.
[6]           Evola, Julius. tt. Men Among the Ruins: Postwar Reflections of a Radical Traditionalist. USA: Inner Traditions International.
[7]           Goodrick-Clarke, Nicholas. 2002. Black Sun: Aryan Cults, Esoteric Nazism and the Politics of Identity. New York: New York University Press.
[8]           Gregor, A. James. 2005. Mussolini's Intellectuals: Fascist Social and Political Thought. USA: Princeton University Press.
[9]           JIL. Official homepage. URL: http://www.islamlib.com
[10]         Kartanegara, Mulyadhi. 2003. Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam. Bandung: Mizan.
[11]         Küng, Hans. 2004. Global Renspobility: In Search of a New World Ethic. Oregon: Wipf and Stock Publisher.
[12]         Lakhani, M. Ali “Understanding Tradition” dalam Sacred Web Journal, Volume 9, Summer 2002. URL: http://www.sacredweb.com/online_articles/sw9_editorial.html
[13]         Legenhausen, Hajj Muhammad. 2002. “Why I am Not a Traditionalist”. URL: http://religioscope.com/info/doc/esotrad/legenhausen.htm
[14]         Legenhausen, Hajj Muhammad. 1999. Satu Agama atau Banyak Agama. Jakarta: Lentera.
[15]         Legenhausen, Hajj Muhammad. 2000. Contemporary Topics of Islamic Thought. Teheran: Al-Hoda Publisher.
[16]         Lings, Martin. “Rene Guenon” dalam Sophia Journal, Vol. 1, No. 1, 1995.
 [17]        Nasr, Seyyed Hossein. 1987. Traditional Islam in Modern World. England: Kegan Paul International.
[18]         Rahmat, Jalaluddin. 2006. Islam dan Pluralisme. Jakarta: Serambi.
[19]         Schuon, Frithjof. 2003. Mencari Titik Temu Agama-Agama. diterjemahkan dari The Transcendent Unity of Religions [1975] oleh Saafroedin Bahar. Jakarta: Pustaka Firdaus.
[20]         Sedgwick, Mark. 2004. Against the Modern World: Traditionalism and the Secret Intellectual History of the Twentieth Century. New York: Oxford University Press.
[21]         Smith, Wilfred Cantwell. 2004. Memburu Makna Agama. diterjemahkan dari The Meaning and End of Religion [1962] oleh Landung Simatupang. Bandung: Mizan.
[22]         Sutcliffe, Steven J.. 2003. Children of the New Age: A History of Spiritual Practices. USA: Routledge/Taylor & Francis e-Library.
[23]         Suteja, Hardiansyah. 2009. “Pemetaan Evolusionaristik Keberislaman dalam Konteks Keadilan Sosial dan Kemiskinan: Sebuah Pendekatan Kompleksitas”. Draft untuk WPS, Institute for Perennial Studies, 297ea001me.
[24]         Upton, Charles “What is a ‘Traditionalist’?—Some Clarifications” dalam Sacred Web Journal, Volume 17, Summer 2006. URL: www.sacredweb.com/online_articles/sw17_upton.html
[25]         Yazdi, Mehdi Ha'iri. 1992. The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence. USA: State University of New York Press.


[1] Hanya satu teks Legenhausen, yakni (2002), yang digunakan dalam makalah ini. Alasan tidak digunakan naskah lain, seperti (2000) dan (1999) ialah: 1) hanya teks (2002) yang benar-benar menolak tradisionalisme; 2) dalam teks (2002) Legenhausen mengkritik Tradisionalis dengan komprehensif; 3) pada teks lain ia hanya sepintas lalu mengkritik Tradisionalis; 4) pada teks lain butir 1 & 2 tidak ditemukan secara eksplisit; dan 5) hanya teks inilah yang memancing perdebatan begitu sengit di kalangan tradisionalis dan nontradisionalis. Dengan berdasarkan lima alasan tesebut, teks (2002) sudah cukup untuk mengakumulasi pandangan Legenhausen mengenai Tradisionalis.
[2] “…there are theological grounds within Islamic teachings to reject the religious pluralism of the Traditionalists.




0 komentar:

Posting Komentar

Kami mengucapkan terima kasih atas setiap komentar yang Anda berikan.

 

Pengikut

© 2009 Free Blogger Template powered by Blogger.com | Designed by Amatullah |Template Design